Hari Pendidikan Nasional, Ini Deretan Tokoh yang Patut Diteladani

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang selalu diperingati setiap tanggal 2 Mei tidak terlepas dari sejarah panjang Bangsa Indonesia.

oleh Afifah Cinthia Pasha diperbarui 02 Mei 2019, 10:30 WIB
Diterbitkan 02 Mei 2019, 10:30 WIB
Seragam1
Simak warna-warna seragam sekolah anak-anak di berbagai belahan dunia. Foto: Brightside.me

Liputan6.com, Jakarta Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang selalu diperingati setiap tanggal 2 Mei tidak terlepas dari sejarah panjang Bangsa Indonesia. Tanggal 2 Mei yang dijadikan Hari Pendidikan Nasional merupakan hari kelahiran Ki Hajar Dewantara. Pemilihan tanggal 2 Mei sebagai Hari Pendidikan Nasional sebagai tanda jasa atas perjuangan Ki Hajar Dewantara. 

Namun sayangnya, seiring berjalannya waktu sebagian besar masyarakat kurang memahami tentang sejarah Hardiknas atau makna hari pendidikan nasional itu sendiri. Hari Pendidikan Nasional ditetapkan jatuh pada tanggal 2 Mei. Tanggal tersebut, dimana merupakan tanggal lahir dari Ki Hadjar Dewantara. Ki Hadjar Dewantara lahir dari keluarga kaya Indonesia pada era kolonialisme Belanda.

Ia dikenal karena berani menentang kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu, yang hanya memperbolehkan anak-anak kelahiran Belanda atau orang kaya yang bisa mengenyam bangku pendidikan. Hari nasional ini ditetapkan melalui Keppres No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959.

Kritiknya terhadap kebijakan pemerintah kolonial menyebabkan ia diasingkan ke Belanda, dan ia kemudian mendirikan sebuah lembaga pendidikan bernama Taman Siswa setelah kembali ke Indonesia. Ki Hadjar Dewantara diangkat sebagai menteri pendidikan setelah kemerdekaan Indonesia.

Filosofinya, tut wuri handayani (di belakang memberi dorongan), digunakan sebagai semboyan dalam dunia pendidikan Indonesia. Berikut deretan tokoh nasional yang patut diteladani yang telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Rabu (2/5/2019).

1. Ki Hadjar Dewantara

Ki Hadjar Dewantara
Ki Hadjar Dewantara (sumber: wikipedia)

Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara lahir pada tanggal 2 Mei 1889, Hari kelahirannya kemudian diperingati setiap tahun oleh Bangsa Indonesia sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Beliau sendiri terlahir dari keluarga Bangsawan. Ia merupakan anak dari GPH Soerjaningrat, yang merupakan cucu dari Pakualam III. Terlahir sebagai bangsawan maka beliau berhak memperoleh pendidikan untuk para kaum bangsawan pada saat itu.

Dalam banyak buku mengenai Biografi Ki Hajar Dewantara, Ia pertama kali bersekolah di ELS yaitu Sekolah Dasar untuk anak-anak Eropa/Belanda dan juga kaum bangsawan. Selepas dari ELS ia kemudian melanjutkan pendidikannya di STOVIA yaitu sekolah yang dibuat untuk pendidikan dokter pribumi di kota Batavia pada masa kolonial Hindia Belanda.

Namanya diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah tahun emisi 1998. Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh Presiden RI, Soekarno, pada 28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959).

2. RA. Kartini

Raden Ajeng Kartini adalah pahlawan atau bisa disebut pejuang Emansipasi wanita di Indonesia. Banyak prestasi yang telah diraih oleh RA Kartini dalam keberhasilan mengantarkan wanita Indonesia menjadi lebih berperan, khususnya dalam hal pemerataan pendidikan, dikenal juga sebagai pelopor kebangkitan perempuan pribumi.

R.A Kartini lahir di Jepara pada tanggal 21 April 1879, dulunya wilayah ini merupakan kekuasaan Hindia Belanda di Nusantara, sekarang masuk dalam provinsi Jawa Tengah. Raden Adjeng Kartini Djojo Adhiningrat adalah nama lengkap R.A Kartini, ia berasal dari keluarga bangsawan, ayahnya RM Sosroningrat adalah guru agama di Kota Jepara, sementara ibunya MA Ngasrih bukan keturunan bangsawan.

Karena berasal dari keluarga bangsawan, ia pun mendapatkan pendidikan di sekolah bernama ELS (Europa Lagre School) setingkat SD, sampai usia 12 tahun. R.A Kartini memperoleh banyak ilmu, salah satunya menguasai bahasa Belanda.

3. KH Hasyim Asy’ari

KH Hasyim Asy’ari
KH Hasyim Asy’ari (sumber: wikipedia)

KH. Hasyim Asy’ari lahir pada tanggal 10 April 1875, di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Dan pada tanggal 25 Juli 1947 (72 tahun) beliau wafat dan dimakamkan di Tebu Ireng, Jombang.

Beliau merupakan pendiri Nahdhatul Ulama, organisasi massa Islam terbesar di Indonesia serta putra dari Kyai Asy’ari. Beliau adalah ulama sekaligus pemimpin dari Pondok Pesantren yang berada di selatan Jombang.

Sementara ibunda beliau bernama Halimah, memiliki silsilah keturunan dari Raja Brawijaya VI, yang dikenal dengan Lembung Peteng. Ayah dari kakek beliau yaitu Kyai Sihah yang merupakan pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang. Di kalangan Nahdhiyin dan ulama pesantren KH. Hasyim Asy’ari dijuluki Hadratus Syeikh yang berarti maha guru.

Kyai Hasyim Asy’ari mendirikan pondok pesantren di Tebu Ireng yang menjadi pesantren terbesar dan terpenting di tanah Jawa pada abad ke-20. Mulai tahun 1900, beliau memposisikan Pesantren Tebuireng menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam Tradisional.

Dalam pesantren tersebut bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, namun juga pengetahuan umum ikut mengiringi pengajaran agama Islam. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.

4. KH Ahmad Dahlan

Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868. Dan meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur 54 tahun merupakan salah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar.

KH Abu Bakar adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu.

K.H. Ahmad Dahlan adalah pendiri Muhammadiyah. Yang ketika itu umat Islam dan ajaran Islam sedang dilanda krisis kepercayaan. Seperti ungkap K.H. Ahmad Dahlan dalam buku ini, “tidak mungkin Islam lenyap dari seluruh dunia, tapi tidak mustahil Islam hapus dari bumi Indonesia. Siapakah yang bertanggungjawab?”

5. Dr. Soetomo

Dr. Soetomo
Dr. Soetomo (sumber: wikipedia)

Soetomo terlahir dengan nama asli Soebroto, pada tanggal 30 Juli 1888 di desa Ngepeh, Jawa Timur, Hindia Belanda. Dr. Soetomo bersekolah di School tot Opleding van Indische Artsen (STOVIA) yakni sebuah sekolah pendidikan dokter Hindia. Semasa sekolah Soetomo suka berdiskusi dengan teman-temannya di sekolah.

Dalam kunjungan dr. Wahidin Sudirohusodo ke STOVIA, beliau sempat memberikan  pidato yang berfokus pada peningkatan minat para pemuda untuk meningkatkan serta memajukan dunia pendidikan sebagai salah satu cara untuk membebaskan pemikiran bangsa dari belenggu penjajahan. Salah satu cara yang diusulkan oleh dr. Wahidin Sudirohusodo adalah dengan membentuk sebuah Studie Fon (Dana Untuk Beasiswa).

Hal inilah yang menjadi salah satu pemacu Dr. Soetomo untuk mendirikan organisasi Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908. Boedi Oetomo adalah organisasi modern pertama yang ada di Indonesia.

Tirto Koesumo terpilih menjadi ketua Boedi Oetomo yang pertama berdasarkan hasil kongres pertama Boedi Oetomo yang dilaksanakan pada 3-5 Oktober 1908. Selain Soetomo, di Boedi Oetomo juga bergabung Suewardi Soerjaningrat, Saleh, Gumbreg, dan lain-lain yang turut membantu Goenawan dan Soeradji.

6. RA. Dewi Sartika

Raden Dewi Sartika dilahirkan di Bandung, tanggal 4 Desember 1884. Ia terkenal dengan julukan “Djuragan Dewi”. Ayahnya adalah seorang patih, berkedudukan di Bandung dan namanya Raden Somanagara, sedangkan ibunya bernama Raden Ayu Radjapermas.

Suasana masyarakat Bandung saat Raden Dewi Sartika dilahirkan dan dibesarkan adalah suasana yang masih feudal-kolonial. Saat itu juga terjadi tindakan melawan ketidakadilan pemerintahan feudal-kolonial, salah satunya adalah adanya peristiwa peletakan bom di bawah panggung pacuan kuda di Tegallega, di mana saat itu para pembesar kolonial akan hadir di pacuan itu, dan akan diledakkan saat pacuan berlangsung.

Raden Dewi mulai membuka sekolah gadis pertama di Priangan (Bandung), bahkan yang pertama di Indonesia, dengan mengambil tempat di ruangan persidangan kabupaten sebelah barat. Dibuka sekaligus kelas satu dan kelas dua dengan tiga orang guru. Sekolah itu bernama “Sakola Istri”.

Pada tahun 1905, karena kekurangan ruangan maka “Sakola Istri” dipindahkan ke suatu tempat di luar halaman kabupaten, di jalan yang kemudian bernama Djalan Raden Dewi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya