Kisah Mbah Tjipto Pelukis Selebor Becak Sejak 1950, Kini Tinggal di Kos 3 x 3 Meter

Kini juga membuat kitiran untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari

oleh Muhammad Fahrur Safi'i diperbarui 24 Jul 2019, 21:11 WIB
Diterbitkan 24 Jul 2019, 21:11 WIB
Kisah Mbah Tjipto Pelukis Selebor Becak Sejak 1950, Kini Tinggal di Kos 3 x 3 Meter
Tjipto Setiono maestro pelukis selebor becak (Sumber: Liputan6.com/Muhammad Fahrur Safii)

Liputan6.com, Jakarta Di Jalanan Jogja, banyak turis yang memanfaatkan becak untuk menyusuri jalan Malioboro. Becak masih jadi pilihan di tengah euforia alat transportasi umum berbasis online. Meski jumlahnya menurun, banyak tukang becak yang memilih bertahan untuk mengais rejeki dari keringat mengayuh becak. 

Jika diperhatikan, becak Jogja memiliki keunikan. Salah satunya di bagian selebor yang sering dihiasi aneka lukisan. Gambar-gambar di selebor becak beraneka ragam mulai gunung, sawah, dan lainnya. Meski tak sedikit pula tukang becak yang membiarkan seleborkan berwarna putih, atau menempelinya dengan stiker sesuai tempat ia mangkal.

Nah, salah satu orang yang berperan dalam dunia lukis selebor becak adalah Mbah Tjipto atau bernama lengkap Tjipto Setiono. Usianya kini sudah 85 tahun. Sejak tahun 1950, Mbah Tjipto sudah berprofesi melukis selebor becak. Dan setelah 69 tahun berprofesi sebagai pelukis selebor becak, ia masih menekuninya hingg kini.

Kecintaannya pada dunia seni lukis selebor becak boleh dibilang telah mendarah daging. Mbah Tjipto telah memiliki 7 anak, 18 cucu dan 11 buyut. Maklum usianya sudah 85 tahun. Tapi, profesi pelukis selebor becak Jogja tak lantas membuat ekonominya mapan. Ia kini harus tinggal di kamar kos 3 x 3 meter di daerah Patangpuluhan, Wirobrajan, Kota Yogyakarta. Ia harus membayar Rp 300 ribu/bulan untuk uang sewa kamar kos tersebut.

Kisah awal Mbah Tjipto Setiono melukis selebor becak

Kisah Mbah Tjipto Pelukis Selebor Becak Sejak 1950, Kini Tinggal di Kos 3 x 3 Meter
Mbah Tjipto Setiono dengan karya-karyanya (Sumber: Liputan6.com/Muhammad Fahrur Safii)

Rumah kos yang ditempati Mbah Tjipto berupa bangunan petak berisi 4 kamar. Semuanya ukuran 3 x 3 meter. Rumah kos berada tepat di belakang homestay. Untuk bisa sampai ke kamar kosnya, saya harus melewati gang sempit yang hanya bisa dilewati motor. Di kamar tersebut, Mbah Tjipto tinggal seorang diri karena tiga tahun lalu istrinya meninggal dunia.

Kepada Liputan6.com, ia menceritakan kisah hidupnya yang penuh liku. Mbah Tjipto lahir tahun 1935 di Magelang. Lalu pindah ke Jogja saat ia menempuh Sekolah Rakyat (SR). Kecintaannya pada dunia lukis, berawal saat ia ngenger atau bekerja pada seorang pengusaha keturunan Tionghoa yang memiliki perusahan es lilin. “Waktu itu tahun 1950 dan alat transportasi becak digunakan untuk pemasarannya,” tuturnya kepada Liputan6.com Minggu (20/7/2019).

Banyaknya becak yang digunakan perusahaan membuat Mbah Tjipto dipekerjakan untuk menghiasi becak-bacak tersebut. Kurang lebih 20 tahun dirinya bekerja di perusahan tersebut. Dan sekitar tahun 1970 ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaan dan menekuni seni lukis selebor becak secara mandiri. Maklum pada waktu itu, becak jadi andalan transportasi umum.

Ia kemudian memutuskan mengontrak rumah di Blok O, kawasan Janti, Yogyakarta. Ia siap datang ke pemesan untuk melukis selebor becak. Hasilnya lumayan. Dengan keterampilan tangannya, nama Mbah Tjipto pun makin terkenal dan orderan makin banyak.

Ia mendapat banyak sekali tawaran pekerjaan untuk melukis selebor becak, baik itu ke Sleman, Bantul, dan Kulonprogo waktu itu. "Tidak hanya Jogja, namun Solo, Semarang hingga Purworejo,” ungkapnya.

Berkat profesinya sebagai pelukis selebor becak, ia kemudian bisa berkeluarga dan dikaruniai 7 anak. Tahun 80-90 an ada masa-masa keemasan profesi pelukis selebor becak yang ditekuninya. “Hampir tiap hari ada panggilan,” tuturnya.

Mbah Tjipto memang beberapa kali pindah tempat tinggal. Setelah mengontrak rumah di Blok O, ia tinggal di Jalan Arjuna, Wirobrajan, Kota Yogyakarta. Di halaman rumah kontrakannya Mbah Tjipto memamerkan hasil karya-karyanya. Tidak hanya selebor becak, namun hasil karya lukisan lain di media-media lain juga.

Pasang surut profesi pelukis selebor becak

Kisah Mbah Tjipto Pelukis Selebor Becak Sejak 1950, Kini Tinggal di Kos 3 x 3 Meter
Potret kamar Mbah Tjipto Setiono (Sumber: Liputan6.com/Muhammad Fahrur Safii)

“Sebelum ada bus kota, taksi dan ojek, hampir setiap hari ada panggilan untuk melukis slebor becak,” ungkap Mbah Tjipto kepada Liputan6.com. Ia mengisahkan masa keemasan itu dengan penuh semangat.

Namun seiring berjalannya waktu, becak pun ditinggalkan masyarakat. Hal itu berimbas pada menurunnya orang yang memesan lukisan selebor becak. "Sudah kalah dengan sepeda motor, bus kota dan taksi," ungkapnya pelan.

Kini memang sudah jarang tukang becak yang meminta dirinya untuk menghiasi selebor becaknya. Meski diakuinya rejeki dari melukis becak ini masih tetap ada hingga kini. Ia kini tak hanya menerima pesanan lukisan selebor becak, tapi juga mendapatkan pesanan dari hotel-hotel yang memesan sebuah lukisan dengan media selebor becak untuk menghiasi dinding hotel.

Lukisan di selebor becak tak hanya diperoleh dari dalam negeri namun pesanannya ini banyak datang dari mancanegara seperti Australia, Tiongkok dan Jepang. Selebor-selebor itu yang ia tahu untuk menghiasi dinding-dinding hotel dengan gambar yang sudah ditentukan oleh pemesannya. Jadi tidak lagi gambar sawah, gunung, atau tulisan-tulisan filosofi jawa.

Untuk harga, sampai saat ini ia mematok harga Rp 500 ribu untuk sepasang slebor becak (kiri-kanan). Bahan selebor becak sendiri ia dapatkan dari Semarang dengan harga Rp 300 ribu. Praktis melukis sepasang selebor ia mendapat Rp 200 ribu.

Tak perlu lama bagi Mbah Tjipto untuk melukis. Ia mengaku hanya butuh waktu 3 jam untuk mengerjakannya. “Butuh waktu 3 jam saja untuk melukis seperti ini”, sembari dia menunjukkan hasil karyanya.

Bikin kitiran untuk menambah pendapatan

Kisah Mbah Tjipto Pelukis Selebor Becak Sejak 1950, Kini Tinggal di Kos 3 x 3 Meter
Kitiran yang dipajang Mbah Tjipto Setiono (Sumber: Liputan6.com/Muhammad Fahrur Safii)

Pada tahun 2016 sang istri tercinta meninggal dunia. Ia pun tak ingin merepotkan anak-anak dan cucu-cucunya. Sehingga ia memutuskan untuk tinggal sendiri di kamar kos 3 x 3 meter di kawasan Wirobrajan, Jogja.

Di kamar kos tersebut, sebuah busa di atas kursi bambu panjang tanpa alas dijadikan pengganti kasur untuk tidur. Baju-baju tergantung berantakan, dan di dekatnya terdapat lemari tua. Banyak dari hiasan di dinding menunjukkan kenangan masa lalu mbah Tjipto dengan Istrinya.

“Saya tinggal sendiri, Istri udah meninggal 3 tahun lalu, dan saya pindah ke kos-kosan ini,” ungkapnya dengan nada lirih.

Guna memenuhi kebutuhan hidupnya, ia tak hanya melukis selebor becak, namun ia juga menjual sebuah “kitiran” dengan hiasan orang atau hewan, jadi ketika baling-balingnya berputar tertiup angin, orang-orang dan hewan di “kitiran” tersebut akan terlihat seperti memutarnya. Dirinya pun mematok harga Rp 150 ribu.

“Selain melukis slebor, saya juga bikin kitiran yang saja jual Rp 150 ribu. Bisa dilihat di samping homestay, saya pajang,” ungkapnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya