Liputan6.com, Jakarta Seorang profesor di sekolah kedokteran Jeonbuk National University, Dr. Lee Ju-hyung dan ahli epidemiologi lainnya meminta bantuan seorang insinyur yang berspesialisasi dalam aerodinamika untuk menyelidiki seberapa jauh jarak penularan COVID-19 di udara.
Hasil penelitiannya tersebut menambah bukti bahwa COVID-19 dapat ditransmisikan melalui udara, sekaligus menyoroti betapa pelacakan kontak di Korea Selatan sangat teliti dan invasif sehingga memungkinkan para peneliti untuk melacak dengan cermat bagaimana virus berpindah melalui populasi.
Baca Juga
Prof. Lee secara umum menghindari restoran dalam beberapa bulan terakhir, namun sekalinya ia harus makan di luar, ia mengembangkan kebiasaan baru, yaitu mengeluarkan anemometer kecil untuk memeriksa aliran udara.
Advertisement
Ini merupakan tindakan pencegahan yang selalu ia lakukan sejak memulai eksperimennya pada bulan Juni, saat ia dan rekannya reka ulang kejadian penularan COVID-19 di Jeonju, sebuah kota di barat daya Korea Selatan, tempat pengunjung tertular virus corona dari pengunjung luar kota. Di antara mereka adalah seorang siswa sekolah menengah yang terinfeksi setelah lima menit terpapar dari jarak lebih dari 20 kaki (lebih dari 6 meter).
Siswa tersebut yang kemudian diberi inisial "A" dalam penelitian prof. Lee yang dinyatakan positif mengidap virus pada 17 Juni membuat para ahli epidemiologi kebingungan. Pasalnya, kota itu tidak memiliki kasus virus korona dalam dua bulan. Provinsi Jeolla Utara, tempat Jeonju berada, sudah tidak memilikinya selama sebulan. Gadis itu tidak bepergian ke luar wilayah itu dalam beberapa minggu terakhir dan sebagian besar pergi dari rumah ke sekolah dan kembali lagi.
Saat pelacak kontak beralih ke Epidemic Investigation Support System, platform digital yang diperkenalkan Korea Selatan di tengah pandemi yang memungkinkan penyelidik mengakses informasi lokasi ponsel dan data kartu kredit individu yang terinfeksi hanya dalam 10 menit.
Data GPS ponsel 'A' mengungkapkan bahwa gadis tersebut sempat berpapasan dengan pasien COVID-19 lain yang diketahui dari kota dan provinsi yang berbeda, yaitu seorang pramuniaga dari pintu ke pintu yang kebetulan saat itu sedang mengunjungi Jeonju. Kontak pertama mereka di restoran lantai pertama pada sore hari tanggal 12 Juni, hanya selama lima menit.
Lee sampai terkejut melihat seberapa jauh keduanya (A dengan pramuniaga) duduk. Rekaman CCTV menunjukkan keduanya tidak pernah berbicara, atau menyentuh permukaan yang sama, baik itu gagang pintu, cangkir atau alat makan. Dari goyangan lampu, Lee tahu bahwa unit AC di langit-langit sedang menyala saat itu.
Simak Video Berikut Ini:
Transmisi droplet
Pihak berwenang di kota Daejeon, tempat pramuniaga tersebut berkunjung, mengatakan wanita tersbeut tidak memberitahu pelacak kontak bahwa ia telah mengunjungi Jeonju, yang jarak tempuhnya hanya sekitar satu jam, tempat perusahaannya mengadakan pertemuan dengan 80 orang di lantai enam gedung dan restoran.
Lee dan timnya menciptakan kembali kondisi di restoran, dengan peneliti duduk di meja untuk mengukur aliran udara. Mereka menemukan 'A' dan pengunjung ketiga yang terinfeksi telah duduk langsung di sepanjang aliran udara dari AC; pengunjung lain yang membelakangi aliran udara tidak terinfeksi. Melalui pengurutan genom, tim mengonfirmasi kecocokan jenis genom virus ketiga pasien.
“Hebatnya, meski duduk agak jauh, aliran udara turun dari dinding dan menciptakan lembah angin. Orang-orang yang berada di sepanjang garis itu terinfeksi. Kami menyimpulkan ini adalah transmisi tetesan, dan lebih dari dua meter,” kata Lee.
“Aerosol besar atau tetesan kecil yang tumpang tindih di area abu-abu itu dapat menularkan penyakit lebih dari satu atau dua meter [3,3 hingga 6,6 kaki] jika aliran udara di sekitar Anda cukup kuat,” kata profesor teknik sipil dan lingkungan di Virginia Tech Linsey Marr yang mempelajari penularan virus di udara, yang memperkirakan 'A' terpapar dosis besar, yaitu aerosol sekitar 50 mikron, dalam lima menit.
Meski ia yang tidak terlibat dalam penelitian Lee, ia menyimpulkan pola infeksi di restoran menunjukkan penularan melalui droplet (tetesan) kecil atau aerosol yang lebih besar dapat mendarat di wajah atau terhirup. Kecepatan udara yang diukur di restoran, yang tidak memiliki jendela atau sistem ventilasi, sekitar 3,3 kaki (1 meter) per detik, setara dengan kipas angin. Sehingga virus mampu menempuh jarak 6 meter di udara dalam lima menit.
“Makan di dalam ruangan di restoran adalah salah satu hal paling berisiko yang dapat Anda lakukan dalam pandemi,” katanya. Karena menurutnya, meskipun ada jarak sebagaimana yang ditunjukkan dalam penelitian Lee, namun jarak tersebut tidaklah cukup.
Menurut hasil penelitian Timnya Lee yang diterbitkan di Journal of Korean Medical Science, standar jarak sosial 2 meter mungkin tidak cukup jauh untuk membuat orang tetap aman. Penelitian tersebut sejalan dengan temuan studi pada Juli di Guangzhou, China, yang mengamati infeksi di antara tiga keluarga yang makan di restoran di sepanjang aliran AC di meja yang terpisah satu meter, selama sekitar satu jam. Sepuluh pengunjung dinyatakan positif mengidap virus corona. Pelacak kontak di Korea Selatan juga memetakan wabah besar di Starbucks di Paju pada bulan Agustus, ketika 27 orang terinfeksi oleh seorang wanita yang duduk di bawah unit pendingin udara di lantai dua.
"Dalam wabah ini, jarak antara infektor (sumber infeksi, dalam kasus ini yaitu virus corona) dan orang yang terinfeksi ... lebih jauh dari jangkauan transmisi tetesan air yang diterima secara umum 2 meter [6,6 kaki]," tulis penulis penelitian. "Pedoman tentang penyelidikan karantina dan epidemiologi harus diperbarui untuk mencerminkan faktor-faktor untuk pengendalian dan pencegahan COVID-19 ini."
KJ Seung, seorang ahli penyakit menular dan kepala strategi dan kebijakan untuk mitra nirlaba di Health’s Massachusetts COVID response, mengatakan penelitian tersebut adalah pengingat risiko penularan dalam ruangan dan definisi 'kontak dekat' sebagai 15 menit dalam jarak 2 meter bukanlah bukti palsu. Bahkan ia menemukan para pebisnis dan pemangku sekolah-sekolah telah memiliki standar aman untuk definisi 'kontak dekat' dengan 14 menit terpapar atau berjam-jam di ruang yang sama dalam jarak lebih dari 2 meter.
Ia mengatakan banyak yang salah paham tentang hal ini. "Mereka kira, selama saya tidak kontak dekat (dengan penderita), saya akan aman," kata Seung yang tidak terlibat dalam penelitian di Korea Selatan. Ia menekankan agar setiap negara memiliki pelacak kontak agar pelacakan lebih luas dalam mencari orang yang berpotensi terinfeksi sekaligus memperingatkan orang-orang yang berisiko lebih rendah bahwa mereka mungkin telah terpapar.
Seung juga mengatakan dengan menelusuri kembali rute infeksi para peneliti epidemiologi di Korea Selatan telah membantu para peneliti di seluruh dunia lebih memahami penyebaran virus corona.
“Saya menunjukkannya kepada tim saya yang melakukan pelacakan kontak di Massachusetts, dan mereka terpukau. Kami tahu betapa sulitnya melakukan sesuatu seperti itu (penelitian yang dilakukan Lee dan timnya), itu mengesankan,” kata Seung.
Saat ini, Korea Selatan tengah menghadapi gelombang baru infeksi COVID-19 dengan tingkat kasus harian berkisar sekitar 600 dalam beberapa hari terakhir. Seoul, ibu kota, minggu ini mulai mengharuskan restoran tutup pada jam 9 malam, membatasi kedai kopi hanya untuk dibawa pulang dan memaksa klub dan bar karaoke tutup.
Advertisement