Liputan6.com, Jakarta Sebuah penelitian yang diterbitkan pada Selasa (23 Maret 2021) di jurnal Annals of Clinical and Translational Neurology menganalisis informasi dari 100 pasien yang pernah menderita COVID-19 di 21 negara bagian Amerika Serikat.
Pasien-pasien tersebut diperiksa melalui telehealth maupun secara langsung di Neuro COVID-19 Clinic di Northwestern Memorial Hospital di Chicago sejak Mei hingga November 2020. Rata-rata, pasien mengidap gejala infeksi virus SARS-CoV-2 selama empat hingga lima bulan sejak gejala awal dirasakan.
Baca Juga
Separuh dari peserta sebelumnya dinyatakan positif COVID-19, sementara separuh lainnya dinyatakan negatif tetapi memiliki gejala COVID-19. Para penulis mencatat bahwa di awal pandemi, sulit untuk mendapatkan tes COVID-19 bagi beberapa pasien yang tidak memerlukan rawat inap, hingga mungkin pasien ini telah sembuh dari infeksi pada saat mereka dites.
Advertisement
Hasilnya, 85 persen dari 100 pasien tersebut melaporkan setidaknya empat gejala neurologis. Gejala yang paling umum dirasakan adalah kabut otak atau kesulitan berpikir pada 81 persen peserta, diikuti sakit kepala pada 68 persen peserta dan mati rasa atau kesemutan pada 60 persen peserta.
Lalu, lebih dari setengah melaporkan masalah dengan indra perasa atau penciuman mereka, 47 persen melaporkan pusing, 30 persen melaporkan penglihatan kabur dan 29 persen melaporkan telinga berdenging.
Gejala umum lainnya, tetapi tidak neurologis, termasuk kelelahan, depresi dan kecemasan, insomnia dan gejala gastrointestinal.
Pada banyak pasien, gejala mereka berfluktuasi selama berbulan-bulan. Ketika mereka ditanya seberapa banyak mereka merasa telah pulih ke tingkat sebelum COVID-19, rata-rata, pasien mengatakan mereka merasa hanya 64% pulih setelah sekitar lima bulan.
"Studi kami menunjukkan bahwa gejala COVID-19 yang berlangsung lama adalah entitas baru yang penting yang membutuhkan keahlian dan perawatan multidisiplin," tulis peneliti dalam makalahnya, seperti dilansir dari Live Science.
Â
Simak Video Berikut Ini:
Butuh Penelitian Lebih Lanjut
Tidak jelas berapa banyak orang yang menderita gejala COVID-19 selama berbulan-bulan, tetapi beberapa penelitian menunjukkan bahwa sekitar 30 persen orang dengan COVID-19 mengalami gejala yang bertahan hingga sembilan bulan setelah diagnosis mereka.
"Meskipun kami tidak tahu jumlah pasti orang yang terkena COVID-19 yang berlangsung lama, mungkin jutaan orang di AS terkena sindrom ini, dan ini memengaruhi kualitas hidup dan fungsi kognitif mereka," kata penulis senior studi, Dr. Igor Koralnik, sekaligus merupakan kepala Penyakit Menular Saraf dan Neurologi Global di Northwestern Medicine.
Penulis penelitian menyarankan untuk melakukan studi lebih lanjut untuk menentukan penyebab gejala pada pasien COVID-19 bertahan sampai berbulan-bulan. Hal ini sekaligus untuk membantu peneliti menemukan perawatan yang tepat untuk kondisi tersebut.
Selain itu, peneliti juga menemukan lebih dari 40 persen peserta yang melaporkan mengalami depresi dan kecemasan sebelum diagnosis COVID-19 mereka. Yang dikhawatirkan, bisa jadi ini menunjukkan faktor risiko gejala COOVID-19 yang berlangsung lama.
Terlebih lagi, 16 persen melaporkan memiliki penyakit autoimun sebelum diagnosis COVID-19 mereka, yang dua kali lebih tinggi dari prevalensi gangguan autoimun pada populasi umum. Hal itu menunjukkan bahwa mekanisme autoimun dapat berperan dalam COVID jangka panjang, tambah peneliti.
Sekitar 70 persen partisipan adalah wanita, yang sesuai dengan rasio jenis kelamin yang terlihat pada beberapa gangguan autoimun lainnya, seperti rheumatoid arthritis, yang mempengaruhi wanita tiga kali lebih banyak daripada pria, kata penulis.
Para penulis mencatat bahwa penelitian mereka kecil dan mayoritas pasien berkulit putih, sehingga temuan tersebut mungkin tidak berlaku untuk populasi umum. Mungkin juga beberapa pasien yang dites negatif COVID-19 tidak terinfeksi virus.
Para peneliti sedang mempelajari cara untuk meningkatkan diagnosis COVID-19 bagi mereka yang sebelumnya terinfeksi; Misalnya, mereka mempelajari bagaimana sel kekebalan tertentu bereaksi terhadap protein virus corona, yang dapat membantu mengidentifikasi mereka yang sebelumnya terinfeksi.
Advertisement