Liputan6.com, Jakarta Laporan resmi jumlah kematian pasien COVID-19 saat isolasi mandiri diduga masih jauh lebih kecil dibandingkan yang terjadi sebenarnya.
Dari percakapan media daring Twitter, laporan aduan, dan pemberitaan media daring, LaporCovid19 menemukan setidaknya 451 kasus pasien meninggal ketika isolasi mandiri atau saat mencari rumah sakit hingga Senin 12 Juli.
Baca Juga
Kematian pasien isolasi mandiri ini telah dilaporkan di berbagai daerah seperti Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Kalimantan Timur.
Advertisement
Sementara, catatan Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menyebut terdapat setidaknya 446 pasien isolasi mandiri meninggal dalam 7 hari terakhir (30 Juni-6 Juli 2021) di 12 kabupaten/kota di Jawa Barat.
“Jumlah kematian isolasi mandiri sesungguhnya bisa jauh lebih besar dari yang terdata,” kata Ahmad Arif, Co-inisiator LaporCovid19 dalam konferensi pers, ditulis Kamis (15/7/2021).
Simak Video Berikut Ini
Sudah Terjadi di Luar Pulau Jawa
CISDI dan LaporCovid19 mendorong pemerintah serius menyingkap data kematian ketika isolasi mandiri kepada publik sekaligus membenahi upaya penanganan wabah untuk mencegah kejadian kematian serupa berulang.
Ahmad Arif mengatakan, tren kematian ketika isolasi mandiri cukup intens terjadi belakangan ini.
“Tren yang menarik belakangan ini adalah kematian ketika isolasi mandiri sudah mulai terjadi di luar pulau Jawa, seperti di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, atau Nusa Tenggara Timur, dan Sumatera Barat,” katanya.
“Ini menjadi semacam indikasi bahwa penyebaran wabah ini sudah intens di luar Pulau Jawa dan perlu menjadi perhatian kita bersama. Jumlah yang terdata ini kami yakin hanya fenomena gunung es,” tambahnya.
Advertisement
Tanda Bahaya
Sementara itu, Penasihat Senior Urusan Gender dan Pemuda untuk Direktur Jenderal WHO dan Pendiri CISDI, Diah Saminarsih, M.Sc., mengatakan peningkatan kematian ketika isolasi mandiri adalah tanda bahaya robohnya sistem kesehatan nasional.
“Tiadanya kesiapan memperkokoh pilar-pilar penanggulangan krisis kesehatan membuat penanganan pandemi seperti kehilangan arah dan tidak cekatan merespons lonjakan transmisi,” katanya.
Di hulu, layanan kesehatan primer tidak disiapkan untuk menghadapi beban kerja berlapis. Hal ini menyebabkan keterbatasan tenaga, keterbatasan fasilitas deteksi kasus dan perawatan, serta alat kesehatan untuk kegawatdaruratan seolah menciptakan kebuntuan dalam penanganan fase kritis saat ini, imbuhnya.
“Padahal, semua tantangan tersebut dapat diatasi kalau saja strategi penanganan pandemi khususnya untuk layanan kesehatan primer telah disiapkan sejak pandemi ini mulai 16 bulan yang lalu. Akibatnya pasien terlambat ditemukan, terlambat mendapat pertolongan pertama, terlambat dirujuk.”
Infografis Pedoman Isolasi Mandiri Pasien Tanpa Gejala COVID-19
Advertisement