Liputan6.com, Jakarta - Lembaga bagian dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), International Agency for Research on Cancer (IARC) disebut oleh peneliti dari IPB belum mengklasifikasikan Bisfenol A (BPA) dalam kategori karsinogenik (bersifat menyebabkan kanker) pada manusia.
"Hingga sekarang IARC masih mengkategorikan BPA masuk di grup 3, belum masuk di grup 2A atau 2B," kata dosen dan peneliti di Departemen Ilmu Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan SEAFAST Center, Nugraha Edhi Suyatma.
Baca Juga
Sementara, lanjut Nugraha, acetaldehyde yang ada dalam kemasan PET justru sudah dimasukkan ke kelompok yang kemungkinan besar karsinogenik untuk manusia.
Advertisement
"Justru acetaldehyde masuk ke grup 2B sejak lama," ujarnya.
Dijelaskan Nugraha, IARC mengklasifikasikan karsinogenik ke dalam empat grup, yaitu:
- Kelompok 1 : karsinogenik untuk manusia
- Kelompok 2A : kemungkinan besar karsinogenik untuk manusia
- Kelompok 2B : dicurigai berpotensi karsinogenik untuk manusia
- Kelompok 3 : tidak termasuk karsinogenik pada manusia
- Kelompok 4 : kemungkinan besar tidak bersifat menyebabkan kanker untuk manusia.
Selain IARC, menurut Nugraha Badan Pengawasan Obat dan Makanan di Amerika Serikat (FDA) pun mengatakan tidak ada efek BPA atau paparan khusus.
"Levelnya pun rendah sehingga bisa dibatasi oleh upaya produsen untuk menghilangkan residu BPA yang tidak bereaksi dalam pembuatan plastik polikarbonat," katanya dikutip dari keterangan resmi yang diterima Health Liputan6.com pada Sabtu, 17 September 2022.
"Adapun maksudnya bisa dibuat menjadi sangat rendah dan mungkin bisa sampai ke level BPA free," dia menekankan.
Pembatasan Memperketat Migrasi BPA
Begitu juga dengan Otoritas Keamanan Makanan Eropa atau European Food Safety Authority (EFSA), pembatasan untuk memerketat migrasi BPA ini juga belum ditetapkan hingga kini.
"Bisa jadi mereka juga belum yakin," ujar Nugraha.
Oleh sebab itu, kata Nugraha, apakah wacana pelabelan BPA pada kemasan polikarbonat yang didengungkan BPOM memang benar-benar memberikan efek yang positif atau justru akan semakin membuat bingung masyarakat.
"Berbicara soal basic research, tentu saja BPOM memilikinya. Cuma, kalau bahas terkait dengan wacana pelabelan BPA pada polikarbonat itu, jadi muncul pertanyaan apakah itu benar-benar akan memberikan efek yang positif bagi masyarakat atau justru akan semakin membuat bingung," katanya.
Advertisement
Terkait Pelabelan BPA
Lebih lanjut Nugraha menyinggung perihal Perka BPOM terkait wacana pelabelan BPA ini. Ada beberapa hal yang membuatnya tergelitik.
Seperti di dalam pasal 61A disebutkan bahwa label air minum dalam kemasan (AMDK) yang menggunakan plastik polikarbonat wajib mencantumkan tulisan berpotensi mengandung BPA.
"Tetapi itu hanya diwajibkan bagi kemasan yang batas migrasinya melebihi 0,01 bpj. Jadi, ada pengecualian dan sebenarnya akan membuat masyarakat merasa aman," katanya.
Namun, hal aneh justru terdapat di pasal 61B. Di situ tertulis bahwa AMDK yang menggunakan plastik selain polikarbonat dapat mencantumkan tulisan bebas BPA.
"Jadi, kalau dari kacamata saya, saya kurang sependapat dengan adanya sisipan pasal ini, baik 61A apalagi yang 61B," ujarnya.
Menurut Nugraha, pasal-pasal tersebut justru akan memunculkan kesalahan persepsi di konsumen terkait pelabelan BPA ini.
Dia, mengatakan, akan ada kesan bahwa AMDK selain kemasan polikarbonat aman dikonsumsi dan itu tidak betul.
BPA Sejatinya Ada di Mana-Mana
Nugraha menekankan sekaligus mengingatkan masyarakat bahwa BPA sejatinya ada di mana-mana. Tidak hanya di polikarbonat tetapi ada juga di kemasan kaleng, botol bayi atau dot.
"Itu kan mestinya dilarang total bagi bayi dan anak-anak. Apalagi di makanan kaleng, ada riset yang mengatakan hampir 90 persen enamel pada kaleng itu terbuat dari epoksi. Nah, epoksi itu adalah BPA sebagai basic," kata Nugraha.
Dia juga mencontohkan kemasan PET yang juga ada risiko dari bahan senyawa yang lain yang berpotensi ke arah negatif.
"Di PET ada kandungan asetildehid, etilen glikol, dan lain-lain yang juga berbahaya," pungkas Nugraha.
Advertisement