Liputan6.com, Jakarta - Konsumsi oralit merupakan hal umum saat seseorang mengalami diare. Fungsinya tentu untuk menggantikan cairan dan elektrolit tubuh yang hilang dan mengatasi dehidrasi akibat diare yang dialami.
Namun, belakangan justru viral soal konsumsi oralit saat puasa yang disebut dapat mencegah terjadinya dehidrasi. Lantas, benarkah demikian? Bagaimana dampaknya jika oralit dikonsumsi setiap hari saat sedang tidak diare?
Baca Juga
Edukator Kesehatan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Dr dr Tan Shot Yen mengungkapkan bahwa konsumsi oralit pada orang sehat berisiko menimbulkan hipernatremi atau hiperglikemi. Mengingat oralit mengandung garam dan gula.
Advertisement
"Kalau Anda mengonsumsi itu dalam kondisi normal, ada risiko Anda mengalami yang disebut sebagai hipernatremi atau hiperglikemi terutama bagi kalian yang mempunyai masalah kesehatan. Terutama pada orang diabetes," ujar Tan saat media briefing bersama IDI pada Jumat (31/3/2023).
"Orang diabetes ditambah minum oralit padahal makannya cukup, minumnya benar, artinya ada tambahan bobot nih. Kemudian hipernatremi, kelebihan garam. Jangankan Anda bisa tahan satu hari puasa, hipernatremi itu justru membuat Anda jadi lebih haus. Itu yang repot," tambahnya.
Kadar Natrium Tinggi Berisiko Membuat Perut Jadi Mual
Tan menambahkan, kondisi itupun bisa menjadi beban baru bagi ginjal karena kadar natrium yang tinggi saat mengalami hipernatremi. Sehingga berujung menyebabkan mual dan puasa menjadi tidak senyaman yang seharusnya.
"Itu beban bagi ginjal karena natrium Anda kegedean. Salah satu cirinya kemudian Anda merasa agak mual. Nah, jadi alih-alih puasa Anda lancar, jadi nyaman, puasanya bisa jadi enggak nyaman," kata Tan.
Orang Sehat Tidak Perlu Minum Oralit
Lebih lanjut Tan mengungkapkan bahwa konsumsi oralit sendiri hanya diperuntukkan bagi mereka yang sedang dehidrasi akut. Artinya, saat dalam kondisi sehat, minum oralit tidak dianjurkan
"Kalau orang sehat tentu tidak minum oralit, karena sekali lagi, kelebihan gula dan kelebihan garam. Oralit itu memang didesain takarannya, volumenya, komposisinya untuk orang yang dehidrasi akut," ujar Tan.
Tan menjelaskan, efek oralit mungkin tidak akan terasa jika Anda hanya sesekali mengonsumsinya. Namun, saat dikonsumsi setiap hari dan terjadi akumulasi komponen oralit, maka akan ada risiko masalah kesehatan.
"Kalau Anda minum sekali dua kali, ya, seperti Anda minum teh manis kalau buka puasa. Biasanya efeknya tidak akan terasa. Tapi kalau ini menjadi rutinitas, lalu terjadi akumulasi, ini kan seram. Terjadi akumulasi komponen oralit, tentu Anda bakal punya masalah kesehatan," kata Tan.
Advertisement
Marak Pakai Oralit Bikin yang Butuh Jadi Kesulitan
Tan menambahkan, selain dampaknya pada tubuh, maraknya konsumsi oralit juga berisiko membuat orang yang benar-benar butuh kesulitan mendapat oralit.
"Justru orang yang membutuhkan jadi enggak dapat. Anda bisa bayangin, di negara ini yang puasa berapa juta orang. Sedangkan di luar sana ada orang-orang yang sedang diare. Ada teman-teman yang memang sedang dehidrasi akut," ujar Tan.
"Sekarang harga oralit naik, kan konyol. Susah lagi nyari-nyari dulu,"Â tambahnya.
Seperti diketahui, sebelumnya pada awal puasa, stok oralit sempat habis. Tak sedikit warganet yang mengeluhkan stok oralit habis dan naiknya harga oralit akibat demand yang berlebih di masyarakat.
Belum Ada Studi Berbasis Bukti Oralit Bisa Tahan Haus Saat Puasa
Dalam kesempatan yang sama, Tan mengungkapkan bahwa sejauh ini belum ada studi berbasis bukti yang menyatakan bahwa oralit bisa digunakan untuk menahan haus ketika puasa.
"Saya belum menemukan studinya. Ini barangkali salah satu keprihatinan mengapa PB IDI perlu meluruskan. Jadi sejauh yang saya tahu, tolong diluruskan bila saya salah, belum ada studi berbasis bukti. Studi berbasis bukti tidak boleh melalui pengalaman," ujar Tan.
Apalagi, menurut Tan, ketika seseorang merasakan efek baik tertentu dari oralit saat puasa, belum tentu orang lain bisa merasakannya juga. Sehingga, pengalaman yang dirasakan seseorang tentu tidak bisa digeneralisasi.
"Apa yang baik dan benar bagi satu orang kan belum tentu baik dan benar bagi orang lain," kata Tan.
"Kalau memang ada evidence based-nya, tentu akan diunggah dalam suatu jurnal ilmiah," tambahnya.
Advertisement