Seberapa Sering Kita Semua Harus Melakukan Tes COVID-19?

Bagaimana bila seandainya Anda berada di luar zona merah dan terlalu khawatir pada lingkungan sekitar, apakah sebaiknya perlu beberapa kali menjalani tes COVID-19?

oleh Fitri Syarifah diperbarui 04 Nov 2020, 09:00 WIB
Diterbitkan 04 Nov 2020, 09:00 WIB
Tes Swab Mandiri
Warga menjalani "swab test" di GSI Lab (Genomik Solidaritas Indonesia Laboratorium), Cilandak, Jakarta, Rabu (7/10/2020). Pemerintah menetapkan harga batas tes usap alias tes swab melalui PCR untuk mendeteksi Covid-19 agar mendorong masyarakat melakukan tes secara mandiri. (merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta Jika Anda memiliki gejala COVID-19 (seperti pilek dan demam) atau memiliki riwayat bertemu orang yang positif COVID-19, mungkin Anda harus menjalani tesnya. Namun bagaimana bila seandainya Anda berada di luar zona merah dan terlalu khawatir pada lingkungan sekitar, apakah sebaiknya perlu beberapa kali menjalani tes COVID-19?

Menurut hasil jajak pendapat terhadap warga Amerika yang dilakukan oleh American Psychiatric Association, sebanyak 48% orang Amerika mengatakan mereka khawatir tentang kemungkinan tertular COVID-19, dan bahkan 62%-nya mengatakan mereka khawatir tentang kemungkinan keluarga dan orang yang dicintai terkena COVID-19. Sehingga melakukan pemeriksaan rutin tampaknya menjadi cara untuk meyakinkan diri sendiri (dan orang lain) kalau Anda mengikuti peraturan. Namun hal itu juga menjadi pemicu muncul beberapa orang dengan pemikiran tidak apa-apa jika melanggarnya.

Dengan kondisi AS yang tengah berada di tengah gelombang ketiga pandemi, “ketersediaan pengujian tampaknya telah meningkat,” kata Suzanne Pham, MD, direktur medis tim tanggapan COVID-19 di Weiss Memorial Hospital di Chicago. Namun apakah persediannya akan bertahan selama diperlukan atau tidak, banyak yang mengkhawatirkannya.

Terlepas dari langkah-langkah antisipasi yang telah dipersiapkan di rumah sakit, laboratorium, dan pusat medis, nyatanya di AS pun belum bisa memastikan pengujian tanpa batas.

“Jika seseorang berisiko tinggi terkena penyakit parah atau memiliki kontak dekat dengan seseorang yang berisiko tinggi terkena penyakit parah, menurut saya melakukan tes secara teratur itu cerdas,” kata Dr. Pham.

“Bagi mereka yang hanya khawatir tetapi tidak memiliki riwayat kontak dengan siapa pun dan tidak memiliki risiko penyakit parah, pengujian rutin dapat membebani sistem dan dapat menghilangkan kemampuan untuk menguji mereka yang benar-benar membutuhkannya."

Dari sekian tes COVID-19 yang telah ada, rapid test atau tes cepat lebih banyak tersedia daripada polymerase chain reaction (PCR) test yang secara langsung mendeteksi keberadaan antigen, sesuatu yang menginduksi respons imun, daripada kehadiran antibodi.

Selain itu, tes cepat juga tidak cukup sensitif seperti tes PCR, jadi tes tersebut mungkin tidak mendeteksi virus pada beban yang lebih rendah. “Manfaat rapid test adalah adalah, jika Anda positif, Anda tahu dengan cepat,” kata Dr. Pham. “Sisi negatif dari tes cepat, adalah jika Anda negatif, Anda tidak tahu pasti apakah Anda benar-benar negatif.”

Hasilnya sangat tergantung pada waktu Anda menjalani tes-nya, karena butuh waktu tertentu bagi virus untuk cukup mereplikasi cukup bahkan untuk dideteksi. "Jika Anda terpapar satu jam sebelum tes, yah, sangat kecil kemungkinannya tes itu akan mengambilnya (mendeteksi keberadaan virus). Mungkin perlu tiga, empat, atau lima hari bagi Anda untuk dites positif,” jelas Dr. Pham. Sementara selama waktu itu, Anda bisa menulari orang lain.

Namun itu juga tidak berarti para dokter tidak mengandalkan tes. "Anda tidak dapat mengelola apa yang tidak dapat Anda ukur, dan kami membutuhkan pengembangan dan penerapan pengujian COVID-19 berskala penuh," kata Joseph Allen, direktur program Healthy Building di Harvard, asisten profesor Exposure Assessment Science di TH Chan School of Public Health, dan anggota Lancet COVID-19 Commision, seperti dilansir Health.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Simak Video Berikut Ini:


Pengujian rutin

Rapid Test
Paramedis Siloam Hospitals menunjukkan hasil tes cepat (rapid test) mandiri COVID-19 secara drive thru di Akses Senayan Park Jalan Gerbang Pemuda, Jakarta, Kamis (23/4/2020). Rapid Tes Covid -19 dibanderol seharga Rp 489.000, periode 17-30 April 2020 pukul 08.00-10.00 WIB. (merdeka.com/Arie Basuki)

Dalam skenario yang ideal, pengujian rutin tidak hanya dapat menangkap kasus yang berpotensi asimptomatik, tetapi juga dapat mendeteksi kasus sebelum gejala berkembang, serta membantu memperlambat penyebaran.

Sehingga tes-nya akan dinormalisasi, dan mendapatkan tes COVID-19 menjadi sederhana, seperti mendapatkan tes kehamilan. “Keakuratan tes ini semakin baik setiap minggu, dan kehadiran tes cepat berbasis antigen berbiaya rendah yang dapat Anda lakukan sendiri dan mendapatkan hasil dalam beberapa menit dapat secara fundamental mengubah jalannya pandemi,” kata Allen.

Namun peluncuran pengujian tersebut membutuhkan waktu. Abbott Laboratories, misalnya, mengirimkan 100 juta tes COVID-19 cepat secara gratis. "Kedengarannya banyak, tapi itu hanya setiap orang ketiga di negara ini mendapat ujian setahun sekali," kata Allen. “Kami membutuhkan peningkatan besar-besaran.”

Meskipun demikian, masalah dengan pengujian biasa muncul ketika orang hanya mengandalkannya. “Kami memiliki bukti tentang hal itu dengan cara yang sangat terkenal dan spektakuler di White House," kata Allen. "Mereka memiliki strategi hanya untuk pengujian dan mengabaikan semua kontrol lain, tidak ada jarak sosial, tidak ada penggunaan masker, jadi tidak pernah menjadi pertanyaan apakah infeksi akan terjadi di White House. Itu hanya masalah kapan (COVID-19 menyerang mereka)."

Pengujian rutin hanyalah bagian dari pencegahan COVID-19. “Kami masih harus melakukan yang lainnya: Menjaga jaringan sosial kecil, menjaga jarak secara sosial, memakai masker, dan mencuci tangan,” kata Allen. Saat setiap orang melaksanakannya dengan benar sesuai protokol maka pencegahan penularan akan bekerja dengan sangat baik. Misalnya pada apa yang terjadi pada liga olahraga utama.

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) masih menyatakan bahwa tidak semua orang perlu diuji. Mereka yang harus dites, kata mereka, adalah orang-orang yang memiliki gejala COVID-19 atau orang yang pernah melakukan kontak dekat (dalam jarak 6 kaki selama total 15 menit atau lebih) dengan seseorang yang terkonfirmasi COVID-19. Selama Anda mengikuti pedoman keamanan tersebut, tidak perlu melakukan pengujian setiap minggu.

“Kami tahu strategi kontrol lain ini berhasil,” kata Allen. Intinya dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip dasar menjaga kesehatan.


Infografis Seluk-beluk Tes Medis Corona

Infografis Seluk-beluk Tes Medis Corona. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Seluk-beluk Tes Medis Corona. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya