Saat BPJS dan KJS Dibandingkan

Menurut pantauannya, ada banyak masyarakat yang merasa kalau BPJS Kesehatan itu menyulitkan proses pasien di rumah sakit.

oleh Fitri Syarifah diperbarui 04 Feb 2014, 17:35 WIB
Diterbitkan 04 Feb 2014, 17:35 WIB
antre-bpjs-140108a.jpg
Dibandingkan dengan pelayanan kesehatan sebelumnya, pelayanan rumah sakit saat ini dinilai terlalu menyulitkan masyarakat. Apalagi dengan adanya kartu BPJS Kesehatan yang baru, banyak masyarakat harus mondar-mandir daftar dan mengantri lama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan.

Seperti diungkapkan oleh salah seorang staf khusus Wakil Gubernur Ahok bidang advokasi pendidikan dan kesehatan, Yus Kristin bahwa menurut pantauannya, ada banyak masyarakat yang merasa kalau BPJS Kesehatan itu menyulitkan pasien di rumah sakit.

"Dulu dengan KJS (Kartu Jakarta Sehat), dengan KTP dan KK sudah bisa terkaver semua tapi sekarang, KJS masih berlaku tapi hanya sampai 2 tahun kedepan. Selanjutnya masyarakat wajib ikut serta dalam BPJS Kesehatan. Sayangnya, rumah sakit masih sering mengoper pasien," ungkapnya.

Misalnya, Kristin menerangkan, ada peserta yang ingin daftar BPJS Kesehatan. Tapi di puskesmas belum semua bisa daftar, akhirnya pasien diminta daftar di kantor BPJS Kesehatan terdekat. Sementara bagi sebagian orang, Rp 5 ribu saja berharga. "Kalau tidak ada orang BPJSnya, kenapa tidak formulirnya saja ditaruh di puskesmas, jadi orang tidak mondar-mandir".

"Belum lagi, di lapangan masih banyak masyarakat yang terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan tapi ditolak, seperti di RS Cipto atau RS Fatmawati dengan alasan yang nggak jelas. Berbeda dengan RS milik TNI/Polri yang masih banyak toleransi. Mereka lebih menerima dengan baik," tegas Kristin.

Selain itu, masalah penyakit juga belum semua terkaver dalam sistem BPJS Kesehatan. Kristin menerangkan, penyakit tifus misalnya belum terkaver. Sementara di KJS, semua penyakit telah terkaver. Hal ini membuat masyarakat menjadi ragu untuk ikut serta dalam BPJS Kesehatan padahal kepersertaan JKN bersifat wajib.

"Kami harap, peraturan ini dapat diambil alih oleh Pemda (Pemerintah Daerah) bukan lagi pusat karena yang mengetahui masalah di daerah kebanyakan pemerintah daerahnya," tambah Kristin.

(Fit/Abd)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya