Termasuk Penyakit Infeksi Serius, Difteri Bisa Merusak Jantung dan Sistem Saraf

Selama pandemi COVID-19, layanan imunisasi rutin termasuk imunisasi difteri cukup terhambat. Padahal, imunisasi ini penting agar penyakit-penyakit seperti difteri bisa terus dicegah.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 16 Agu 2022, 10:00 WIB
Diterbitkan 16 Agu 2022, 10:00 WIB
Pemberian Imunisasi untuk Anak Sekolah di Kota Depok
Siswa kelas 1 mendapatkan suntikan vaksin tetanus difteri (TD) di SDI Al Hidayah, Cinere, Depok, Jumat (20/11/2020). Program imunisasi kepada pelajar di Kota Depok terus berjalan guna menjaga kesehatan anak dan meningkatkan imunitas tubuh di masa pandemi COVID-19. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - Selama pandemi COVID-19, layanan imunisasi rutin termasuk imunisasi difteri cukup terhambat. Padahal, imunisasi ini penting agar penyakit-penyakit seperti difteri bisa terus dicegah.

Difteri adalah infeksi bakteri serius yang biasanya menyerang selaput lendir hidung dan tenggorokan. Difteri sangat jarang terjadi di Amerika Serikat dan negara maju lainnya berkat vaksinasi atau imunisasi yang meluas terhadap penyakit tersebut.

Namun, banyak negara dengan pilihan perawatan kesehatan atau vaksinasi yang terbatas masih mengalami tingkat difteri yang tinggi.

Difteri dapat diobati dengan obat-obatan. Namun pada stadium lanjut, difteri dapat merusak jantung, ginjal, dan sistem saraf. Bahkan difteri bisa mematikan, terutama bagi anak-anak.

Tanda dan gejala difteri biasanya mulai 2 sampai 5 hari setelah seseorang terinfeksi. Tanda dan gejala difteri termasuk:

-Adanya selaput tebal berwarna abu-abu yang menutupi tenggorokan dan amandel

-Sakit tenggorokan dan suara serak

-Pembengkakan kelenjar (pembesaran kelenjar getah bening) di leher

-Kesulitan bernapas atau napas cepat

-Keluarnya cairan dari hidung

-Demam dan kedinginan

-Kelelahan

Pada beberapa orang, infeksi bakteri penyebab difteri hanya menyebabkan penyakit ringan – atau tidak ada tanda dan gejala yang jelas sama sekali. Orang yang terinfeksi tapi tidak menunjukkan gejala dikenal sebagai pembawa difteri.

Mereka disebut pembawa karena dapat menyebarkan infeksi tanpa mengalami sakit.

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Difteri Kulit

Antusias Anak Sekolah Ikut Imunisasi DT
Petugas Puskesmas Kelurahan Rawa Bunga menyuntikkan vaksin Difteri Tetanus (DT) kepada seorang anak di RPTRA Citra Permata, Jakarta, Selasa (28/9/2021). Kegiatan rutin tahunan tersebut dalam rangka program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS). (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Difteri juga dapat mempengaruhi kulit, ini disebut pula jenis difteri kulit. Difteri jenis ini menyebabkan rasa sakit, kemerahan dan pembengkakan mirip dengan infeksi kulit bakteri lainnya.

“Bisul yang ditutupi oleh selaput abu-abu juga bisa menjadi tanda difteri kulit,” mengutip Mayoclinic, Senin (15/8/2022).

Meskipun lebih sering terjadi di iklim tropis, difteri pada kulit juga terjadi di Amerika Serikat. Ini terjadi terutama di antara orang-orang dengan kebersihan yang buruk yang tinggal dalam kondisi ramai.

Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae. Bakteri biasanya berkembang biak di permukaan tenggorokan atau kulit.

Difteri dapat menyebar melalui droplet. Ketika bersin atau batuk orang yang terinfeksi mengeluarkan tetesan liur yang terkontaminasi dan orang-orang di sekitar dapat menghirupnya. Difteri menyebar dengan mudah dengan cara ini, terutama dalam kondisi ramai.

Difteri juga bisa menyebar melalui barang-barang pribadi atau rumah tangga yang terkontaminasi. Orang terkadang tertular difteri karena memegang barang orang lain yang terinfeksi, seperti tisu bekas atau handuk tangan, yang mungkin terkontaminasi bakteri.

Menyentuh luka yang terinfeksi juga dapat memindahkan bakteri penyebab difteri.

 

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Faktor Risiko

Ekspresi Anak-Anak Saat Kegiatan Bulan Imunisasi Anak Sekolah
Paramedis dari Puskesmas Cinere memeriksa kesehatan murid kelas 1 saat kegiatan Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) di SDI Al-Hidayah, Depok, Jawa Barat, Kamis (18/11/2021). Pemberian imunisasi measles rubella (MR) dan difteri tetanus (DT) berlangsung hingga Desember. (merdeka.com/Arie Basuki)

Orang yang telah terinfeksi oleh bakteri difteri dan belum diobati dapat menginfeksi orang yang belum mendapatkan vaksin difteri – bahkan jika mereka tidak menunjukkan gejala apapun.

Orang-orang yang memiliki risiko tinggi terkena difteri yakni:

-Anak-anak dan orang dewasa yang tidak mendapatkan vaksinasi terbaru

-Orang yang hidup dalam kondisi ramai atau tidak sehat

-Siapa pun yang bepergian ke daerah di mana infeksi difteri lebih sering terjadi

Difteri jarang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa Barat, di mana anak-anak telah divaksinasi terhadap kondisi tersebut selama beberapa dekade. Namun, difteri masih umum di negara berkembang di mana tingkat vaksinasi rendah.

Penyakit ini merupakan ancaman bagi orang-orang yang tidak divaksinasi yang melakukan perjalanan internasional atau memiliki kontak dengan orang-orang dari negara-negara kurang berkembang.

Penyakit ini tak bisa dianggap remeh dan jika tidak diobati, maka dapat menimbulkan berbagai komplikasi. Seperti masalah pernapasan, kerusakan jantung, dan kerusakan saraf.

Komplikasi Difteri

Antusias Anak Sekolah Ikut Imunisasi DT
Anak-anak menunggu antrean saat mengikuti vaksin Difteri Tetanus (DT) di RPTRA Citra Permata, Jakarta, Selasa (28/9/2021). Kegiatan rutin tahunan tersebut bertujuan memberikan kekebalan tubuh pada anak sekolah terhadap penyakit DT dengan kuota 150 anak per hari (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Tiga komplikasi yang dapat muncul jika difteri tak diobati dijelaskan sebagai berikut:

-Masalah pernapasan

Bakteri penyebab difteri dapat menghasilkan toksin atau racun. Toksin ini merusak jaringan di area infeksi, umumnya di hidung dan tenggorokan. Di tempat itu, infeksi menghasilkan membran abu-abu yang keras yang terdiri dari sel-sel mati, bakteri, dan zat lainnya. Selaput ini dapat menghambat pernapasan.

-Kerusakan jantung

Toksin difteri dapat menyebar melalui aliran darah dan merusak jaringan lain di dalam tubuh. Misalnya dapat merusak otot jantung sehingga menimbulkan komplikasi seperti radang otot jantung (miokarditis). Kerusakan jantung akibat miokarditis bisa ringan atau berat. Paling buruk, miokarditis dapat menyebabkan gagal jantung dan kematian mendadak.

-Kerusakan saraf

Toksin juga dapat menyebabkan kerusakan saraf. Target tipikal adalah saraf ke tenggorokan, di mana konduksi saraf yang buruk dapat menyebabkan kesulitan menelan. Saraf ke lengan dan kaki juga bisa meradang, menyebabkan kelemahan otot.

Jika toksin difteri merusak saraf yang membantu mengontrol otot yang digunakan dalam bernapas, otot-otot ini dapat menjadi lumpuh.

“Pada saat itu, Anda mungkin memerlukan bantuan mekanis untuk bernapas.”

Dengan pengobatan, kebanyakan orang dengan difteri selamat dari komplikasi ini, tetapi pemulihan seringkali lambat. Difteri berakibat fatal sekitar 5 persen sampai 10 persen. Tingkat kematian lebih tinggi pada anak-anak di bawah usia 5 atau orang dewasa yang lebih tua dari usia 40.

Infografis Indonesia Dilanda Difteri
Infografis Indonesia Dilanda Difteri
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya