Liputan6.com, Ende Memiliki kekayaan sumber pangan yang melimpah tak menjamin anak-anak di Ende, Nusa Tenggara Timur (NTT), terhindar dari permasalahan gizi.
Menurut Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi Dinas Kesehatan Ende, Maria A. Eka, permasalahan gizi di Ende masih terbilang lengkap.
Advertisement
“Ada wasting (berat badan turun cepat), stunting, underweight (berat badan kurang). Ada juga gizi buruk, gizi kurang, lengkap lah permasalahan status gizi di sini. Bahkan ada juga overweight (kegemukan) jadi lengkap,” jelas Maria kepada Health Liputan6.com saat ditemui di kantor Wahana Visi Indonesia (WVI) Ende, NTT, Rabu (5/3/2025).
Advertisement
Ironisnya, berbagai permasalahan gizi yang dialami anak-anak Ende tidak sejalan dengan kekayaan pangan yang dimiliki.
“Kalau kita bicara tentang pangan, saya kira Ende tidak ada daerah yang minus pangan, semua kita surplus. Ende adalah daerah subur dari ujung timur ke barat walaupun tidak sama setiap daerah, tapi kebutuhan lokal itu pasti ada (terpenuhi).”
Maria menerangkan, Ende adalah kabupaten yang dilingkari oleh lautan. Artinya, sumber pangan laut tersedia dengan baik. Begitu pun di pedalaman, ada budidaya pemeliharaan ayam, udang sawah, ikan air tawar, yang didukung berbagai program pengembangan.
Lantas, apa biang kerok dari munculnya permasalahan gizi anak Ende?
Orangtua Bertani hingga Lupa Status Gizi Buah Hati
Melihat melimpahnya sumber pangan untuk anak-anak di Ende, Maria menarik simpulan bahwa masalah gizi yang mereka hadapi bukanlah akibat kekurangan makanan.
“Kita menarik kesimpulan bahwa ini karena pola asuh,” ucap Maria.
Khususnya pola asuh saat orangtua disibukkan dengan pekerjaannya. Para orangtua di beberapa daerah memang memiliki mata pencaharian sebagai petani.
Ketika musim tanam tiba, sebagian besar warga harus meninggalkan kampung untuk pergi ke kebun. Jarak dari kampung ke kebun yang tak dekat membuat mereka terpaksa bermalam di sana. Bukan sehari dua hari, tapi bisa lebih dari sebulan.
Advertisement
Potensi Alam Bak Surga Firdaus tapi...
Sebagian orangtua membawa serta anaknya ke kebun, sebagian lainnya menitipkan buah hati di kakek neneknya.
Pada saat inilah pengasuhan anak tidak dilakukan dengan baik, termasuk soal pemenuhan kebutuhan nutrisinya. Baik bagi anak yang dibawa ke kebun, maupun bagi anak yang ditinggal di kampung.
“Pada bulan-bulan orangtua sibuk, itu status gizi anak anjlok. Terutama di daerah-daerah yang mata pencahariannya bertani,” kata Maria.
Dia bahkan menyebut daerah di Ende sebagai Surga Firdaus karena berbagai tanaman tumbuh dengan subur di sana.
“Itu daerah-daerah subur, hijau, yang semua lengkap, apalagi sayuran hijau. Tapi pengetahuan untuk mengolah masih sangat minim dan tidak adanya waktu untuk memberikan ke anak.”
“Kemarin saya tanya ‘bagaimana sih proses kalian mengerjakan sawah sehingga anak bisa ditelantarkan sampai anjlok (status gizinya)’,” ujarnya.
Mengapa Masa Tanam Memakan Waktu Lama?
Maria pun mencari tahu alasan di balik lamanya masa tanam sehingga para orangtua harus meninggalkan kampung hingga lebih dari sebulan.
“Mereka itu punya grup-grupan tanam, misalnya kita berlima punya sawah masing-masing sehingga kita saling membantu. Sebetulnya kalau mengerjakan satu sawah milik sendiri saja, maka waktunya hanya seminggu, tapi karena bekerja sama jadi lima minggu (karena harus bantu sawah yang lain).”
“Bisa dibayangkan, lima minggu menelantarkan anak, dibiarkan dengan tetangga atau dengan nenek-nenek, ternyata di situ (alasannya),” papar Maria.
Maria pun menyarankan, anak-anak yang di bawah usia sekolah sebaiknya dibawa serta ke kebun dan dibuatkan kelompok khusus yang fokus mengurus penyediaan makanan bernutrisi.
“Sehingga, ya silakan sebagian urus soal tanam atau panen, nah kelompok khusus ini kumpulkan para anak, urus, kasih makan,” pungkasnya.
Advertisement
