Terkait dengan makin maraknya penyalahgunaan pil dekstro, kini banyak bermunculan oknum penjual yang mengemas pil ini layaknya bahan-bahan narkoba lain.
"Karena kebutuhan dan permintaan pasar yang semakin meningkat, maka ada oknum yang mengemasnya tidak seperti obat pereda batuk namun seperti narkotik," ungkap Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza Dra. A. Retno Tyas Utami, Apt., M.Epid, ditulis Rabu (2/10/2013).
Dekstrometorfan atau yang kerap disebut pil dekstro memiliki efek buruk tidak hanya kesehatan tubuh namun juga jiwa.
"Efeknya permanen dibandingkan morfin dan kodein, menyerang saraf pusat otak sehingga tidak sembuh dengan rehab namun psikiater kejiwaan," terangnya.
Retno mengatakan para oknum yang mengemas menjadi layaknya narkotika tersebut mendapatkan untung besar karena penjualannya menjadi mahal daripada harga aslinya.
"Harga aslinya hanya 50 rupiah perbutir, karena permintaan pasar banyak maka oknum menaikan harga menjadi mahal. Dan peredarannya yang tidak terkontrol tersebut berbahaya," kata Retno.
Retno menegaskan oknum tersebut mengemasnya dengan isi 10 butir pil dekstro, hal tersebut melebihi dosis yang dianjurkan. "Pil dekstro bewarna kuning, dan dikemas seperti pengedaran narkotika dengan isian 10 butir, nah 10 pil ini yang melebihi dosis sehingga berisiko kematian," papar Retno.
Untuk itu Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) akan menarik izin edar dekstrometorfan tunggal sampai 30 Juni 2014.
"Setelah lewat dari tanggal 30 Juni 2014 maka obat tersebut ilegal dan akan dikenakan sanksi tegas," tegas Retno.
Menurut Retno kebanyakan para pelajar dan mahasiswa yang menjadi incaran para oknum. Data yang diperoleh Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2011 pengguna pelajar dan mahasiswa tertinggi berada di provinsi Kalimantan Tengah yakni sebesar 38,5 persen.
"Data ini dari BNN pada 2011 kebanyakan generasi muda yang diincar, provinsinya diantaranya Jawa barat (25 persen), Kalteng (38,5 persen), Kepri (22,9 persen). Daerah petani atau pinggiran yang kerap ditemukan penyalahgunaan karena memperoleh pil dekstra itu murah tapi bisa bikin 'teler'," papar Retno.
(Mia/Abd)
"Karena kebutuhan dan permintaan pasar yang semakin meningkat, maka ada oknum yang mengemasnya tidak seperti obat pereda batuk namun seperti narkotik," ungkap Deputi Bidang Pengawasan Produk Terapetik dan Napza Dra. A. Retno Tyas Utami, Apt., M.Epid, ditulis Rabu (2/10/2013).
Dekstrometorfan atau yang kerap disebut pil dekstro memiliki efek buruk tidak hanya kesehatan tubuh namun juga jiwa.
"Efeknya permanen dibandingkan morfin dan kodein, menyerang saraf pusat otak sehingga tidak sembuh dengan rehab namun psikiater kejiwaan," terangnya.
Retno mengatakan para oknum yang mengemas menjadi layaknya narkotika tersebut mendapatkan untung besar karena penjualannya menjadi mahal daripada harga aslinya.
"Harga aslinya hanya 50 rupiah perbutir, karena permintaan pasar banyak maka oknum menaikan harga menjadi mahal. Dan peredarannya yang tidak terkontrol tersebut berbahaya," kata Retno.
Retno menegaskan oknum tersebut mengemasnya dengan isi 10 butir pil dekstro, hal tersebut melebihi dosis yang dianjurkan. "Pil dekstro bewarna kuning, dan dikemas seperti pengedaran narkotika dengan isian 10 butir, nah 10 pil ini yang melebihi dosis sehingga berisiko kematian," papar Retno.
Untuk itu Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) akan menarik izin edar dekstrometorfan tunggal sampai 30 Juni 2014.
"Setelah lewat dari tanggal 30 Juni 2014 maka obat tersebut ilegal dan akan dikenakan sanksi tegas," tegas Retno.
Menurut Retno kebanyakan para pelajar dan mahasiswa yang menjadi incaran para oknum. Data yang diperoleh Badan Narkotika Nasional (BNN) tahun 2011 pengguna pelajar dan mahasiswa tertinggi berada di provinsi Kalimantan Tengah yakni sebesar 38,5 persen.
"Data ini dari BNN pada 2011 kebanyakan generasi muda yang diincar, provinsinya diantaranya Jawa barat (25 persen), Kalteng (38,5 persen), Kepri (22,9 persen). Daerah petani atau pinggiran yang kerap ditemukan penyalahgunaan karena memperoleh pil dekstra itu murah tapi bisa bikin 'teler'," papar Retno.
(Mia/Abd)