Angka Stunting NTB Tinggi, Salah Satu Alasannya karena Orangtua Merokok

Kasus stunting di Indonesia terjadi akibat berbagai faktor salah satunya konsumsi rokok. Hasil riset menunjukkan, anak yang tinggal di rumah tangga dengan orangtua perokok cenderung memiliki pertumbuhan lebih lambat dalam berat dan tinggi badan (stunting).

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 08 Okt 2022, 15:00 WIB
Diterbitkan 08 Okt 2022, 15:00 WIB
Stunting di NTB
Stunting di NTB. Foto: PKJS UI

Liputan6.com, Jakarta Kasus stunting di Indonesia terjadi akibat berbagai faktor salah satunya konsumsi rokok. Hasil riset menunjukkan, anak yang tinggal di rumah tangga dengan orangtua perokok cenderung memiliki pertumbuhan lebih lambat dalam berat dan tinggi badan (stunting).

Salah satu provinsi dengan angka stunting dan konsumsi rokok tinggi adalah Nusa Tenggara Barat (NTB). Provinsi ini menempati angka stunting keempat tertinggi di Indonesia sebesar 31,4 persen. Dan Kabupaten Lombok Tengah merupakan daerah dengan angka stunting ketiga tertinggi di Nusa Tenggara Barat yaitu sebesar 32,1 persen. Angka tersebut masih jauh lebih tinggi dari batas toleransi WHO, yaitu 20 persen untuk stunting.

Di sisi lain, NTB termasuk dalam 10 provinsi dengan persentase penduduk usia di atas 15 tahun yang merokok, dengan urutan ketiga, yaitu 32,71 persen, menurut Katadata pada 2022.

Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Tengah  Dr. H Suardi, SKM., MPH. membenarkan bahwa di kabupaten ini memang banyak yang merokok. Termasuk di kantor-kantor, walaupun sudah ada Peraturan Daerah mengenai Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR). Cukup sulit dalam implementasinya.

“Kita ada sebetulnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang tidak memperbolehkan seseorang merokok di dalam rumah. Petugas kami terus melakukan edukasi dan sosialisasi ke masyarakat,” kata Suradi mengutip keterangan pers Pusat Kajian Jaminan Sosial-UI (PKJS-UI), Sabtu (10/8/2022).

“Terkait dengan stunting, paling tinggi akibat pola asuh karena pernikahan dini tinggi. Selain pola asuh, jika dikaitkan dengan belanja rokok, itu bisa. Apalagi mereka dengan rumah tangga yang suaminya merokok. Mereka akan mementingkan beli rokok dibandingkan membeli makanan bergizi,” tambah Suardi.

Menurut Penelitian

Dalam keterangan yang sama, Ketua Tim Pengabdian Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (Pengmas FEB-UI) Ir. Aryana Satrya, M.M., Ph.D., IPU., Asean Eng., menyampaikan soal penelitian PKJS-UI tahun 2018.

Menurut penelitian tersebut, peningkatan pengeluaran rokok yang dibarengi oleh penurunan pengeluaran makanan sumber protein dan karbohidrat akan memiliki dampak jangka panjang terhadap kondisi stunting anak.

Selain adanya substitusi dana belanja pokok untuk rokok, sudah banyak riset yang menunjukkan adanya keterkaitan antara perilaku merokok dan stunting juga dapat terjadi karena pajanan asap rokok selama dalam kandungan.

“Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan adanya dukungan dari lintas sektor, akademisi, serta grassroots dalam mendorong percepatan penurunan stunting melalui pengendalian konsumsi rokok,” kata Aryana.

“Dukungan dari Pemerintah Daerah dan masyarakat sangat penting dalam memutus mata rantai kemiskinan di masyarakat akar rumput melalui kebijakan pengendalian konsumsi rokok dari level rumah tangga agar pengeluaran keluarga dibelanjakan sebagaimana mestinya,” tambahnya.

 

Rela Berhutang Demi Rokok

Pernyataan Aryana pun diperkuat oleh Kepala Dusun Desa Sintung di Lombok Tengah, Deni Alpian A.P,. Ia menyebutkan, walaupun dalam kondisi ekonomi yang sulit, beberapa masyarakat rela berhutang untuk membeli rokok. Namun, tidak rela berhutang untuk membeli kebutuhan pokok.

Untuk itu, Tim Pengmas FEB-UI, Dr. Elok Savitri Pusparini, S.E., M.M., menyampaikan materi soal manajemen keuangan rumah tangga dan wirausaha sebagai langkah lanjutan untuk memperbaiki perekonomian keluarga.

“Hal ini dapat mendorong perwakilan kader dan masyarakat yang hadir untuk dapat meneruskan pengetahuan dan dorongan kepada masyarakat luas tentang bagaimana mengalokasikan uang belanja rumah tangga kepada hal-hal yang menjadi kebutuhan pokok dan bermanfaat bagi keluarga.”

“Termasuk makanan bergizi dan pendidikan, alih-alih dipakai untuk membeli rokok,” kata Elok.

Sosialisasi ini mendukung implementasi kegiatan prioritas Pendampingan Keluarga Berisiko Stunting yang terdapat pada Rencana Aksi Nasional (RAN) Nomor 12 Tahun 2021. Ini membahas tentang Percepatan Penurunan Angka Stunting Indonesia Tahun 2021-2024. Sosialisasi dilakukan melalui komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE) kelompok keluarga berisiko stunting pada tingkat desa/kelurahan.

Upaya Puskesmas Bagu Lombok Tengah

Menurut Kepala UPTD Puskesmas Bagu, Pringgarata, Kabupaten Lombok Tengah dr. Lale Yufila, sosialisasi mengenai perencanaan keuangan dan kewirausahaan bisa menjadi manfaat untuk masyarakat.

“Puskesmas Bagu memiliki fokus stunting pada 2 desa, di mana salah satunya adalah Desa Sintung. Desa ini memiliki kasus stunting yang sangat tinggi, yaitu terdapat kasus anak stunting di atas 100,” kata Lale.

“Dalam menanganinya, selama ini kami membuka kelas ibu hamil yang berisiko tinggi, pemberian biskuit untuk ibu hamil kurang energi kronis (KEK) dan anemia, pemberian makanan tambahan (PMT), dan diberikan edukasi pengolahan makanan lokal.”

Pihak Lale juga punya survei mawas diri untuk melihat kemampuan ekonomi masyarakat. Hasilnya, rata-rata ekonomi masyarakat yaitu kelas menengah ke bawah. Pekerjaan mereka pun paling banyak petani dan ibu-ibu pedagang. Mereka pun tidak memiliki tabungan kesehatan dan pendidikan.

“Survei menyatakan bahwa 70 persen keluarga memiliki anggota rumah tangga perokok,” tambah Lale.

 

Infografis Stunting, Ancaman Hilangnya Satu Generasi
Infografis Stunting, Ancaman Hilangnya Satu Generasi. (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya