Liputan6.com, Jakarta Sebagian besar dari kita mungkin pernah dilarang oleh orang tua, kakek, atau nenek untuk melakukan sesuatu. saat mereka melarang, mereka juga tidak menjelaskan alasan sesuatu tidak boleh dilakukan. Mereka hanya mengatakan, "Pamali."
Bahkan tidak jarang jika larangan itu dilanggar, akan ada hal buruk yang bisa terjadi. Kebanyakan ajaran pamali lebih sering dikaitkan dengan hal-hal mistis dan supranatural, dengan tujuan untuk menakut-nakuti agar seseorang menjadi patuh.
Advertisement
Hal itu mungkin membuat kita bertanya-tanya tentang apa itu sebenarnya pamali? Apa yang akan terjadi jika larang tersebut kita langgar?
Advertisement
Penting untuk mengetahui apa sebenarnya alasan di balik pamali. Perihal pamali sebenarnya telah menjadi kajian dalam ilmu budaya, dan dianggap sebagai salah satu sumber dari norma dan nilai-nilai kebaikan. Selain itu, pamali juga dianggap sebagai salah satu dari bentuk kearifan lokal.
Lalu apa sebenarnya pamali itu? Berikut adalah pengertian dan nilai-nilai dari fenomena budaya pamali, seperti yang dirangkum Liputan6.com dari hasil penelitian ilmiah, Minggu (9/10/2022).
Pengertian Pamali
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pamali adalah pantangan atau larangan berdasarkan adat dan kebiasaan. Sementara itu dalam artikel berjudul "Pengaruh Pamali sebagai Kearifan Lokal dalam Mewujudkan Nilai Norma dalam Kehidupan Sosial Generasi Z," Syarubay, dkk. (2021), menyebutkan bahwa pamali merupakan salah satu hasil kearifan lokal Indonesia. Pamali dibuat oleh masyarakat melalui pengalaman-pengalaman mereka dan diintegrasikan dalam sebuah larangan atau pantangan. Pamali udah ada sejak zaman dahulu dan banyak diterapkan oleh masyarakat.
Pamali sering dianggap sebagai mitos yang dianggap sebagai sesuatu hal yang tidak masuk akal. Sebab, pantangan atau larangan yang diberikan dalam pamali sering tidak dijelaskan secara gamblang. Sementara itu, masih ada pula orang yang meyakini bahwa pamali adalah hal yang harus diterapkan dalam kehidupan.
Mereka yang meyakini pamali merasa bahwa sesuatu yang menjadi pantangan atau larangan harus dihindari atau tidak boleh dilakukan. Jika hal tersebut dilanggar, maka akan ada hal buruk yang akan terjadi.
Namun dari sumber yang sama juga disebutkan bahwa pamali juga berperan sebagai aturan-aturan masyarakat yang mengatur segala pola hidup masyarakatnya di luar kepercayaan masyarakat terhadap agama.
Sementara itu dalam artikel berjudul "Nilai Moral dan Sosial Tradisi Pamali di Kampung Kuta sebagai Pendidikan Karakter," Sugara dan Perdana (2021) mengemukakan bahwa pamali dapat dinilai sebagai nilai pendidikan karakter. Pendidikan karakter tersebut berupa nilai moral dan sosial. Nilai-nilai tersebut akan memberikan dampak positif bagi generasi muda yang mulai meninggalkan budaya lokal.
Contoh sederhana dari nilai pamali adalah larangan untuk duduk di atas bantal, sebab jika itu dilanggar maka akan muncul bisul di pantat. Secara logika, tentu saja tidak mungkin seseorang kana memiliki bisul jika duduk di atas bantal. Lagipula penyebab bisul dan duduk di atas bantal tidak ada korelasinya.
Namun penting untuk dipahami bahwa dulunya hanya ada satu jenis bantal, yakni yang digunakan untuk sandaran kepala ketika tidur. Dengan duduk di atas bantal maka sama memperlakukan sesuatu tidak sebagaimana mestinya. Selain itu, bantal adalah tempatnya kepala, tentu tidak sopan jika tempat itu justru digunakan untuk duduk, di mana pantat diletakkan di sana.
Advertisement
Pamali sebagai Pendidikan Karakter
Sugara dan Perdana (2021) menyebutkan bahwa pamali merupakan salah satu bentuk dari pendidikan karakter yang mengajarkan nilai-nilai moral dan nilai-nilai sosial. Hal itu mereka contohkan dalam pamali yang dipercaya oleh masyarakat di Kampung Adat Kuta.
Sebagai sarana pendidikan moral, pamali yang dipercaya oleh masyarakat Kampung Adat Kuta dinilai mengajarkan beberapa hal seperti disiplin dan cinta lingkungan. Adapun nilai moral yang mengajarkan kedisiplinan terdapat dalam tradisi pamali mengenai larangan untuk memasuki Leuweung Kramat selain hari Senin dan Jumat.
Semua orang harus mengikuti aturan waktu memasuki Leuweung yang telah ditentukan, walaupun dalam kondisi darurat. Semua orang harus menahan diri, termasuk juga masyarakat setempat. Hal tersebut berkaitan dengan asal mula Leuweung Kramat. Dari tuturan juru kunci/kuncen, Senin dan Jumat merupakan hari bersejarah karena dahulu kala diadakan sayembara, siapa yang lebih dulu mencapai Leuweung Kramat, maka akan dijadikan penguasa daerah tersebut yang merupakan kawasan kekuasaan Kerajaan Cirebon.
Nilai Moral dalam Pamali
Selain larangan memasuki Leuweung Kramat selain hari Senin dan Jumat, ada sejumlah pantangan lainnya. Pantangan tersebut antara lain adalah dilarang memakai alas kaki saat memasuki Leuweung Kramat; dilarang membuang kotoran; dilarang membawa senjata tajam; dan dilarang mengganggu kehidupan binatang di Leuweung Kramat.
Pantangan untuk tidak memasuki Leuweung Kramat dengan alas kaki dianggap sebagai ajaran untuk bersikap rendah hati. Ini karena larangan tersebut bermula saat Dewi Naganingrum bersembunyi di Leuweung Kramat dari kejaran pengawal Kerajaan Galuh. Dahulu kala, alas kaki menandakan status sosial, hanya keluarga raja saja yang memakainya. Oleh karenanya, Dewi Naganingrum tidak menggunakan alas kaki agar jejak kakinya tidak ditemukan dengan mudah oleh para pengawal.
Selain mengajarkan sikap rendah hati, menggunakan alas kaki ketika masuk Leuweung juga akan membuat seseorang bisa melangkah dengan leluasa. Artinya mereka tidak memperhatikan apa yang akan diinjaknya. Dengan begitu akan ada banyak tumbuhan atau hewan yang berisiko terinjak.
Sedangkan larangan untuk tidak membawa kotoran adalah ajaran untuk menjaga kebersihan. Ini hendaknya tidak hanya dilakukan di tempat-tempat khusus saja, melainkan di semua tempat kita hendaknya mau menjaga kebersihan. Sedangkan larangan membawa senjata tajam dan mengganggu kehidupan hewan mengajarkan tentang menjaga kelestarian alam.
Advertisement
Nilai Sosial dalam Pamali
Selain mengajarkan tentang nilai-nilai moral, pamali juga dipercaya mengajarkan nilai-nilai sosial, termasuk dalam pantangan untuk tidak boleh mengenakan perhiasan ketik masuk Leuweung Kramat.
Pantangan Mengenakan Perhiasan
Pantangan lain yang tidak boleh dilakukan ketika masuk Leuweung Kramat adalah tidak boleh mengenakan perhiasan. Masyarakat Kampung Adat Kuta memercayai bahwa para leluhurnya dulu hidup dengan penuh kesederhanaan. Hidup berpasrah kepada Yang Mahakuasa dan menerima apapun dengan rasa syukur. Para leluhur meninggalkan semua hal-hal yang berkaitan dengan keduniawian, karena dunia bukanlah tujuan hidup.
Pantangan Mengenakan Seragam Dinas
Selain larangan memakai alas kaki, pamali lain yang tidak boleh dilakukan ketika memasuki Leuweung Kramat adalah mengenakan seragam dinas. Ini masih ada kaitannya dengan larangan mengenakan alas kaki. Sebab, seragam dinas menunjukkan status sosial seseorang.
Pantangan Berbicara Kasar
Pantangan berbicara kasar menjadi tradisi pamali di hampir berbagai tradisi, terutama di tempat-tempat gunung, hutan, dan sebagainya. Ini ada kaitannya dengan ajaran mengenai sopan santun. Selain itu, Leuweung Kramat dipercaya sebagai tempat suci, sehingga saat memasukinya seseorang dilarang untuk berbicara yang tidak pantas atau tidak baik, apalagi sampai menentang penjaga Leuweung Kramat.
Demikian contoh pamali yang masih diyakini oleh masyarakat Kampung Adat Kuta di Karangpaningal, Kec. Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Beberapa pantangan dan larangan ketika memasuki Leuweung Kramat memiliki sejumlah maksud, terutama dalam hal pendidikan.
Ini tentu hanya sebagian kecil dari contoh tradisi pamali yang ada di Nusantara. Masih ada banyak lagi tradisi pamali di tempat lain yang masih dipercaya hingga kini. Beberapa di antaranya sudah dipelajari dan diketahui maksud dari pantangan tersebut, beberapa lainnya masih belum dipahami mengapa sesuatu menjadi pantangan atau larangan. Namun, penting untuk diketahui bahwa tradisi pamali ini tidak dianggap sebagai mitos yang tak masuk akal belaka, melainkan dicari nilai-nilai di balik pantangan tersebut.