Hindari Double Outbreak, Imunisasi Harus Tetap Berjalan di Tengah COVID-19

IDAI mengatakan penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi seperti campak dan difteri sesungguhnya bisa lebih berbahaya dari COVID-19

oleh Giovani Dio Prasasti diperbarui 09 Jun 2020, 07:00 WIB
Diterbitkan 09 Jun 2020, 07:00 WIB
Ilustrasi imunisasi (iStockphoto)
Ilustrasi imunisasi (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengatakan bahwa pelayanan imunisasi harus tetap berjalan di tengah pandemi COVID-19. Hal ini demi mencegah adanya wabah dari penyakit yang seharusnya bisa dicegah karena vaksin.

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Hartono Gunardi, Ketua Bidang Humas dan Kesejahteraan Anggota Pengurus Pusat IDAI dalam konferensi pers dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Jakarta pada Senin (8/6/2020).

"Memang situasi pandemi COVID-19 ini merupakan suatu hal yang sangat menghambat program imunisasi. Banyak orangtua takut membawa anaknya ke puskesmas atau posyandu," kata Hartono.

"Ini sangat berisiko untuk menyebabkan double outbreak. Sudah kita mengalami pandemi COVID-19, tapi, amit-amit jangan, ditambah lagi outbreak yang bisa dicegah oleh imunisasi," ujarnya.

Simak Juga Video Menarik Berikut Ini

Bahaya Campak

20160628-Ilustrasi-Vaksin-iStockphoto
Ilustrasi Foto Vaksin (iStockphoto)

Hartono mencontohkan, salah satu penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi namun lebih berbahaya dari COVID-19 adalah campak.

Dia menjelaskan, 1 orang pasien COVID-19 bisa menularkan virus corona ke 1,5 hingga 3,5 orang. Namun pada campak, 1 orang pasien bisa menularkan penyakit tersebut ke 18 orang.

"Kalau penderita COVID-19 ini batuk atau bersin, dropletnya itu bisa berjalan kira-kira 2 meter. Kalau campak lebih dari 6 meter. Jadi jangan dilupakan imunisasi ini," katanya.

Bahaya Difteri

Ilustrasi anak diberi vaksinasi.
Ilustrasi anak diberi vaksinasi. (iStockphoto)

Contoh penyakit lain yang bisa berbahaya dari COVID-19 namun bisa dicegah adalah difteri. Hartono mengatakan, ketika anak terkena penyakit tersebut, maka saluran napasnya akan tertutup selaput membran dan membuatnya tidak bisa bernapas.

"Kita harus membuat lubang karena kalau selaputnya dicongkel dia akan berdarah, anak bisa meninggal karena pendarahan. Oleh karena itu harus dilubangi lehernya, tenggorokannya. Untuk menetralisir racun yang disebabkan oleh kuman difteri itu, kita mesti pakai serum," ujarnya.

Namun serum tersebut tidak dibuat di Indonesia dan harus impor. Yang menjadi masalah, sebagian besar pabrik pembuat serum anti-difteri sudah ditutup karena tidak adanya penyakit tersebut di negara asal produsen.

Hal inilah yang membuat imunisasi harus tetap berjalan di tengah pandemi COVID-19.

Di sini, orangtua tetap diperbolehkan membawa buah hatinya ke pusat pelayanan kesehatan seperti puskesmas atau posyandu untuk mendapatkan vaksinnya tentunya dengan melakukan protokol-protokol kesehatan untuk mencegah penularan COVID-19.

"Jangan sampai terjadi double outbreak," ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya