HEADLINE: Mayoritas Pasien COVID-19 Gejala Ringan dan OTG, Pengawasan Isolasi Mandiri dan Telemedisin?

Kementerian Kesehatan RI mengingatkan agar masyarakat yang sudah mengetahui dirinya positif terinfeksi COVID-19 untuk peduli juga pada kesehatan orang lain.

oleh Aditya Eka PrawiraMuhammad Radityo PriyasmoroDyah Puspita WisnuwardaniBenedikta DesideriaDiviya Agatha diperbarui 08 Feb 2022, 11:31 WIB
Diterbitkan 08 Feb 2022, 00:01 WIB
Ilustrasi isolasi mandiri, isoman, COVID-19
Ilustrasi isolasi mandiri, isoman, COVID-19. (Photo by Dylan Ferreira on Unsplash)

Liputan6.com, Jakarta - Gejala COVID-19 varian Omicron disebut lebih ringan, bahkan tak jarang pula tak menimbulkan gejala. Salah satu gejala yang banyak ditemukan pada pasien Omicron yakni gatal atau nyeri tenggorokan. Selain itu, hidung tersumbat atau berair terkadang menyertai gangguan di tenggorokan.

Gejala yang amat mirip dengan flu atau pilek, membuat banyak individu tak menyadari jika terinfeksi varian COVID-19 yang kini tengah melanda sebagian besar negara di dunia. Atau bahkan menganggap hal itu sebagai sesuatu yang biasa.

Baru-baru ini viral di media sosial, pasangan suami istri dengan hasil tes antigen positif COVID-19 alih-alih melakukan isolasi mandiri atau terpusat malah melanjutkan aktivitas jalan-jalan. Hal ini pun menuai banyak kecaman dari warganet.

Pada akun Facebook-nya, pria berinisial RFA itu bercerita batal berlibur ke Bali lantaran hasil tesnya saat akan menyeberang ke Pulau Dewata menunjukkan positif COVID-19. Akhirnya dia memutuskan berwisata ke Malang dan Batu, Jawa Timur 

"Om imron kali ini ringan gejalanya, mungkin karna alumni delta sebelumya jd hampir tak terasa, gejalanya tenggorokan guatel agak sakit spt radang, badan sumer dan bersin2 suedikit, yah seperti divaksin moderna lah tapi jalan2 jalan terooss," kata RFA dalam unggahan di akun Facebooknya.

Wali Kota Malang Sutiaji menyatakan bahwa identitas pemilik akun tersebut telah diketahui. Pihaknya pun telah berkomunikasi dengan Kapolresta Malang Kota guna meminta keterangan dari pemilik akun. 

"Saya sudah berkoordinasi dengan Kapolresta. Sudah ada pemanggilan untuk datang ke sini. Saat ini, saya belum mendapatkan banyak informasi," ujarnya. 

Jika benar pemilik akun Facebook tersebut tetap berwisata dengan status konfirmasi positif COVID-19, maka hal itu jelas melanggar Undang-Undang tentang Karantina Kesehatan. 

Kementerian Kesehatan RI mengingatkan agar masyarakat yang sudah mengetahui dirinya positif terinfeksi COVID-19 untuk peduli juga pada kesehatan orang lain. Caranya dengan menjalani isolasi mandiri maupun isolasi terpusat yang sudah pemerintah siapkan agar tidak menularkan ke orang lain.

"Kesadaran masyarakat sendiri untuk menjaga keselamatan orang lain dan tidak egois," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi ke Health-Liputan6.com lewat pesan teks pada Senin (7/2/2022).

Berbagai studi menunjukkan bahwa meski tanpa gejala, OTG tetap dapat menularkan virus SARS-CoV-2 penyebab COVID-19.

Sementara itu, pasien COVID-19 saat ini mulai memadati rumah sakit, seperti disampaikan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Padahal, menurutnya Indonesia belum lagi memasuki puncak gelombang ketiga COVID-19.

Luhut mengatakan, lebih dari separuh pasien yang dirawat di rumah sakit bergejala ringan dan tanpa gejala.

"Ini perlu mendapat perhatian dalam perawatan rumah sakit, 65 persen pasien dirawat saat ini memiliki gejala ringan dan tanpa gejala. Kita minta mereka jangan masuk rumah sakit tapi masuk saja di isoter karena cukup di isoter," kata Luhut saat jumpa pers daring, Senin (7/2/2022). 

Adapun data Kementerian Kesehatan RI menunjukkan keterisian tempat tidur di rumah sakit nasional berada pada angka 24,7 persen atau 20.439 pasien pada Senin, 7 Februari 2022 pukul 17.00 WIB. Sementara total tempat perawatan intensif dan isolasi COVID-19 yang tersedia yakni 82.521.

Menurut Luhut, anjuran isolasi mandiri dan isolasi terpusat bagi pasien bergejala ringan atau tanpa gejala merupakan hasil masukan para ahli dan telah dirapatkan dengan Presiden Joko Widodo.

"Sesuai arahan Presiden, hanya yang bergejala berat, sedang dan kritis yang masuk ke rumah sakit, sisanya isoter, ini hasil diskusi dengan para ahli dan presiden memberi endorsement," jelas Luhut.

Luhut berharap, mereka yang menjalani perawatan secara isoter untuk tidak cemas dan khawatir tidak tertangani. Dia memastikan, pelayanan telemedicine sudah berjalan dengan koordinasi Kementerian Kesehatan.

"Pemerintah mendorong secara masif telemedicine untuk masyarakat yang memiliki gejala ringan dan saya kira Menteri Kesehatan sudah melakukan tugasnya dengan baik. Pemerintah mengimbau untuk tidak panik dalam menghadapi lonjakan Omicron karena pemerintah sudah mengambil langkah pencegahan," ucap Luhut.

Infografis Mayoritas Pasien Covid-19 Bergejala Ringan dan OTG. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Mayoritas Pasien Covid-19 Bergejala Ringan dan OTG. (Liputan6.com/Abdillah)

Alih Fungsi Rumah Sakit

Infografis Pasien Covid-19 Gejala Ringan dan OTG Diimbau Isolasi Mandiri. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Pasien Covid-19 Gejala Ringan dan OTG Diimbau Isolasi Mandiri. (Liputan6.com/Abdillah)

Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan menilai jumlah bed occupancy rate saat ini masih terjaga. Meski demikian, pasien yang bergejala ringan atau tanpa gejala diimbau untuk melakukan isolasi mandiri atau terpusat. 

Melalui kebijakan Menteri Kesehatan, HK. 02.01/MENKES/18/2022, semua rumah sakit akan menangani pasien gejala sedang hingga yang memerlukan perawatan intensif, dan pasien bergejala ringan dialihkan ke isolasi mandiri atau terpusat.

Strategi mempercepat alih fungsi rumah sakit bagi pasien sedang dan berat ini merupakan langkah yang tepat untuk mengurangi beban infrastruktur dan tenaga kesehatan.

“Salah satu poin krusial dalam penanganan pandemi selain infrastruktur layanan kesehatan, juga soal tenaga kesehatan. Perlu untuk menjaga tenaga kesehatan agar minim terpapar COVID-19 sehingga pelayanan bisa maksimal. Dengan meningkatnya pasien tanpa gejala dan gejala ringan yang dirawat di rumah sakit, menambah peluang tenaga kesehatan kita terpapar dan kelelahan,” jelas Nadia.

Strategi ini juga dilakukan agar masyarakat yang terpapar COVID-19 dan memiliki gejala sedang hingga kritis, dan yang membutuhkan layanan intensif dari rumah sakit, mendapatkan perawatan yang baik, termasuk terapi oksigen.

Selain melakukan strategi alih fungsi rumah sakit, tempat-tempat publik juga diimbau disiplin dalam menerapkan aplikasi PeduliLindungi. Sehingga, semua orang yang masuk ke tempat tersebut diketahui status kesehatan dari COVID-19 atau tidak.

"Tempat publik harus menerapkan PeduliLindungi supaya memastikan yang bisa beraktivitas adalah yang memang bukan positif orang tanpa gejala atau kontak erat," kata Nadia.

Juru Bicara Pemerintah untuk COVID-19 Reisa Broto Asmoro mengatakan bahwa ketika tahu terpapar COVID-19, segera melapor ke puskesmas terdekat maupun Satgas COVID-19.

Kasus konfirmasi COVID-19 tanpa gejala (asimptomatik) dan gejala ringan dapat melakukan isolasi mandiri jika memenuhi syarat klinis dan syarat rumah.

Adapun syarat klinis dan perilaku yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:

1. Berusia di bawah 45 tahun;

2. Tidak memiliki komorbid;

3. Dapat mengakses telemedisin atau layanan kesehatan lainnya; dan

4. Berkomitmen untuk tetap diisolasi sebelum diizinkan keluar.

Sedangkan syarat rumah dan peralatan pendukung lainnya yaitu:

1. Dapat tinggal di kamar terpisah, lebih baik lagi jika lantai terpisah;

2. Ada kamar mandi di dalam rumah terpisah dengan penghuni rumah lainnya; dan

3. Dapat mengakses pulse oksimeter.

Meteri Kesehatan menekankan, selama seseorang menjalani isolasi mendapatkan pengawasan Puskesmas atau Satgas COVID-19 setempat.

"Selama isolasi, pasien harus dalam pengawasan puskesmas atau satgas setempat,” ujar kata Budi.

 

Cerita Pasien Isoman Gunakan Layanan Telemedisin

Infografis Alur Telemedicine dan Obat Gratis untuk Pasien Isoman Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Alur Telemedicine dan Obat Gratis untuk Pasien Isoman Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)

Layanan telemedicine dari Kemenkes RI untuk pasien COVID-19 yang isolasi mandiri di rumah bukan isapan jempol semata. Ella, Yoga Takai, dan Yuki telah menjajal layanan cuma-cuma dari pemerintah tersebut.

Meski dari ketiganya hanya Ella yang mendapat respons tidak lebih dari 24 jam, baik Yoga Takai maupun Yuki tak memersoalkannya lantaran bila menggunakan uang dari kantong sendiri harganya obatnya lumayan bikin boncos.

Ella, 30 tahun, terkonfirmasi positif tertular Virus Corona pada Selasa sore, 26 Januari 2022. Namun, saat aplikasi PeduliLindungi sudah berubah hitam yang menandakan dia adalah kasus COVID-19, Ella belum menerima pesan apapun dari Kemenkes RI lewat WhatsApp.

Akan tetapi saat Ella mengecek Nomor Induk Kependudukan (NIK) miliknya di situs Isoman Kemkes sudah tercatat positif COVID-19.

"Langsung deh diarahkan ke aplikasi telemedisin. Karena di ponsel saya adanya Halodoc, ya, ke Halodoc," kata Ella saat berbincang dengan Health Liputan6.com melalui pesan singkat.

"Konsultasi lalu dikasih resep," dia melanjutkan.

Resep yang diterima Ella kembali diunggah ke situs tersebut. Selang dua hari kemudian, tepatnya Kamis, 28 Januari 2022, obatnya sampai lewat Si Cepat.

"Dari antigen, sih, NIK yang tercatat sudah (+), jadi, pas masukin ke web isoman langsung bisa konsul ke Halodoc," ujarnya.

Dalam panduan penggunaan layanan telemedicine, poin nomor satu ditekankan bahwa pasien melakukan swab test PCR di laboratorium yang terafiliasi dengan Kementerian Kesehatan RI.

Jika hasil tesnya positif dan laboratorium melaporkan hasilnya ke database kasus positif COVID-19 di Kemenkes (NAR), pasien akan menerima WhatsApp dari Kemenkes RI (dengan centang hijau) secara otomatis.

Terkait poin tersebut, Ella mengaku memang melakukan antigen dan swab test PCR di tempat yang kliniknya adalah rekanan Kemenkes RI.

"Aku di klinik Rosella Indah. Masuk, sih, di list Kemenkes," katanya.

Hal berbeda dialami Yoga Takai. Karyawan swasta di perusahaan provider ternama Indonesia berumur 34 tahun justru harus 'pindah' ponsel dulu agar bisa menggunakan layanan tersebut.

Di satu sisi, Takai tidak memungkiri bahwa telemedisin dari Kemenkes RI amat membantu dia yang harus isoman. Terutama dalam kemudahan memeroleh akses ke dokter dan juga obat.

"Jadi, begitu terdeteksi PCR positif, sekitar 10 sampai 12 jam berikutnya langsung dapat WhatsApp dari Kemenkes. Isinya link (tautan) isoman kemkes dan panduan buat konsultasi via telemedisin, juga penebusan obat," kata Takai.

Hanya saja, begitu Takai dapat tautannya, tidak ada satu telemedicine pun yang muncul tautannya.

"Jadi, meski NIK teridentifikasi bisa dapat bantuan, ya, percuma enggak bisa diklaim. Pakai voucher ISOMAN buat klaim pun enggak bisa karena tidak dari hyperlink itu," ujarnya.

Setelah dua hari, lanjut Takai, dirinya mencoba menggunakan ponsel lain dan ternyata bisa terbuka tautannya, serta tautan buat telemedisin. Takai langsung menjajalnya.

"Saya coba konsultasi, deh. Saat itu kena biaya Rp35 ribu, tapi karena ada voucher ISOMAN dan potongan harga, jadinya nol rupiah," kata Takai.

"Saya diresepin Avigan dan banyak obat lain," Takai menambahkan.

Disebabkan ingin memeroleh opini kedua (second opinion), Takai konsultasi dengan dokter berbeda. Kali ini voucher ISOMAN dari Kemenkes tak dapat digunakan. Takai membayarnya sendiri.

"Nah, yang ini diresepin agak beda. Lebih banyak vitamin," katanya.

"Terus, saya coba klaim lewat tautan pemesanan obat dari Kemenkes. Waktu itu hari Sabtu sore, ternyata obat dari Kemenkes dikirim dari Kimia Farma Jakarta Pusat, pakai logistik Si Cepat," Takai melanjutkan.

Di pengalaman kali ini, yang Takai rasakan pick up atau pengambat obat lumayan lama. Baru pada Minggu pesanannya di-pick up logistik dan disampaikan ke beberapa hub transit.

"Obatnya Paket B untuk ISOMAN, baru sampai ke tangan saya di hari Senin malam," katanya.

"Setelah lihat paket ini, agak kecewa karena saya kira seluruh obat dan vitamin yang diresepkan yang didapat. Ternyata cuma tiga jenis saja, dan sisanya saya mesti beli secara terpisah," Takai menambahkan.

Takai mengaku kecewa karena tidak disebut secara rinci obat apa saja yang harus dibeli terpisah. Kalau memang tidak seluruh resep, mestinya pasien diberitahu, jadi, pasien bisa antisipasi.

"Tapi saya juga senang karena Avigan yang paling dibutuhkan sudah masuk di Paket B dan gratis," katanya.

Selain telemedicine, pengalaman kurang menyenangkan dari layanan isoman puskesmas dirasakannya.

Takai, mengatakan, mengontak pihak puskesmas dengan harapan bisa konsultasi mengenai waktu PCR dan ketika obatnya sudah habis.

Puskesmas menyarankan Takai untuk ke Wisma Atlet dan mengatakan bahwa buat isoman harus izin RT dan RW.

"Ini konyol sekali mengingat posisi saya tinggal di kosan dan melakukan banyak hal juga sendiri," katanya.

"Masak ketika obat saya sudah mau habis, gejala sudah banyak yang hilang, dari layanan kesehatan masyarakat malah begitu," ujar Takai.

Takai berharap ke depannya telemedicine bukan sekadar penyedia layanan kesehatan swasta saja. Mestinya puskesmas juga seperti ini.

"Masak kayak standarnya beda. Dari Kemenkes menyarankan isoman di mana pun berada asal tempatnya layak, yang dari puskesmas memaksakan izin RT RW segala. Warga enggak bermasker berkeliaran saja tidak pernah diurusin RT RW," pungkas Takai.

Cerita serupa Takai dialami Yuki Afriani. Jelang ulang tahun anak laki-lakinya, suami Yuki, Sigit, malah harus 'jaga jarak' sementara waktu setelah dinyatakan positif COVID-19.

Yuki, bercerita, pada Selasa 26 Januari 2022, Sigit kontak erat dengan temannya yang ternyata (+) COVID-19. Sigit lalu karantina mandiri karena sadar telah menjadi kontak erat.

Tiga hari kemudian atau Jumat, 29 Januari 2022, Sigit mendadak demam hingga 39 derajat Celsius. Suhu tak juga turun sampai keesokan pagi.

Sabtu pagi, 30 Januari 2022, sekitar pukul 10.00 WIB, suami Yuki melakukan swab test PCR. Selang tujuh jam kemudian, hasil keluar dan diketahui ada Virus Corona bersemayam di tubuh Sigit.

"Pada kondisi ini aku agak blank mau ngapain dulu. Yang pertama aku hubungi teman yang bekerja di RS COVID-19, terus dia kasih link (tautan Kemenkes), terus ada teman di Instagram juga kasih tautan yang sama," kata Yuki.

Begitu hasil di tangan, Yuki langsung melapor ke RT. Malam itu juga, kata dia, suaminya didaftarkan ke puskesmas.

"Itu kejadiannya sekitar pukul 7 malam. Nah, sekitar pukul 22.00, aku akses Halodoc buat cari dokter Covid, buat konsultasi sekalian minta resep. Aku bilang kalau aku menggunakan link dari Kemenkes," katanya.

Dokter lalu menanyakan riwayat kesehatan Sigit. Yuki lalu diberikan sebuah tautan untuk mengirim data secara rinci.

"Tapi, sayang, kayaknya ponselku bapuk kagak bisa dibuka, dan dokternya sudah capai kirim link terus. Terus dia kasih resep obat digital buat di-upload di situs Kemenkes," katanya.

Hal tersebut baru dilakukan Yuki pada Senin, 31 Januari 2022, sekitar pukul 07.00 pagi. Adapun yang diunggah ke dalam situs tersebut berupa NIK dan foto resep.

Resep digital yang diterima Yuki dari dokter di Halodoc isinya beragam. Vitamin D2 1.000 IU, Avigan 200 mg, Fluimucil 200 mg, Zegavit lima kaplet, Azithromycin 500 mg.

"Lalu ada konfirmasi di halaman situs. Obatnya akan dikirim dari Kimia Farma Tangerang, tapi statusnya masih menunggu konfirmasi," ujarnya.

Setiap saat Yuki memantau pergerakan yang terjadi di aplikasi telemedisin. Yuki merasa tak ada perubahan berarti. Baru pada Selasa, 1 Februari 2022, status berubah menjadi 'sedang pengiriman'.

"Bukannya apa-apa, aku agak ngejer ini soalnya kata ipar yang kebetulan dokter sebaiknya obat diminum setidaknya jangan sampai lewat hari ke-3 dari mulai positif," ujarnya.

Setelah semua data masuk, statusnya masih 'menunggu konfirmasi'. 

Respons positif diterima salah satu pasien COVID-19 yang kini sudah sembuh, Febi (33 tahun). Dia mengatakan bahwa ketika ia positif COVID-19 dari tes PCR data tersebut tak langsung terhubung ke PeduliLindungi tapi ke data Dinas Kesehatan Kota Solo, Jawa Tengah.

Lalu, dokter puskesmas tempatnya tinggal langsung mengubungi dirinya. Dokter tersebut menanyakan kondisi Febi, ternyata tanpa gejala. Alhasil Febi hanya dikirim vitamin dari Puskesmas terdekat.

Dokter pun berpesan agar ia menjalani isolasi mandiri mengingat rumahnya memadai untuk melakukan hal itu.

"Namun dokter berpesan agar istri dan anak saya tidak keluar rumah meski mereka negatif COVID-19. Istri dan anak bisa keluar rumah bila saya jalani isolasi terpusat milik pemerintah," katanya lewat pesan teks.

Selain dokter puskesmas, perangkat desa setempat seperti Pak RT tempat tinggalnya pun juga mengetahui hal tersebut.

Evaluasi Kebijakan Isolasi Mandiri dan Telemedisin COVID-19

Pengamat kebijakan publik Trubus Rahadiansyah meminta pemerintah segera mengevaluasi kebijakan isolasi mandiri (isoman) bagi pasien COVID-19 tanpa gejala, terlebih bagi mereka yang menggunakan telemedisin.

Pasalnya, banyak yan mengalami keterlambatan distribusi terhadap distribusi obat kepada pasien COVID-19.

"Perlu dievaluasi kebijakan isoman itu karena semua pakai telemedisin ada kendala distribusi dan penyampaiannya, dari kasus virus Delta banyak yang meninggal karena obatnya telat sampai," kata Trubus saat dihubungi Liputan6.com, Senin (7/2/2022).

Dia menyadari, bahwa kondisi geografis antar wilayah di Indonesia yang tidak merata membuat obat tidak sampai dalam hitungan jam. Dia meminta, harus ada kebijakan berbeda diterapkan terkait hal ini.

"Mungkin kalau di kota tidak ada kendala karena dekat apotek, kalau di daerah ini harus dibuat strategi berbeda, misal dengan Puskesmas dikasih banyak stoknya karena kan puskesmas meyasarnya ke desa-desa," kata Trubus.

Satu strategi yang bisa dilakukan oleh pemerintah perihal problem ini adalah dengan meningkatkan sumber daya manusia dengan menggandeng relawan.

Trubus meminta peran warga seperti karang taruna dapat dihidupkan dalam memantau para tetangganya yang tengah berjuang untuk sembuh saat isolasi mandiri.

"Harus kolaborasi karena nakes kan terbatas kita harus gandeng komnitas masyarakat setempat, misal dengan karangtaruna yang harus diperbanyak, pantau perkembangan warganya yang kena dan kalau ada situasi darurat segera lapor RT RW dan bisa langsung ada tindakan," kata dia.

Menurut Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Hermawan Saputra, dengan adanya pilihan lebih dari 16 platform telemedisin tentu membantu masyarakat terhadap akses informasi terkait kondisi klinis dan cara penanganannya.

"Tetapi di luar Jabodetabek bahkan di luar pulau Jawa, itu tidak berkembang ya. Tidak ada platform sejenis yang bisa menjangkau untuk semua," ujar Hermawan saat dihubungi Health Liputan6.com.

"Sementara laju penyebaran COVID-19 dengan varian Omicron ini sudah menyentuh ke seluruh daerah sesungguhnya. Hanya persoalan deteksi saja yang kita cukup rendah di luar pulau Jawa," tambahnya.

Sehingga, hal tersebut dianggap menjadi tantangan tersendiri bagi penanganan COVID-19 yang akan difokuskan lewat telemedisin.

"Telemedisin cukup membantu, hanya memang kendala waktu itu dan persebarannya saja yang tidak merata untuk farmasi," kata Hermawan. 

Hermawan menjelaskan, tantangan lainnya yang dihadapi ada pada keterkaitan antara telemedisin dan telefarmasi di tiap daerah.

Mengingat belum semua farmasi siap untuk mendistribusikan obat pada pasien yang terinfeksi COVID-19. Itulah mengapa kolaborasi dengan sinkronisasi antar masing-masing platform dianggap penting.

"Jadi ada dua platform sebenarnya. Pertama telemedisin, telemedisin itu erat kaitannya dengan konsultasi," kata Hermawan.

"Sementara untuk obat-obatan, farmasi ini adalah platform yang berbeda dalam arti tidak semua apotek atau instalasi farmasi itu siap untuk distribusi obat-obatannya. Nah di sinilah yang dibutuhkan penguatan itu, karena ada dua hal berbeda," tambahnya.

Selain itu, Hermawan mengatakan bahwa perlu ada penguatan komunikasi multi-stakeholders antar tenaga kesehatan dan tenaga-tenaga lainnya seperti tokoh agama, tokoh masyarakat, RT, RW, dan lain-lain.

"Kalau ke semua komunitas dalam level RT RW ini sadar dan mampu memetakan peran masing-masing, itu akan mudah dan membantu di dalam pencegahan dan pengendalian COVID-19," kata Hermawan.

Terlebih menurut Hermawan, peranan tenaga kesehatan di komunitas seperti bidan, perawat, dan tenaga-tenaga kesehatan di masyarakat lainnya juga penting. Termasuk dalam hal isolasi mandiri (isoman) dan isolasi terpadu (isoter). Sehingga, penanganan terkait isolasi pun tak harus selalu diserahkan pada tempat isolasi terpusat seperti Wisma Atlet dan rumah sakit utama yang disediakan pemerintah.

"Itu harusnya menjadi agen. Kita berharap agar pemerintah melalui jejaring tenaga kesehatan hingga ke struktur Puskesmas itu harus terkonsolidasi. Paham prosedur penanganan COVID-19, tidak semuanya dilimpahkan seolah-olah ke Wisma Atlet atau tiba-tiba dirujuk ke sana," ujar Hermawan.

Bahkan, menurut Hermawan, saat koordinasi dalam suatu komunitas warga kuat, maka ruang untuk isoman maupun isoter pun bisa diinisiasi dan disediakan oleh pihak RT dan RW.

"Kalau komunitasnya kuat, adanya ruang-ruang isoter itu bisa disediakan dari dan oleh komunitas, RT RW itu bisa menginisiasi. Mungkin ada perkantoran atau rumah kosong atau fasilitas yang tidak terpakai, sementara itu bisa dijadikan fasilitas bersama yang koordinasi pemantauannya penanganannya oleh nakes di wilayah kerja puskesmas," kata Hermawan.

Dalam hal ini, pihak komunitas pun bisa melibatkan multi-stakeholders untuk melakukan edukasi, pembinaan, dan pengawasan dalam fasilitas isoman dan isoter.

"Sehingga ini akan membantu sekali peran pemerintah tidak selalu harus ke Wisma Atlet (misalnya untuk Jakarta) yang makin hari juga makin numpuk, makin penuh," ujarnya.

 

Tenang Jalani Isolasi Mandiri dan Isolasi Terpusat

Infografis Perluasan Telemedicine Gratis Pasien Isoman Covid-19 di Jawa-Bali. (Liputan6.com/Niman)
Infografis Perluasan Telemedicine Gratis Pasien Isoman Covid-19 di Jawa-Bali. (Liputan6.com/Niman)

Pemerintah pun mengatakan agar masyarakat tidak usah panik maupun cemas bila menjalani isolasi mandiri di rumah atau isolasi terpusat di tempat yang disediakan pemerintah.

Jika pasien OTG atau bergejala ringan jalani isolasi mandiri di rumah, gunakan layanan telemedisin dari 13 platform yang sudah bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan bagi masyarakat Jabodetabek. Serta dalam pekan ini bakal diperluas lagi ke beberapa wilayah lain seperti Bandung Raya, Semarang Raya, Solo Raya, dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kemudian, Malang Raya hingga Denpasar.

Nantinya, pasien isoman bakal dikirimkan paket obat sesuai kriteria gejalanya. Budi menyebut telemedicine telah melayani 150 ribu pasien COVID-19. Sebanyak 38 ribu obat-obatan telah dikirim kepada masyarakat yang terkonfirmasi COVID-19.

Namun, ada juga pasien COVID-19 yang sulit telat mendapatkan akses obat COVID-19. Menurut Nadia, hal itu karena ada beberapa faktor seperti proses input data yang memakan waktu, skrining saat atensi dan problem saat pengantaran.

Nadia juga mengatakan bahwa peningkatan jumlah pasien COVID-19 yang terinfeksi berimbas pada layanan pengiriman obat bagi isoman yang menggunakan layanan telemedisin. "Salah satunya juga penyesuaian karena volume pengiriman yang banyak," kata Nadia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya