Rekonstruksi Gaza Versi Arab Vs AS, Mana Paling Sesuai?

Perang di Gaza meninggalkan kerusakan besar dan memicu dua rencana rekonstruksi yang sangat berbeda: satu dari AS di bawah Presiden Donald Trump, dan satu lagi dari negara-negara Arab yang dipimpin Mesir yang diperkirakan menelan biaya hingga $53 miliar atau sekitar Rp864 triliun.

oleh Tanti Yulianingsih Diperbarui 07 Mar 2025, 01:36 WIB
Diterbitkan 07 Mar 2025, 00:55 WIB
Banner Infografis Rekonstruksi Gaza Versi Arab Vs AS.
Banner Infografis Rekonstruksi Gaza Versi Arab Vs AS. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)... Selengkapnya

Liputan6.com, Gaza - Sejak pecah 7 Oktober 2024, perang di Gaza telah meninggalkan tingkat kerusakan yang belum pernah terjadi sebelumnya, dengan sekitar 51 juta ton puing menutupi lanskap tempat lingkungan yang ramai pernah berkembang pesat.

Menurut laporan penilaian kerusakan dan kebutuhan PBB yang terbaru, mengutip situs UN.org per 4 Maret 2025, lebih dari 60 persen rumah – yang jumlahnya sekitar 292.000 – dan 65 persen jalan telah hancur, di wilayah kantong seluas sekitar 360 kilometer persegi.

Bekerjasama dengan otoritas Palestina, badan pembangunan dan lingkungan hidup PBB, serta organisasi nonpemerintah, tengah dijajaki cara untuk membersihkan puing-puing dengan aman sehingga keluarga dapat membangun kembali bangunan mereka. Tim PBB memanfaatkan pengalaman serupa di Mosul, Irak, dan kota Aleppo dan Latakia di Suriah, semuanya hancur akibat perang.

Badan-badan PBB bersama para mitranya, termasuk Bank Dunia, memperkirakan bahwa $53 miliar atau sekitar Rp864 triliun akan dibutuhkan untuk pemulihan dan rekonstruksi Gaza.

Konferensi tingkat tinggi (KTT) darurat negara-negara Arab kemudian menyepakati rencana rekonstruksi Jalur Gaza yang diusulkan tuan rumah Mesir pada Selasa (4/3).

Antara News yang mengutip Anadolu menyebut pernyataan akhir KTT itu menyebutkan rencana pemulihan awal dan rekonstruksi Gaza tersebut akan diadopsi "sebagai rencana komprehensif bersama negara-negara Arab."

Rencana rekonstruksi itu disebut diusulkan melalui "koordinasi penuh dengan Negara Palestina dan negara-negara Arab serta berdasarkan pada studi yang dilakukan Bank Dunia dan Dana Pembangunan PBB."

Dalam pernyataan akhir KTT yang kemudian disebut juga sebagai Deklarasi Kairo, negara-negara Arab sepakat menolak pemindahan rakyat Palestina dari tanah air mereka "atas dalih atau situasi apa pun."

KTT Arab juga bersepakat menunjuk sebuah komite hukum untuk mempelajari pengusiran rakyat Palestina sebagai kejahatan genosida.

Negara-negara Arab juga mengutuk keputusan Israel menghalangi masuknya bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza dan menutup titik-titik perbatasan yang digunakan sebagai pintu masuk bantuan.

Langkah tersebut adalah "pelanggaran kesepakatan gencatan senjata, hukum internasional, dan hukum humaniter internasional," menurut pernyataan KTT Arab.

Negara-negara Arab juga menyatakan penolakan terhadap tindakan Israel memanfaatkan pengepungan Gaza dan bencana kelaparan yang diderita warga sipil di sana sebagai "cara mencapai tujuan politik tertentu."

"Para pemimpin Arab telah mendukung rencana Mesir untuk membangun kembali Gaza yang hancur akibat perang, yang akan memungkinkan penduduknya tetap tinggal di wilayah tersebut," kata Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi soal rekonstruksi Gaza balasan terhadap rencana Presiden AS Donald Trump untuk mengusir 2,3 juta penduduk Gaza dan membangun kembali wilayah Palestina melalui skema 'riviera', mengutip Al Jazeera, Kamis (6/3/2025). 

