Liputan6.com, Jakarta - Ferdy Sambo dalam sidang pledoi mengungkap, cerita mengenai kejadian tembak-menembak di Duren Tiga Jakarta Selatan disusunnya sebagai upaya melindungi Richard Eliezer pasca kejadian penembakan terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
"Saya begitu panik, namun harus segera memutuskan apa yang mesti dilakukan untuk mengatasi keadaan tersebut, terutama untuk melindungi Richard Eliezer pasca terjadinya peristiwa penembakan," tutur Ferdy Sambo di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Selasa, 24 Januari 2023.
Baca Juga
Peristiwa yang merenggut nyawa Yosua, diakui Ferdy Sambo, terjadi karena dia kehilangan kesabaran dan akal menghadapi sikap Brigadir J yang dinilainya lancang ketika dikonfirmasi mengenai pelecehan terhadap Putri Candrawathi.
Advertisement
Jawaban Brigadir J yang seolah menunjukkan tidak ada suatu hal apa punyang terjadi membuat kesabaran dan akal Ferdy Sambo pupus. Seketika itu, Ferdy Sambo meminta Richard Eliezer untuk menghajar Brigadir J.
Sambo menyebut, perintah itu diikuti dengan beberapa tembakan yang dilontarkan Eliezer pada Brigadir J. Peristiwa yang terjadi begitu cepat itu menyadarkan Ferdy Sambo bahwa tindakan yang dilakukan ajudannya bisa mengakibatkan kematian Nofriansyah Yosua Hutabarat.
"Lantas saya segera keluar memerintahkan Prayogi untuk segera memanggil ambulans sebagai upaya memberikan pertolongan bagi almarhum Yosua," lanjut Ferdy Sambo.Â
Selanjutnya, dalam pleidoi Ferdy Sambo mengaku menggunakan pengalaman dan pengetahuannya sebagai penyidik untuk mengatasi peristiwa yang telah terjadi. Sambo memakai imajinasinya, mereka cerita dan tempat kejadian perkara agar berkesesuaian.
Â
Susun Cerita untuk Lindungi Istri dan Ajudan
Dalam pleidoi, kisah tembak-menembak yang terjadi di Duren Tiga no 46 disebut Ferdy Sambo disusunnya setelah terjadi penembakan terhadap Brigadir J.Â
"Cerita tidak benar mengenai tembak-menembak tersebut saya susun setelah Richard Eliezer menembak Yosua, cerita tersebut bersandar pada pemahaman saya atas Peraturan Kapolri No.01 Tahun 2009," ungkap Ferdy Sambo.
Menurutnya, peraturan tersebut bisa dilakukan oleh anggota Polri jika terdapat ancaman pada diri sendiri maupun orang lain.
"Sehingga saat itu cerita tembak-menembak antara Richard dengan Yosua untuk melindungi istri saya yang dilecehkan di rumah Duren Tiga dapat menjadi alasan yang masuk akal untuk melindungi Richard dari pertanggungjawaban pidana."
Advertisement
Sesali Seret Pihak Tak Bersalah
Ferdy Sambo menyesali peristiwa pembunuhan terhadap Yosua menyeret pihak-pihak yang tidak terlibat dan tidak bersalah. Terlebih pihak-pihak tersebut dituntut atas perbuatan dan kesalahan yang tidak mereka ketahui.
"Penyesalan yang teramat dalam juga terhadap Kuat Maruf, dan Ricky Rizal sebagai orang-orang yang baik yang telah didudukan sebagai terdakwa tanpa tau apa kesalahannya, juga terhadap Richard Eliezer yang harus menghadapi situasi ini," ujar Sambo.
Dia menyesali amarah dan emosi telah membuat logika berpikirnya tertutup.Â
"Saya bersalah dan menyesal karena amarah dan emosi telah menutup logika berpikir saya. Saya lupa bahwa saya seorang Inspektur Jenderal Polisi dan pejabat utama Polri yang tidak pantas melakukan hal tersebut."
Minta Maaf pada Keluarga Brigadir J
Melalui sidang pembacaan pleidoinya, Sambo kembali meminta maaf pada pihak keluarga Nofriansyah Yosua Hutabarat.
"Akhirnya di tengah persidangan yang begitu sesak dan penuh tekanan ini, saya kembali menyampaikan permohonan maaf yang mendalam kepada keluarga korban almarhum Yosua."
Permintaan maaf Sambo juga ditujukan pada Presiden dan Kepolisian RI.
"Kepada Bapak Presiden Republik Indonesia dan seluruh jajarannya, kepada bapak Kapolri dan Kepolisian Republik Indonesia yang sangat saya cintai, kepada masyarakat Indonesia yang telah terganggu dengan peristiwa ini."
Pekan lalu, Jaksa Penutut Umum mengajukan hukuman penjara seumur hidup pada Ferdy Sambo atas perkara pembunuhan berencana terhadap Brigadir J.Â
Advertisement