Liputan6.com, Yogyakarta - Keterlibatan politikus Indonesia dalam jaringan judi online atau judol di Kamboja, Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Andreas Budi Widyanta menganggap pemerintah telah gagal memberantas judol. Menurutnya ada alasan kenapa di tengah lesunya ekonomi tanah air judol terus berkembang pesat. “Sejak era teknologi digital ini masuk, judi online ini bagian dari tantangannya. Sebuah sistem yang dibuat dengan gamifikasi, sehingga memunculkan rasa senang dan kenikmatan sehingga orang akan terus bermain,” ujar Widyanta, Selasa (22/4/2025).
Widyanta mengatakan bahwa banyak orang belum sadar jika menang dalam judi online bukan berhubungan dengan keberuntungan namun masuk dalam sistem yang memunculkan rasa kecanduan itu. Pada akhirnya, sistem tersebut sudah didesain untuk memberikan untung bagi korporasi. "Ditambah kemudahan akses dan simplifikasi pada sistem judol juga menjadi faktor terbesar seseorang terjerat di dalamnya."
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Ekosistem digital menurutnya sangat mendukung aksesibilitas judi online, seperti tautan mobile banking atau layanan top-up dan juga pinjaman online. Sistem digital memungkinkan layanan-layanan tersebut saling terhubung sehingga korban dapat menyalurkan uang hanya dengan beberapa kali sentuhan di layar gawai. “Lingkaran setan itu saling terhubung, korban jadi sulit punya kontrol atas hawa nafsu dan kecanduan mereka,” terang Widyanta.
Menanggapi isu keterlibatan politikus Indonesia dalam jaringan judol, Widyanta mengakui bukan rahasia lagi jika siapapun bisa terlibat dalam sistem judi online ini. Menurutnya judi online menyasar tanpa pandang bulu dan dapat terjerat dalam sistem sebagai korban maupun pelaku. “Tidak aneh juga jika pejabat publik terlibat atau ada afiliasi partai politik tertentu. Ini menunjukkan bahwa negara tidak tunggal, pejabat sendiri bisa ambil bagian,” papar Widyanta.
Widyanta menyebut pemerintah tidak menunjukkan komitmen kuat pemberantasan judi online dan belum ada instrumen hukum dan lembaga yang kuat untuk menangani judi online. Secara kapasitas, kompetensi dan pengetahuan pemerintah dipandang belum mampu menghadapi tantangan perkembangan teknologi digital. “Saya bisa katakan, negara tidak hadir dalam hal melindungi hak-hak kewarganegaraan. Terlebih soal perlindungan data pribadi, upaya pemerintah sangat kurang. Kita jadi negara yang tidak siap,” tegasnya.
Tetapi menurutnya masih ada beberapa langkah yang dapat dialkukan pemerintah, Pertama, pentingnya meningkatkan kesadaran mengenai teknologi digital (digital awareness) agar terhindar dari judi online. Kedua, pemerintah perlu menegaskan regulasi terhadap ruang digital, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan data pribadi. Ketiga, upaya penegakkan hukum yang perlu diperbaiki tidak hanya masalah judol. Sebab hukum yang lemah akan menghambat berbagai upaya membasmi korupsi, nepotisme, dan masalah lainnya. “Lagi-lagi seringkali kita melihat hukum selalu runcing ke bawah. Banyak kasus menunjukkan pelemahan terhadap instrumen dan lembaga hukum,” ujar Widyanta.