Liputan6.com, Jakarta - Pusing setelah gempa juga dikenal dengan sebutan post-earthquake dizziness syndrome (PEDS). Ternyata, hal ini memang mungkin terjadi dan perempuan cenderung lebih mudah mengalaminya.
Dokter Spesialis Neurologi RS Atma Jaya, Yuda Turana mengungkapkan bahwa perempuan lebih mudah mengalami PEDS karena berkaitan dengan respons terhadap stres.
Baca Juga
"Pada dasarnya memang ada perbedaan pada gender terhadap respons stres. Misalnya saja perempuan lebih mudah cemas dibandingkan laki-laki," ujar ujar Yuda saat dihubungi Health Liputan6.com ditulis Rabu, (19/1/2022).
Advertisement
Yuda menjelaskan, hal tersebut juga tertuang dalam sebuah penelitian di Jepang pasca gempa Kumamoto tahun 2016 lalu. Pada gempa berkekuatan 9,0 skala Richter.
Studi tersebut melibatkan 4,231 orang, dan 1,543 diantaranya mengaku merasakan PEDS. Dalam studi tersebut juga dijelaskan beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya PEDS.
"Seperti perempuan, adanya tinnitus, posisi lantai 3 atau diatasnya, riwayat gangguan pusing sebelumnya atau mabuk perjalanan lebih cenderung mudah mengalami PEDS," kata Yuda.
Faktor psikologis pasca gempa
Menurut Yuda, gangguan keseimbangan juga dapat terjadi karena stres psikologis pasca gempa. Itulah mengapa pusing pasca gempa yang memberikan efek berputar dapat dirasakan.
"Gangguan keseimbangan dapat diinduksi oleh stres psikologis pasca gempa. Kecemasan dapat berpengaruh terhadap organ vestibular dan jarasnya di otak, termasuk gangguan pada kanalis semisirkularis yang mengatur keseimbangan," ujar Yuda.
Sementara itu, kepanikan dan rasa cemas juga merupakan faktor yang ikut menyumbang terjadinya pusing berputar atau PEDS. Namun, Yuda mengungkapkan bahwa pusing dapat hilang dengan sendirinya.
"Pusing akan hilang sendiri, dan salah satu faktor terkait erat dengan kecemasan. Jangan panik dan cemas, pikirkan hal positif, bahwa gempa akan mereda," kata Yuda.
Advertisement