Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Indonesia tengah menghadapi tantangan serius di sektor perikanan setelah Amerika Serikat (AS) memutuskan untuk mengenakan beban tarif sebesar 32% terhadap produk ekspor perikanan Indonesia.
Kebijakan ini dikhawatirkan akan menekan daya saing produk Indonesia di pasar global, khususnya di AS, yang merupakan salah satu pasar utama bagi produk hasil laut nasional. Para pelaku usaha pun mulai merasa resah, karena situasi ini bisa memicu penurunan produksi, gangguan operasional, hingga berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK).
Merespon hal tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono menegaskan, pemerintah tidak tinggal diam menghadapi situasi ini. Salah satu langkah awal yang sudah diambil adalah melakukan koordinasi dengan Kementerian Koordinator untuk merumuskan strategi diplomasi.
Advertisement
"Ya salah satunya kita memberikan usulan ke Menko ya, artinya kita harus ada diplomasi. Artinya, seperti yang disampaikan bapak presiden bagus. Artinya, kita juga gak boleh kalah sama Vietnam," kata Trenggono saat ditemui usai Sarasehan Ekonomi Bersama Presiden Republik Indonesia, di Menara Mandiri, Jakarta Selatan, ditulis Rabu (9/4/2025).
Ia menyadari, situasi ini tidak bisa diselesaikan secara sepihak. Satu-satunya cara, menurutnya, adalah melalui jalur negosiasi antarnegara.
"Memang cara satu-satunyanya negosiasi. Lalu, yang kedua langkah yang dikatakan presiden tadi bahwa surplusnya kita beli untuk yang lain harapannya kan bisa kembali ke normal," ujarnya.
Kendati demikian, Trenggono mengapresiasi langkah Presiden Prabowo yang mendorong diplomasi ekonomi yang aktif agar Indonesia tetap bisa mempertahankan posisinya di pasar global.
Namun, pemerintah tidak hanya berfokus pada solusi jangka pendek. Menteri Trenggono menilai situasi ini menjadi momentum untuk memperkuat pasar domestik sebagai bentuk ketahanan jangka panjang.
"Tapi di sisi lain sebagai langkah jangka panjang tentu kita juga ingin memperkuat konsumsi dalam negeri jadi dalam negeri lah yang harus diperkuat supaya nanti marketnya kita tidak tergantung," ujarnya.
Belum Ada Laporan Pengusaha Ikan Keluhkan soal Tarif Ekspor
Terkait dengan dampak langsung di lapangan, Trenggono mengungkapkan hingga kini belum ada laporan resmi dari para pelaku usaha mengenai kerugian atau dampak yang ditimbulkan.
"Belum, tapi kita sudah antisipasi lah. Artinya, langkah-langkah apa saja yang harius kita lakukan, kita sedang merancang betul karena ini kejadiannya baru beberapa hari," katanya.
Adapun KKP bersama tim internalnya langsung melakukan evaluasi cepat setelah mendapat informasi bahwa kebijakan tersebut akan diberlakukan pada tanggal 9 April. Evaluasi ini mencakup analisis volume ekspor produk perikanan ke AS, potensi kerugian, hingga strategi mitigasi yang perlu segera diterapkan.
"Di sananya mau memberlakukan tanggal 9 ya kita secara cepat dengan seluruh tim yang ada di dalam kita melakukan evaluasi berapa besar ekspor perikanan kita ke sana dan seterusnya," ujar Menteri KKP.
Advertisement
Menko Airlangga Ungkap Alasan RI Pilih Negosiasi soal Tarif
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan alasan di balik keputusan Presiden terpilih Prabowo Subianto untuk mengambil jalur negosiasi dalam merespons kebijakan tarif impor yang diberlakukan oleh Presiden AS, Donald Trump.
Menurut Airlangga, keputusan ini didasari pertimbangan bahwa Amerika Serikat merupakan mitra strategis bagi Indonesia. Dalam berbagai pembicaraan dan rapat, Presiden Prabowo memberikan arahan agar Indonesia tidak mengambil langkah konfrontatif, melainkan menempuh strategi diplomasi ekonomi melalui negosiasi.
"Arahan Bapak Presiden untuk merespons ini, dalam beberapa kali pembicaraan bahkan dalam rapat, ini Indonesia memilih jalur negosiasi karena Amerika merupakan mitra strategis," kata Airlangga dalam acara Silaturahmi Ekonomi Bersama Presiden RI: Memperkuat Daya Tahan Ekonomi Nasional, di Menara Mandiri Sudirman, Jakarta Selatan, Selasa (8/4/2025).
Salah satu langkah konkret yang dilakukan Pemerintah Indonesia adalah melakukan revitalisasi terhadap perjanjian perdagangan dan investasi, termasuk Trade and Investment Framework Agreement (TIFA) yang terakhir diperbarui pada tahun 1996 dan kini dianggap sudah usang. "Malaysia juga akan mendekati Indonesia melakukan perjanjian TIFA," ujarnya.