Adapun menurut laporan media, rencana Mesir untuk rekonstruksi Gaza, mencakup fase pemulihan awal yang ditujukan untuk membersihkan ranjau di wilayah tersebut dan menyediakan perumahan sementara, diikuti oleh fase rekonstruksi yang lebih panjang yang difokuskan pada pembangunan kembali infrastruktur penting.

Situs Al Jazeera menyebut bahwa Mesir meminta bantuan $53 miliar untuk mendanai rekonstruksi Gaza, dengan uang yang didistribusikan dalam tiga tahap.

Pada tahap enam bulan pertama dibutuhkan biaya sebesar $3 miliar untuk membersihkan puing-puing dari Jalan Salah al-Din, membangun perumahan sementara, dan memulihkan rumah-rumah yang rusak sebagian. Tahap kedua akan memakan waktu dua tahun dan menghabiskan biaya $20 miliar. Pekerjaan pembersihan puing-puing akan dilanjutkan pada fase ini, demikian pula dengan pembangunan jaringan utilitas dan pembangunan lebih banyak unit rumah.

Tahap ketiga akan menelan biaya $30 miliar dan memakan waktu dua setengah tahun. Proyek ini akan mencakup penyelesaian perumahan untuk seluruh penduduk Gaza, pembangunan tahap pertama zona industri, pembangunan pelabuhan perikanan dan komersial, serta pembangunan bandara, di antara layanan lainnya.

Menurut rencana, uang akan bersumber dari berbagai sumber internasional termasuk PBB dan organisasi keuangan internasional serta investasi sektor asing dan swasta.

Pada KTT Arab tersebut, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyoroti pentingnya bantuan kemanusiaan bagi warga sipil yang membutuhkan di Gaza, dan menyerukan penghapusan semua hambatan terhadap pengiriman bantuan.

“Bantuan kemanusiaan tidak bisa dinegosiasikan. "Ini harus berjalan tanpa hambatan," katanya, seraya mendesak para donatur untuk memastikan pendanaan yang memadai.

Ia memuji dedikasi staf PBB dan seluruh pekerja kemanusiaan lainnya dalam menyediakan layanan penting di tengah situasi yang paling sulit, dan menyerukan dukungan penuh dan mendesak terhadap pekerjaan Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB (UNRWA), termasuk dukungan finansial.

Sekjen PBB menegaskan kembali bahwa solusi dua negara tetap menjadi satu-satunya jalan yang layak menuju perdamaian abadi. “Satu-satunya jalan menuju perdamaian abadi adalah jalan di mana dua negara – Israel dan Palestina – hidup berdampingan secara damai dan aman, sesuai dengan hukum internasional dan resolusi PBB yang relevan, dengan Yerusalem sebagai ibu kota kedua negara,” ucap Guterres.

Guterres menekankan bahwa upaya rekonstruksi tidak dapat dipisahkan dari situasi politik yang lebih luas. “Mengakhiri krisis saat ini saja tidak cukup. "Kita memerlukan kerangka politik yang jelas yang menjadi dasar bagi pemulihan, rekonstruksi, dan stabilitas Gaza yang langgeng," tegasnya.

 

Promosi 1

Reaksi Donald Trump Soal Rencana Rekonstruksi Gaza Balasan dari Arab

Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada 4 Februari 2025 di Gedung Putih.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump. (Dok. AP Photo/Alex Brandon)... Selengkapnya

Pemerintahan Donald Trump menolak rencana yang telah lama ditunggu-tunggu untuk rekonstruksi Gaza yang didukung oleh para pemimpin Arab, dengan mengatakan bahwa presiden tetap pada visinya sendiri yang mencakup pengusiran penduduk Palestina di wilayah tersebut dan mengubahnya menjadi "riviera" milik Amerika Serikat (AS).

"Usulan saat ini tidak membahas kenyataan bahwa Gaza saat ini tidak dapat dihuni dan penduduknya tidak dapat hidup secara manusiawi di wilayah yang tertutup puing-puing dan persenjataan yang belum meledak," kata juru bicara Dewan Keamanan Nasional Brian Hughes dalam sebuah pernyataan Selasa (4/3) malam seperti dikutip dari CNN, Kamis (6/3).

Presiden Trump mendukung visinya untuk membangun kembali Gaza yang bebas dari Hamas. Kami menantikan pembicaraan lebih lanjut untuk membawa perdamaian dan kesejahteraan ke wilayah tersebut,” imbuh Hughes.

Adapun rencana pascaperang untuk Jalur Gaza, yang diusulkan oleh Mesir dan menyerukan Hamas untuk menyerahkan kekuasaan kepada pemerintahan sementara sampai Otoritas Palestina (PA) yang direformasi dapat mengambil alih kendali, akan memungkinkan sekitar 2 juta warga Palestina untuk tetap tinggal, bertentangan dengan usulan Trump.

Berbicara dalam KTT Arab di Kairo, Presiden PA Mahmoud Abbas berjanji bahwa pemilihan umum akan diadakan di Tepi Barat, Gaza dan Yerusalem Timur yang diduduki untuk pertama kalinya dalam hampir dua dekade “jika situasinya memungkinkan.”

Donald Trump juga dilaporkan mengeluarkan apa yang disebutnya sebagai peringatan terakhir kepada Hamas untuk membebaskan para sandera yang ditawan di Gaza.

"Saya mengirimkan Israel semua yang dibutuhkannya untuk menyelesaikan tugas, tidak ada satu pun anggota Hamas yang akan aman jika Anda tidak melakukan apa yang saya katakan," kata Trump dalam posting panjang di platform Truth Social miliknya, dikutip dari BBC, Kamis (6/3).

Hal itu terjadi hanya beberapa jam setelah Gedung Putih mengonfirmasi bahwa mereka mengadakan pembicaraan langsung dengan Hamas mengenai para sandera.

Sekjen PBB Antonio Guterres kemudian memperingatkan bahwa permusuhan yang baru akan menjerumuskan jutaan orang kembali ke dalam penderitaan dan semakin mengganggu stabilitas kawasan.

"Kita harus menghindari dengan segala cara dimulainya kembali permusuhan," desaknya, sambil menyerukan kepada kedua pihak untuk menegakkan komitmen mereka berdasarkan gencatan senjata dan kesepakatan penyanderaan, dan untuk melanjutkan negosiasi tanpa penundaan.

"Semua sandera harus dibebaskan – segera, tanpa syarat dan dengan cara yang bermartabat," katanya, seraya menambahkan bahwa pembebasan tahanan Palestina harus dilakukan sesuai ketentuan kesepakatan dan juga dengan cara yang bermartabat.

“Para pihak harus memastikan perlakuan manusiawi terhadap semua orang yang berada di bawah kekuasaan mereka,” tegas Gutteres.

Jika gencatan senjata minggu lalu bertahan, para ahli memperingatkan bahwa membangun kembali wilayah yang hancur akan memakan waktu puluhan tahun dan menghabiskan biaya puluhan miliar dolar.

Kesepakatan gencatan senjata tiga tahap menempatkan pembangunan kembali Gaza sebagai tahap akhir, setelah perang berakhir secara permanen. Dima Toukan, seorang peneliti nonresiden di Middle East Institute, mengatakan penting untuk mengakui bahwa fase terakhir ini mungkin masih lama — atau tidak akan pernah terjadi sama sekali. "Jalan ke depan setelah fase pertama perjanjian ini penuh dengan tantangan dan masih belum jelas," katanya seperti dikutip dari NPR.

Rencana Rekonstruksi Gaza Mana yang Lebih Baik bagi Warga Palestina?

Infografis Rekonstruksi Gaza Versi Arab Vs AS.
Infografis Rekonstruksi Gaza Versi Arab Vs AS. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)... Selengkapnya

Perang di Gaza meninggalkan kerusakan besar dan memicu dua rencana rekonstruksi yang sangat berbeda: satu dari AS di bawah Presiden Trump, dan satu lagi dari negara-negara Arab yang dipimpin Mesir. Perbedaan mendasar terletak pada pendekatan dan tujuan akhir. Rencana AS bertujuan membangun kembali Gaza tanpa melibatkan Hamas, bahkan berimplikasi pada pengusiran warga Palestina. Sementara itu, rencana Arab fokus pada rekonparastruksi tanpa penggusuran paksa, melibatkan kerja sama dengan Palestina untuk pemerintahan sementara.

Rencana rekonstruksi Gaza versi AS, yang dijuluki 'Riviera Timur Tengah', menggambarkan perubahan lanskap Gaza yang signifikan dan potensi pengambilalihan wilayah oleh AS. Rencana ini menuai kecaman luas karena dianggap tidak realistis dan tidak manusiawi.

Sebaliknya, para pemimpin Arab mengadopsi rencana senilai $53 miliar (sekitar Rp864 triliun) bertujuan membangun kembali infrastruktur Gaza tanpa menggusur penduduk. Rencana ini menekankan kerja sama dengan Palestina untuk membentuk komite administratif independen yang akan mengelola Gaza sementara sebelum Otoritas Palestina (PA) kembali berkuasa. Sangat kontras dengan usulan Donald Trump.

Dibahas pada KTT Arab hari Selasa (4/3) di Kairo, rencana tersebut muncul setelah Mesir, Yordania dan negara-negara Teluk Arab menghabiskan waktu hampir sebulan untuk berkonsultasi mengenai alternatif terhadap usulan rekonstruksi Gaza versi Trump. Pembahasan mengacu dokumen setebal 112 halaman berisi peta bagaimana lahan di Gaza akan dibangun kembali dan puluhan gambar berwarna yang dihasilkan AI mengenai perkembangan perumahan, taman, dan pusat komunitas termasuk pelabuhan komersial, pusat teknologi, hotel pantai, dan bandara. 

Perbedaan utama lainnya terletak pada perlakuan terhadap warga Palestina dan peran Hamas. Rencana AS berpotensi mengakibatkan pemindahan paksa warga Palestina, sementara rencana Arab memastikan warga Palestina tetap tinggal di Gaza. Meskipun rencana Arab tidak secara eksplisit membahas masa depan Hamas, fokusnya adalah pada pemerintahan sementara sebelum PA kembali berkuasa. Terdapat perbedaan pendapat di antara negara-negara Arab mengenai bagaimana menangani Hamas, beberapa menginginkan perlucutan senjata bertahap, sementara yang lain menginginkan perlucutan senjata menyeluruh.

Mengenai siapa yang akan menjalankan Gaza, Presiden Mesir Abdel Fattah el Sisi mengatakan negaranya telah bekerja sama dengan Palestina untuk membentuk sebuah komite teknokrat Palestina independen yang akan dipercaya untuk memerintah Gaza setelah perang.

Pengamat Hubungan Internasional dan Penasihat Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES) Smith Alhadar menyebut pendekatan negara Arab terkait rekonstruksi Gaza lebih realistik dari pada Amerika Serikat. Ia menyebut bahwa pada enam bulan pertama, para profesional dan teknokrat Palestina berkuasa untuk menyingkirkan 50 juta ton puing di Gaza.

"Setelah itu, otoritas Palestina yang punya legitimasi internasional mengambil alih dengan dukungan pasukan Arab, negara-negara musli dan pasukan perdamaian PBB," kata Smith Alhadar kepada Liputan6.com pada Kamis (6/3).

"Hamas tidak diberi peran politik maupun keamanan. Hamas mendukung rancangan Mesir bagi rekonstruksi Gaza ini, tapi menolak melucuti senjatanya," Imbuh Smith Alhadar.

Kendati tidak menginginkan Hamas berkuasa di Gaza, Smith Alhadar menyebut negara Arab tak dapat melakukan banyak dalam hal ini mengingat de facto Hamas masih berkuasa di Gaza dan dia mendapatkan dukungan luas di kalangan Palestina di Gaza dan Tepi Barat sehingga menyingkirkannya pada momen ini tidak realistis.

"AS nampaknya bisa menerima jalan tengah ini, tapi Benjamin Netanyahu menolak karena eksistensi Hamas di Gaza merupakan kegagalan pemerintahan Netanyahu yang menetapkan penghancuran Hamas merupakan tujuan perang. Terlebih, pemerintahan koalisi kanan Netanyahu akan runtuh jika perang diakhiri sekarang."

Menurut Smith Alhadar, prioritas negara Arab adalah menjaga agar 2,3 juta warga Gaza tidak direlokasi ke negara lain (Mesir dan Yordania). "Karena hal ini akan menimbulkan destabilisasi kawasan dan membunuh gagasan Two State Solution yang telah menjadi konsensus internasional," jelasnya.

"Kalau itu terjadi, depopulasi Gaza sebagai rencana AS yang disambut Israel dan aneksasi lebih banyak wilayah di Tepi Barat oleh Israel, sebagaimana sedang berlangsung saat ini, maka Two State Solution menjadi tidak relevan karena tak ada wilayah lagi bagi pendirian negara Palestina."

"Sementara itu, prioritas AS dan Israel adalah menghilangkan peluang dihidupkan kembali Two State Solution. Hal ini terlihat pada konsep "deal of the century" yang diluncurkan Trump pada periode pertama pemerintahannya. Kesepakatan abad ini tidak memberi kemerdekaan pada Palestina dengan wilayah yang terbatas di Tepi Barat dan Gaza yang didemiliterisasi. Deal of the century langsung ditolak seluruh faksi Palestina dan Arab karena bisa menimbulkan Arab Spring jilid 2, apabila direalisasikan," pungkas Smith Alhadar.

 

Bagaimana Reaksi Indonesia Soal Rekonstruksi Gaza?

Juru Bicara Kemlu RI Rolliansyah Soemirat (tengah) dan Direktur Pelindungan WNI Judha Nugraha (kanan) dalam pernyataan pers Kemlu RI pada Kamis (6/3/2025). (Liputan6.com/Benedikta Miranti)
Juru Bicara Kemlu RI Rolliansyah Soemirat (tengah) dan Direktur Pelindungan WNI Judha Nugraha (kanan) dalam pernyataan pers Kemlu RI pada Kamis (6/3/2025). (Liputan6.com/Benedikta Miranti)... Selengkapnya

Indonesia menyambut baik tercapainya deklarasi akhir KTT antara negara-negara Arab terkait dengan upaya bersama membantu pemulihan Jalur Gaza pasca-agresi Israel beberapa waktu yang lalu.

“Kami menyambut baik Deklarasi Kairo sebagai hasil dari KTT Arab yang tentunya langsung terkait dengan upaya rekonstruksi Gaza, sebuah hal yang sangat dekat di hati rakyat dan pemerintah Indonesia,” ucap Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Rolliansyah Soemirat dalam taklimat media di Jakarta, Kamis (6/5) seperti dikutip dari Antara News.

Meski Indonesia bukan negara peserta KTT Arab tersebut, Roy meyakini bahwa nilai dan semangat Deklarasi Kairo akan kembali digaungkan dalam pertemuan tingkat menteri Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang diinisiasi sejumlah anggota OKI, termasuk Indonesia, pada Jumat (7/3).

Menurut Roy, salah satu isu utama yang akan dibahas dalam pertemuan OKI tersebut adalah tindak lanjut Deklarasi Kairo dan penyelarasannya dengan keinginan dan pandangan negara-negara OKI dalam perjuangan bersama membela kemerdekaan Palestina.

Jubir Kemlu RI itu kemudian menyoroti salah satu aspek penting dalam deklarasi itu, yaitu penolakan terhadap segala bentuk upaya ataupun wacana untuk mengusir paksa warga Palestina dari tanah airnya.

“Ini sebuah sentimen yang tak hanya dimiliki negara-negara Arab, tapi juga masyarakat internasional secara keseluruhan, termasuk Indonesia di dalamnya,” kata Roy.

Roy juga meyakini bahwa banyak aspek dalam deklarasi tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung, adalah sama dengan nilai dan semangat yang terus disuarakan Indonesia di forum-forum internasional terkait perjuangan Palestina. “Kami pun sudah menyampaikan bahwa pada saatnya nanti Indonesia akan terlibat dalam upaya-upaya masyarakat internasional dalam rekonstruksi Gaza secara keseluruhan,” tutur dia.

 

Infografis Respons soal Proposal Rekonstruksi Gaza.
Infografis Respons soal Proposal Rekonstruksi Gaza. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya