Studi: Kekurangan Vitamin D Punya Kaitan dengan Kematian Akibat COVID-19

Studi mencoba mencari tahu kemungkinan kekurangan vitamin D bisa berkorelasi dengan kematian akibat COVID-19

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 12 Mei 2020, 11:00 WIB
Diterbitkan 12 Mei 2020, 11:00 WIB
Ilustrasi penelitian.
Ilustrasi penelitian. (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Penelitian terkait COVID-19 terus dikembangkan oleh para ilmuwan di dunia. Salah satunya adalah untuk mencari tahu mengenai kematian yang diakibatkan oleh virus SARS-CoV-2 ini.

Dilansir dari Science Daily pada Senin (11/5/2020), beberapa waktu yang lalu, para peneliti mengungkapkan adanya keterkaitan antara kekurangan vitamin D yang parah dengan tingkat kematian akibat COVID-19.

Dalam sebuah studi yang dipimpin oleh Northwestern University, para ilmuwan mempelajari data global COVID-19 dari bebeapa rumah sakit dan klinik di Tiongkok, Prancis, Jerman, Italia, Iran, Korea Selatan, Spanyol, Swiss, Britania Raya, dan Amerika Serikat.

Temuan mereka menyatakan bahwa pasien dari negara dengan tingkat kematian tertinggi seperti Italia, Spanyol, dan Inggris, memiliki tingkat vitamin D yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka di negara yang tidak terkena dampaknya secara parah.

Simak Juga Video Menarik Berikut Ini

Masih Butuh Penelitian Lanjutan

Kasus Kematian Akibat Virus Corona COVID-19 di Italia
Pekerja membersihkan permukaan jalan di Piazza del Duomo, Milan, 31 Maret 2020. Pandemi COVID-19 terus menyebar di Italia pada Selasa (31/3), menambah total jumlah terinfeksi, kematian dan pulih menjadi 105.792, menurut data terbaru Departemen Perlindungan Sipil Italia. (Xinhua/Daniele Mascolo)

Walaupun begitu, peneliti mengingatkan temuan ini bukan berarti masyarakat bisa segera menimbun suplemen vitamin D.

"Ini perlu penelitian lebih lanjut dan saya berharap pekerjaan kami akan merangsang minat pada bidang ini," kata pimpinan studi Vadim Backman dari Northwestern University.

"Data ini juga dapat mencerahkan mekanisme kematian yang, apabila terbukti, dapat mengarah pada target terapi baru," tambahnya.

Dalam laporannya yang dimuat di medRciv, Backman dan rekan-rekannya melakukan studi pada tingkat kematian karena COVID-19 yang tidak bisa dijelaskan dari satu negara ke negara lainnya. Beberapa hipotesis menyatakan bahwa perbedaan kualitas layanan kesehatan, distribusi usia dalam populasi, tingkat pengujian, maupun jenis virus corona yang berbeda berada di balik itu semua.

"Tidak satu pun dari faktor-faktor ini yang tampaknya memainkan peran penting," kata Backman. Dia memberikan contoh bahwa Italia memiliki sistem kesehatan terbaik di dunia.

"Sebaliknya kami melihat korelasi yang signifikan dengan kekurangan vitamin D," ujarnya.

Mencegah Sistem Kekebalan Terlalu Aktif

Backman dan timnya menemukan korelasi yang kuat antara kadar vitamin D dengan badai sitokin (kondisi hiperinflamasi yang disebabkan oleh sistem kekebalan yang terlalu aktif) serta korelasi antara kekurangan vitamin D dengan kematian.

Backman mengatakan, badai sitokin dapat merusak paru-paru dan menyebabkan sindrom gangguna pernapasan akut dan kematian pada pasien. Menurutnya, hal tersebutlah yang tampaknya menimbulkan kematian pada sejumlah pasien COVID-19.

Di sini, Backman percaya bahwa vitamin D tidak hanya meningkatkan sistem kekebalan tubuh bawaan, namun juga mencegah sistem kekebalan tumbuh menjadi terlalu aktif. Dari situ, bisa diartikan bahwa kadar vitamin D yang sehat bisa melindungi pasien dari komplikasi parah maupun kematian, akibat COVID-19.

"Itu tidak akan mencegah pasien dari tertular virus, tetapi dapat mengurangi komplikasi dan mencegah kematian pada mereka yang terinfeksi," kata Backman.

Studi Serupa

Ilustrasi penelitian.
Ilustrasi penelitian. (iStockphoto)

Penelitian untuk melihat keterkaitan antara kekurangan vitamin D dan kematian akibat SARS-CoV-2 juga pernah dilakukan oleh para ilmuwan dari Queen Elizabeth Hospital Foundation Trust dan University of East Anglia.

Para peneliti melihat tingkat rata-rata vitamin D di antara 20 negara Eropa untuk kemudian dibandingkan dengan jumlah kematian COVID-19 di setiap negara.

Lewat uji statistik sederhana, terlihat ada korelasi yang cukup meyakinkan di mana populasi dengan konsentrasi vitamin yang lebih rendah dari rata-rata, memperlihatkan lebih banyak kematian akibat virus corona.

"Kelompok populasi yang paling rentan untuk COVID-19 juga merupakan kelompok yang paling kekurangan vitamin D," kata para peneliti dalam kesimpulan laporan awal mereka seperti dikutip dari Science Alert.

Kekurangan Vitamin D Memang Tidak Baik

Vitamin (iStockphoto)
Ilustrasi vitamin (iStockphoto)

Namun, Backman menegaskan bahwa konsumsi vitamin D tetap tidak boleh melewati dosis yang dianjurkan atau berlebihan.

Dia mengatakan masih perlu studi lanjutan untuk mengetahui bagaimana vitamin D dapat digunakan secara efektif untuk melindungi pasien dari komplikasi COVID-19.

"Sulit untuk mengatakan dosis mana yang paling bermanfaat untuk COVID-19," kata Backman. Walau begitu dia menambahkan, yang jelas, kekurangan vitamin D tidak baik bagi orang-orang.

Dia mengatakan, temuan tersebut mungkin bisa menjadi kunci untuk membantu mereka yang renta seperti pasien lanjut usia yang memiliki kondisi kekurangan vitamin D.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya