Ratusan WNI Jadi Korban Modus Kejahatan Online Scam di Myanmar, Salah Siapa?

Ratusan Warga Negara Indonesia (WNI) dipulangkan ke Tanah Air melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta, pada Selasa 18 Maret 2025. Hal ini membuat pihak semakin menaruh perhatian terhadap mereka yang menjadi korban kejahatan penipuan online

oleh Nanda Perdana PutraAdy AnugrahadiMuhammad Radityo PriyasmoroKhairisa Ferida Diperbarui 21 Mar 2025, 09:49 WIB
Diterbitkan 21 Mar 2025, 00:05 WIB
Proses pemulangan 400 WNI korban eksploitasi online scam dari Myawaddy, Myanmar via Thailand.
Proses pemulangan 400 WNI korban eksploitasi online scam dari Myawaddy, Myanmar via Thailand. (Dok. Kemlu RI)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Ratusan Warga Negara Indonesia (WNI) dipulangkan ke Tanah Air melalui Bandara Internasional Soekarno-Hatta, pada Selasa 18 Maret 2025. Pemulangan ini dilakukan secara bertahap, dimulai sejak Senin, 17 Maret 2025.

Ratusan WNI yang dipulangkan tersebut merupakan korban penipuan online atau online scam yang terjadi di wilayah konflik bersenjata di Myawaddy, Myanmar. Proses pemulangan mereka dilakukan setelah dilakukan koordinasi antara pemerintah Indonesia dan pihak berwenang Myanmar, serta lembaga terkait lainnya.

Langkah pemulangan ini merupakan bagian dari upaya untuk melindungi warganya yang terjebak dalam situasi berbahaya di luar negeri, sekaligus memberikan bantuan dan pemulihan kepada para korban penipuan online yang telah mengalami berbagai kesulitan.

Meski sudah ada ratusan WNI yang dipulangkan, masih ada WNI yang enggan pulang, bahkan kembali lagi setelah berhasil dipulangkan. Di mana masih ada sekitar 70 WNI yang masih berada di kawasan konflik tersebut. 10 orang terlibat masalah hukum dan 60 orang lainnya menolak pulang ke Indonesia.

Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri, Irjen Pol Krishna Murti mengatakan, jumlah WNI yang masih di Myanmar sejauh ini masih belum bertambah atau berkurang jumlahnya.

"Sementara (jumlah WNI) yang kemarin saja," kata dia kepada Liputan6.com, Kamis (20/3/2025).

Soal adanya dugaan aktor yang diduga melakukan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di dalam negeri, menurut Krishna mengungkapkan semuanya diserahkan ke Bareskrim Polri.

"Kami support Bareskrim untuk penegakan hukumnya," ungkap Krishna.

Krishna sebelumnya bercerita pihak Kepolisian pernah mendapat pengakuan dari terduga pelaku yang berhasil mendapatkan keuntungan hingga Rp500juta dari satu orang korban online scamming. Hal tersebut membuat pelaku enggan pulang ke Indonesia.

"Itu sangat luar biasa, apalagi pelaku utama dilindungi oleh otoritas Myawaddy yang merupakan kartel yang tidak terkait dengan Pemerintah Myanmar," katanya.

Untuk itu, pemulangan ratusan korban TPPO tersebut pun, kata Krishna Murti bisa menyelamatkan ribuan WNI lain yang ada di Indonesia dari menjadi korban tindak pidana online scamming.

"Jadi ini merupakan operasi yang sangat besar," jelasnya.

Promosi 1
Infografis Tindak Lanjut Pemerintah Selamatkan WNI Korban Online Scam di Myanmar.
Infografis Tindak Lanjut Pemerintah Selamatkan WNI Korban Online Scam di Myanmar. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)... Selengkapnya

Harusnya Sudah Terendus

Ratusan WNI Korban Eksploitasi Penipuan Daring Tiba di Tanah Air
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu) memastikan 400 WNI yang menjadi korban eksploitasi penipuan daring di Myanmar telah berhasil dikeluarkan dari wilayah konflik Myawaddy dan dipastikan sedang dalam perjalanan kembali ke tanah air. (Tatan SYUFLANA/POOL/AFP)... Selengkapnya

Ahli hukum pidana dan kriminologi, Ahmad Soflan mengatakan, seharusnya pemerintah dalam hal ini pihak Imigrasi sudah bisa mengendus hal ini dari awal. Pasalnya, banyak dari korban menggunakan visa wisata daripada visa kerja untuk pergi ke Myanmar.

"Jadi sebetulnya Imigrasi itu di pintu keluar, harusnya sudah bisa mengendus. Ini berangkat dalam rangka apa? Apakah dalam rangka wisata atau bukan? Kan bisa dilihat dari profil orangnya. Mungkinkah mereka berwisata, atau mungkinkah mereka sebetulnya ditipu, tapi mereka tak paham kalau mereka akan ditipu untuk bekerja," kata dia kepada Liputan6.com, Kamis (20/3/2025).

"Nah, sebetulnya di pintu masuk itu yang harusnya diperketat terhadap sejumlah warga Indonesia, terutama laki-laki dengan usia tertentu di bawah 30 yang akan berangkat ke Kamboja, Myanmar, dan Vietnam," sambungnya.

Menurut Ahmad, selain pintu keluar, pembuatan dan penerbitan paspor diperketat. Di mana, dari sana sudah bisa diprofiling seperti apa yang ingin berangkat dan tujuannya.

"Jadi sebetulnya, dari penerbitan pasport, kemudian yang kedua ketika mereka keluar. Dan yang ketiga adalah maskapai. Cuma kan maskapai selama ini tidak dikasih perannya. Jadi siapa saja yang beli tiket diloloskan. Jadi kan maskapai harusnya juga, tahu ya, bahwa maskapai mereka dimanfaatkan untuk pemberangkatan tenaga kerja warga negara Indonesia untuk ke luar wilayah Indonesia," jelas dia.

"Nah untuk yang lainnya, menurut saya, edukasi terhadap bahaya perdagangan orang, itu harus dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia sama kementerian yang terkait. Itu memang penting ya dilakukan," sambungnya.

Ahmad pun menduga, motivasi para korban berangkat karena ingin kerja dan mendapatkan gaji tinggi yang instant. Sehingga tidak mempertimbangkan apakah di sana bekerja secara ilegal atau tidak, dan mendapatkan informasi yang lengkap.

"Jadi karena tidak lengkap, dapat informasi kemudian dijanjikan dengan gaji yang tinggi, fasilitas yang tinggi, sehingga akhirnya mereka berangkat. Yang kedua, ketidakpahaman mereka bahwa untuk bekerja itu harus ada visa kerja. Kalau nggak ada visa kerja, mereka bukan pekerja namanya, itu karena mereka tidak paham. Jadi ketidakpahaman mereka, kemudian mereka butuh pekerjaan, akhirnya mereka tertipu," pungkasnya.

 

 

Peduli Pekerja Informal

Ratusan WNI Korban Eksploitasi Penipuan Daring Tiba di Tanah Air
Menteri Luar Negeri Indonesia Sugiono (tengah) memeluk seorang Warga Negara Indonesia (WNI) yang pernah bekerja di pusat penipuan di Myanmar, dengan disaksikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Budi Gunawan (kedua dari kanan), di Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, pada Selasa 18 Maret 2025. (Tatan SYUFLANA/POOL/AFP)... Selengkapnya

Senada juga diungkapkan oleh, Sosiolog Imam B. Prasodjo. Menurut dia, motivasi para korban berangkat ke sana lantaran kondisi lapangan pekerjaan dan gaji di Indonesia yang dianggap tidak memadai.

"Anda tahu sendiri, sektor formal banyak yang sekarang kena PHK, sektor non formal itu juga tidak mendapatkan ruang yang cukup. Apakah itu menjadi pedagang kaki lima ataukah itu pekerja bangunan, pokoknya yang kerjanya di sektor non formal itu juga tidak mendapatkan opsi-opsi baru," kata dia kepada Liputan6.com, Kamis (20/3/2025).

Menurut Imam, seharusnya pemerintah mulai bisa mengembangkan sektor non formal untuk menjadi bagian dari penghasilan yang menarik, tetapi juga membutuhkan keterampilan baru.

"Contohnya saya sedang terlibat mendorong para peternak peternak kambing sebenarnya mereka sudah bertahun-tahun beternak tetapi yang saya lihat itu jumlah kambingnya ya cuma 3 ekor 4 ekor, yang tidak mungkin menjadi penghasilan bulanan memadai. Nah ini seharusnya menjadi tugas siapa supaya mereka bisa berkembang minimal 20 ekor, tetapi setelah saya pelajari dengan bergaul dengan mereka, mereka sulit untuk mengelola segitu banyak alasannya," jelas dia.

Kemudian, sama dengan budi daya ikan, dan laiinya, di mana sulit mendapatkan dukungan yang baik. Seperti bank ternak, lalu pembibitan, kemudian kesehatan hewan, lalu ada pasar yang bisa disediakan.

"Jadi kalau bisa mengembangkan poin tersebut Indonesia bisa menjadi pusat budi daya ternak yang sangat besar dan menyerap tenaga kerja yang sangat banyak," jelasnya.

Di sisi lain, di tengah tekanan ekonomi, arus deras informasi yang belum jelas validasinya dari gadget mereka, dan kurangnya teredukasi yang baik, membuat hal ini semakin membuat seseorang mencari peluang.

"Mereka yang kurang teredukasi maka sangat mudah terjebak. Jadi menurut saya masyarakat yang sedang kesulitan ekonomi kemudian mendapatkan arus informasi yang belum tervalidasi mereka ditelepon yang seharusnya adalah spa,  tapi mereka menerima informasi itu tanpa proteksi, padahal situasi dia sangat rentan untuk mencari potensi ekonomi baru, akhirnya ya mereka tergiur untuk ikut ajakan yang belum tervalidasi tadi," jelas Imam.

"Di sisi lain ketika ingin menggunakan jalur yang legal tetapi persyaratannya sulit ditempuh akhirnya orang butuh makan ada iming-iming yang masuk langsung ke hp-hp mereka dan tidak ada jalur formal yang memudahkan mereka untuk memahami apa yang seharusnya dilakukan kalau ada tawaran mencurigakan seperti itu," sambungnya.

Karena itu, Imam pun mengungkapkan, perlu peranan tokoh setempat yang kompeten untuk bisa membuka peluang pekerjaan di wilayahnya. Akan sulit jika selalu mengandalkan birokrat.

"Jadi menurut saya perlu ada social mapping. Siapa sih yang berhak untuk menerima langsung dana bantuan tersebut yang bisa langsung disalurkan ke masyarakat untuk memberdayakan komunitasnya," jelas dia.

Selain itu, lanjut Imam, di tiap desa atau tempat perlu ada help desk yang bertugas dan mengetahui kegiatan ilegal.

"Terakhir adalah penegakan hukum sehingga ketika ada tawaran mencurigakan itu bisa dilaporkan dan ditindak, tidak letoy seperti sekarang karena itu sebenarnya bisa dideteksi dari mana sumbernya. Karena kan polusi ada ahli digitalnya jadi bisa dihukum juga mereka," pungkasnya.

 

Sejarahnya

Warga China, Vietnam, dan Ethiopia, yang diyakini telah diperdagangkan dan dipaksa bekerja di pusat-pusat penipuan, duduk dengan wajah tertutup saat ditahan setelah dibebaskan dari Distrik Myawaddy, Myanmar, Rabu (26/2/2025).
Warga China, Vietnam, dan Ethiopia, yang diyakini telah diperdagangkan dan dipaksa bekerja di pusat-pusat penipuan, duduk dengan wajah tertutup saat ditahan setelah dibebaskan dari Distrik Myawaddy, Myanmar, Rabu (26/2/2025). (Dok. AP/Thanaphon Wuttison)... Selengkapnya

Pusat-pusat penipuan online atau online scam di Asia Tenggara, terutama yang berlokasi di perbatasan Thailand-Myanmar, telah menjadi sorotan setelah kasus penculikan dan pembebasan seorang aktor China, Wang Xing.

Insiden ini memicu upaya bersama antara Thailand, China, dan Myanmar untuk membongkar jaringan pusat penipuan online yang tersebar di kawasan tersebut. Menurut PBB, geng kriminal telah mempekerjakan ratusan ribu orang di pusat-pusat ini untuk menghasilkan pendapatan ilegal yang mencapai miliaran dolar setiap tahun.

Pusat-pusat penipuan online, terutama yang berlokasi di Kamboja, Laos, dan Myanmar, menjalankan skema online untuk menipu korban. Para penipu biasanya menghubungi korban melalui media sosial atau aplikasi pesan, membangun hubungan secara online, dan kemudian membujuk mereka untuk melakukan investasi palsu, seperti dalam cryptocurrency. Skema penipuan ini dikenal dengan istilah "pig butchering" atau "menyembelih babi," di mana korban diiming-imingi keuntungan besar sebelum akhirnya dikuras habis-habisan.

Selain itu, beberapa pusat juga menjalankan operasi cuci uang dan judi ilegal.

Mengutip Bangkok Post, saat ini pemberantasan difokuskan pada wilayah Myawaddy di Myanmar, yang berbatasan dengan Thailand. Di sana, pusat-pusat penipuan sering dilindungi oleh kelompok bersenjata seperti Karen National Army (KNA) dan Democratic Karen Buddhist Army (DKBA).

Menurut United States Institute of Peace (USIP), praktik penipuan di kawasan ini berawal dari kasino dan judi online yang hampir tidak diawasi oleh pemerintah pada 1990-an, kemudian semakin berkembang pesat pada 2000-an.

Salah satu pusat penipuan utama di Myawaddy, Shwe Kokko, didirikan pada 2017 oleh Yatai International Holdings Group, sebuah perusahaan terdaftar di Hong Kong, bekerja sama dengan cikal bakal kelompok Karen National Army (KNA). Namun, perusahaan tersebut menyangkal terlibat dalam aktivitas kriminal, sementara operasi penipuan di perbatasan Myanmar telah meluas dengan cepat dalam beberapa tahun terakhir.

Center for Strategic and International Studies (CSIS) menyebutkan bahwa perkembangan pusat-pusat kejahatan online semakin cepat selama pandemi COVID-19, ketika pembatasan perjalanan mengurangi jumlah penjudi, memaksa kelompok kriminal beralih ke skema penipuan online sebagai sumber pendapatan baru.

"Banyak yang mengubah fasilitas-fasilitas tersebut menjadi tempat penipuan online," sebut CSIS.

Jaringan kriminal yang terutama berasal dari China diketahui mengoperasikan pusat-pusat penipuan ini. Di Myawaddy, kelompok bersenjata seperti KNA juga terlibat dalam mendukung operasi tersebut. Banyak korban yang berhasil melarikan diri melaporkan bahwa pemaksaan dan penyiksaan sering terjadi di pusat-pusat ini.

Selain itu, kelompok yang mendukung junta militer Myanmar turut menjalankan atau mendukung pusat-pusat serupa di perbatasan utara Myanmar dengan China, yang menimbulkan kekecewaan Beijing.

Beberapa negara di kawasan ini telah meningkatkan upaya untuk membongkar pusat-pusat penipuan. Thailand, misalnya, telah memutus pasokan listrik, bahan bakar, dan internet ke wilayah Myanmar yang terkait dengan pusat penipuan. Penindasan ini dipicu oleh penculikan aktor Wang Xing di Thailand pada Januari, yang menimbulkan kegemparan di media sosial China. Meskipun dia berhasil ditemukan di Myawaddy dan dikirim pulang, insiden ini menimbulkan kekhawatiran di Thailand, mengingat wisatawan China sangat penting bagi industri pariwisata negara tersebut.

Di Myanmar, junta militer telah menahan lebih dari 3.700 warga asing terkait pusat penipuan sejak akhir Januari, dengan lebih dari 750 orang telah dikirim pulang. Bulan lalu, China memulangkan sekitar 200 warganya dari Distrik Mae Sot di Thailand, yang berbatasan langsung dengan Myawaddy. Sekitar 7.000 orang, sebagian besar warga China yang diselamatkan dari pusat penipuan, masih berlindung di kamp-kamp yang dijalankan oleh KNA dan DKBA.

Pemberantasan dilaporkan meluas ke Kamboja, di mana pihak berwenang menyelamatkan lebih dari 215 orang dari pusat penipuan di Kota Poipet, yang berlokasi di perbatasan dengan Distrik Aranyaprathet di Provinsi Sa Kaeo, Thailand.

Upaya-upaya ini menunjukkan komitmen regional untuk memberantas kejahatan terorganisir yang telah merugikan banyak korban dan merusak reputasi kawasan. Kerja sama antara negara-negara seperti Thailand, China, Myanmar, dan Kamboja menjadi kunci dalam memerangi jaringan penipuan online yang merajalela.

Infografis Ratusan WNI Jadi Korban Modus Kejahatan Online Scam di Myanmar.
Infografis Ratusan WNI Jadi Korban Modus Kejahatan Online Scam di Myanmar. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Produksi Liputan6.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya