Liputan6.com, Jakarta Diet atau pengaturan pola makan yang sehat tak selalu harus menghindari makanan viral.
Berkat media sosial, suatu jenis makanan atau minuman baru gampang sekali jadi viral. Karena tampilannya menggoda dan antreannya panjang, membuat para gen Z jadi ingin ikut membeli.
Advertisement
Baca Juga
“Kesadaran akan makan sehat bukan berarti tidak boleh menjajal makanan viral. Keinginan untuk mencoba makanan baru tidak masalah. Dengan begitu, kita jadi tahu dan tidak penasaran. Positifnya, setelah mencoba, kita jadi tidak menyalahkan makanan apa pun,” kata Ketua Yayasan Makanan dan Minuman Indonesia (YAMMI), Khoirul Anwar SGz, Msi, dalam keterangan pers, Jumat (22/11/2024).
Advertisement
“Kita cenderung menyalahkan, karena tidak tahu. Tapi, ada negatifnya juga, kalau mencobanya terlalu banyak dan jadi kebablasan,” kata dosen Program Studi Gizi, Fakultas Teknologi Pangan dan Kesehatan, Universitas Sahid Jakarta itu.
Khoirul justru menyarankan agar kita menyusun jadwal khusus untuk mencicip makanan baru, misalnya satu atau dua kali dalam satu minggu. Tujuannya, untuk sekadar mengetahui.
“Jika sudah melihat dan mencicipi, kita bisa mengidentifikasi plus dan minus dari makanan tersebut, sehingga kemudian bisa memutuskan apakah makanan tersebut baik bagi tubuh,” paparnya.
Tidak Ada Makanan yang Benar-Benar Salah
Dalam keterangan yang sama, CEO dan Co-founder Eathink, Jaqualine Wijaya mengatakan bahwa tidak ada makanan yang benar-benar salah.
“Tidak ada makanan yang benar-benar salah, kecuali dikonsumsi berlebihan. Karena itu, kita perlu kembali ke konsep Seimbang dalam panduan SELARAS,” kata Jaqualine.
SELARAS adalah singkatan dari Seimbang, Lokal, Alami, Beragam, dan Sadar. Ini merupakan panduan makan sehat dan berkelanjutan yang dirilis oleh platform yang fokus pada keberlanjutan pangan, Eathink.
“Artinya, kalau siang tadi sudah mengonsumsi makanan viral sarat gula, sore hari sebaiknya tidak lagi ngemil makanan yang bergula juga,” tambahnya.
Advertisement
Mengenal Konsep SELARAS
Konsep SELARAS memandu agar masyarakat menjalankan pola makan seimbang dalam hal komposisi zat gizi. Makanan yang dikonsumsi pun menggunakan bahan pangan lokal yang merupakan bahan alami untuk meminimalkan zat kimia dalam bahan pangan.
Tak lupa, mengedepankan keragaman bahan pangan dalam satu piring dan menerapkan mindful eating atau kesadaran saat makan.
“Tak perlu dibuat rumit, pola makan sehat dan juga ramah lingkungan bisa diadopsi dengan mudah tanpa harus mengeluarkan banyak uang,” ujar Jaqualine.
Sejalan dengan Jaqualine, Khoirul menjelaskan, aspek seimbang memang sangat penting, sehingga menjadi acuan pertama.
“Tidak ada satu jenis makanan pun yang bisa memenuhi semua kebutuhan gizi kita.”
Gunakan Bahan Pangan Lokal
Di sisi lain, penggunaan bahan lokal juga akan memudahkan pola makan sehat sehari-hari.
Sebagian orang banyak membaca rekomendasi bahan makanan dari sumber informasi luar negeri, maka pangan bergizi tinggi yang diketahui antara lain salmon dan whole grain.
“Padahal, whole grain tidak menjadi produk utama di Indonesia. Kita juga bukan penghasil utama ikan salmon. tapi kita kaya akan banyak jenis ikan di Indonesia selain salmon,” kata Khoirul.
Ia menjelaskan, ketika berbicara soal kacang-kacangan, orang akan berpikir tentang almond. Padahal, kacang hijau yang harganya murah juga mempunyai nilai gizi yang tinggi.
“Hanya saja, orang memilih almond karena lebih bergengsi. Bahan pangan pengganti yang setara itu banyak. Masalahnya, ketika orang tidak terpapar terhadap bahan tersebut, maka dia tidak tahu bahwa makanan itu ada.”
Sebelumnya, Khoirul mengungkapkan bahwa pemahaman soal diet perlu diluruskan.
“Orang berpikir bahwa diet berarti mengurangi berat badan. Padahal, sebenarnya diet berarti mengatur pola makan. Secara ilmiah, pola makan yang baik itu yang menerapkan gizi seimbang, seperti yang diusung SELARAS,” pungkasnya.
Advertisement