Liputan6.com, Jakarta Seorang pria mengalami infeksi ulang dari virus corona penyebab COVID-19 usai dinyatakan sempat mengalami penyakit tersebut beberapa waktu lalu. Para ilmuwan percaya bahwa kejadian ini merupakan kasus re-infeksi pertama yang dikonfirmasi.
Infeksi kedua COVID-19 ini terjadi pada seorang pria berusia 33 tahun yang terdeteksi dari pemeriksaan bandara saat ia kembali ke Hong Kong dari Eropa bulan ini.
Baca Juga
Dilaporkan Japan Times, para peneliti di University of Hong Kong menggunakan analisa urutan genom untuk membuktikan bahwa ia telah terinfeksi dua strain yang berbeda.
Advertisement
"Hasil temuan kami membuktikan bahwa infeksi keduanya disebabkan oleh virus baru yang didapatnya baru-baru ini, bukan pelepasan virus yang berkepanjangan," kata Dr. Kelvin Kai-Wang To, ahli mikrobiologi klinis di universitas tersebut, dikutip dari New York Post pada Selasa (25/8/2020).
Mengutip Live Science, beberapa kasus sebelumnya menunjukkan adanya potensi infeksi ulang. Namun, hal itu belum bisa dikonfirmasi tanpa pengujian definitif.
Orang yang sembuh dari COVID-19 dapat melepaskan fragmen virus selama berminggu-minggu sehingga saat diuji, hasilnya akan positif. Walau begitu, fragmen tersebut bukanlah bibit hidup dari virus.
Saksikan Juga Video Menarik Berikut Ini
Gejala yang Lebih Ringan
Pasien tersebut pertama kali didiagnosis COVID-19 pada 26 Maret. Pada infeksi pertama, ia mengalami gejala ringan seperti batuk, radang tenggorokan, sakit kepala, dan demam selama beberapa hari.
Ia sempat dirawat di rumah sakit pada 29 Maret dan dipulangkan pada 14 April setelah hasil dua kali tesnya dinyatakan negatif COVID-19.
Empat setengah bulan kemudian, ia kembali ke Hong Kong dari Spanyol melalui Inggris dan dites positif COVID-19. Namun, meski dirawat di rumah sakit, pasien itu tidak mengalami gejala apa pun. Para peneliti mengatakan, hal ini mengindikasikan adanya "infeksi berikutnya yang mungkin lebih ringan."
Pada kasus ini, Akiko Iwasaki profesor imunobiologi dan biologi molekuler, seluler, dan perkembangan di Yale School of Medicine, mengatakan bahwa temuan ini bukan alasan untuk seseorang merasa khawatir.
"Ini adalah contoh dari buk teks mengenai bagaimana kekebalan harusnya bekerja," kata Iwasaki. "Meski kekebalan tidak cukup untuk memblokir infeksi ulang, kekebalan melindungi orang dari penyakit."
"Meskipun ini adalah contoh yang baik tentang bagaimana infeksi primer dapat mencegah penyakit dari infeksi berikutnya, diperlukan lebih banyak penelitian untuk memahami kisaran hasil dari infeksi ulang," kata Iwasaki.
Â
Advertisement
Studi Terhadap Antibodi
Tes antibodi menunjukkan bahwa pasien tidak memiliki antibodi yang terdeteksi ketika dirinya mengalami infeksi ulang. Namun setelah terinfeksi lagi, tubuhnya mengembangkan antibodi yang dapat dideteksi.
"Sebelum laporan ini, banyak yang percaya pasien sembuh dari COVID-19 memiliki kekebalan dari re-infeksi, namun, ada bukti bahwa beberapa pasien tingkat antibodinya memudar setelah beberapa bulan," tulis para peneliti dalam laporan di Journal Clinical Infectious Diseases yang akan segera dirilis.
Para penulis studi mengatakan, kecil kemungkinan kekebalan kelompok atau herd immunity akan menghilangkan virusnya. Namun mereka menyebutkan, infeksi ulang mungkin akan lebih ringan daripada yang pertama pada pasien.
Dalam catatannya, para peneliti mengatakan bahwa COVID-19 kemungkinan akan terus beredar di tengah populasi manusia, seperti virus corona lain yang menyebabkan flu biasa.
Implikasi lainnya adalah vaksin kemungkinan tidak dapat memberikan perlindungan seumur hidup dari COVID-19. Maka dari itu studi vaksin ada baiknya juga mencakup mereka yang telah sembuh dari penyakit tersebut.