Liputan6.com, Jakarta Gaya bernyanyi lagu daerah masyarakat Sunda dan Cianjur adalah mamaos atau mamanca. Sebagian masyarakat Sunda dan Cianjur sudah familiar dengan istilah tersebut, namun bagi sebagian orang mamaos adalah istilah yang asing.
Gaya bernyanyi lagu daerah masyarakat Sunda dan Cianjur adalah mamaos yang telah dikenal jauh sebelum Indonesia merdeka. Sejarah terbentuknya mamaos terjadi pada tahun 1834 hingga 1864.
Advertisement
Baca Juga
Meski telah ada sejak dahulu, namun kesenian ini masih dilestarikan hingga sekarang dan menjadi ikonik masyarakat Sunda dan Cianjur. Gaya bernyanyi lagu daerah masyarakat Sunda dan Cianjur adalah mamaos juga sering disebut dengan tembang Cianjuran.
Agar lebih paham, berikut Liputan6.com ulas mengenai gaya bernyanyi lagu daerah masyarakat Sunda dan Cianjur adalah mamaos dan sejarahnya yang telah dirangkum dari berbagai sumber, Senin (3/4/2023).
1. Gaya Bernyanyi Lagu Daerah Masyarakat Sunda dan Cianjur Adalah Mamaos
Gaya bernyanyi lagu daerah masyarakat Sunda dan Cianjur adalah mamaos merupakan sebuah seni tradisi yang menggambungkan permainan kecapi dengan pembacaan kisah-kisah adiluhung. Gaya bernyanyi lagu daerah masyarakat Sunda dan Cianjur adalah mamaos juga sering disebut dengan tembang Cianjuran, di mana seni vokal Sunda yang dipadu dengan iringan alat musik kacapi indung, kacapi rincik, suling, dan rebab.
Awalnya, gaya bernyanyi lagu daerah masyarakat Sunda dan Cianjur adalah mamaos dinyanyikan oleh laki-laki. Namun seiring waktu, wanita juga menyanyikannya. Hal ini dibuktikan dengan munculnya juru bahasa mamaos perempuan yang cukup dikenal di kalangan masyarakat Sunda dan Cianjur.Â
Definisi lain, gaya bernyanyi lagu daerah masyarakat Sunda dan Cianjur adalah mamaos yang memiliki makna seni budaya yang menggambarkan kehalusan budi dan rasa menjadi perekat persaudaraan dan kekeluargaan dalam tata pergaulan hidup sehari-hari. Pada umumnya syair mamaos ini lebih banyak mengungkapkan puji-pujian akan kebesaran tuhan dengan segala hasil ciptaan-Nya.
Advertisement
2. Sejarah Mamaos
Dikutip dari laman Warisan Budaya Kemdikbud, menjelaskan tentang awal mula seni mamaos terbentuk yakni sejak 1761 seiring masa kepemimpinan R.A.A Wiratanudatar. Adapun seni ini sebetulnya baru berkembang di Cianjur sejak 1834. Seni tradisi itu diwariskan oleh Dalem Pancaniti atau RAA Kusumaningrat, Bupati Cianjur saat itu.
Bupati dijuluki dengan panggilan Kangjeng Pancaniti, karena Bupati Kusumaningrat dalam membuat lagu sering bertempat di sebuah bangunan bernama Pancaniti. Kusumaningrat merupakan seorang yang sangat peduli terhadap mamaos cianjuran. Dengan bantuan saudara-saudaranya, ia mengantar mamaos cianjuran mencapai kejayaannya. Ketika itu, yang menjadi juru pantunnya adalah Aen. Tahun 1862 Dalem Pancaniti wafat dan digantikan oleh anaknya yang bernama Aom Alibasah yang sering disebut juga Dalem Marhum. Ketika itu mamaos cianjuran diolah oleh tiga orang, yaitu: R. Djajawiredja, Aong Djalalahiman, dan R. Etje Maadjid.Â
Pada mulanya mamaos dinyanyikan oleh kaum pria. Baru pada perempat pertama abad ke-20 mamaos bisa dipelajari oleh kaum wanita. Hal ituTerbukti dengan munculnya para juru mamaos wanita, seperti Rd. Siti Sarah, Rd. Anah Ruhanah, Ibu Imong, Ibu O’oh, Ibu Resna, dan Nyi Mas Saodah.
Adapun bahan mamaos berasal dari berbagai seni suara Sunda, seperti pantun, beluk (mamaca), degung, serta tembang macapat Jawa, yaitu pupuh. Lagu-lagu mamaos yang diambil dari vokal seni pantun dinamakan lagu pantun atau papantunan, atau disebut pula lagu Pajajaran, diambil dari nama keraton Sunda pada masa lampau. Sedangkan lagu-lagu yang berasal dari bahan pupuh disebut tembang.
Pada masa awal penciptaannya, Cianjuran merupakan revitalisasi dari seni Pantun. Kacapi dan teknik memainkannya masih jelas dari seni Pantun. Begitu pula lagu-lagunya hampir semuanya dari sajian seni Pantun. Rumpaka lagunya pun mengambil dari cerita Pantun Mundinglaya Dikusumah.
Pada masa pemerintahan bupati RAA. Prawiradiredja II (1864 hingga 1910) kesenian mamaos mulai menyebar ke daerah lain. Rd. Etje Madjid Natawiredja (1853 sampai 1928) adalah di antara tokoh mamaos yang berperan dalam penyebaran ini. Dia sering diundang untuk mengajarkan mamaos ke kabupaten-kabupaten di Priangan, di antaranya oleh bupati Bandung RAA. Martanagara (1893 sampai 1918) dan RAA. Wiranatakoesoemah (1920 sampai 1931Â &Â 1935 sampai 1942). Ketika mamaos menyebar ke daerah lain dan lagu-lagu yang menggunakan pola pupuh telah banyak, maka masyarakat di luar Cianjur (dan beberapa perkumpulan di Cianjur) menyebut mamaos dengan nama tembang Sunda atau Cianjuran, karena kesenian ini khas dan berasal dari Cianjur.Â
3. Komponen dalam Mamaos
Dikutip dari buku Gaya Petikan Kacapi Tembang (2018) karya J. Julia, menjelaskan tentang komponen yang harus ada dalam mamaos yakni vokal dengan pirigan atau instrumen. Oleh sebab itu, aspek-aspek yang terdapat dalam mamaos akan selalu berkaitan dengan dua komponen tersebut, antara lain vokal yang dinyanyikan oleh penembang, dan instrumen yang dimainkan oleh para pengiring yang terdiri dari instrumen suling atau rebab, kacapi ricik, dan kacapi indung. Berikut penjelasannya:
a. Vokal
Lagu-lagu mamaos tergolong jenis lagu polymetra schematica, artinya satu suku kata mengandung lebih dari satu nada. Jenis iramanya, secara keseluruhan lagu dalam mamaos terbagi ke dalam dua jenis irama. Pertama, sekar irama merdika (bebas) yang terdiri dari wanda papantunan, jejemplangan, dedegungan, rarancagan, dan kakawen. Kedua, sekar irama tandak yang hanya terdiri dari uanda panambih.
Dalam sekar irama merdika. penembang memiliki kebebasan (dengan batas-batas tertentu) dalam menentukan dan mengatur tempo lagu (adlibitum) sesuai dengan seleranya, terutama dalam menyanyikan ornamen-omamennya. Sedangkan dalam sekar irama tandak, penembang terikat dengan aturan-aturan kerukan dan wiletan lagu. Sehingga tidak dapat mengatur tempo seenaknya, apalagi keluar dari aturan wiletan. Terkecuali bagi sebagian lagu panambih yang di dalamnya terdapat bagian sekar irama merdika.
b. Instrumen
Komponen lainnya yang terdapat dalam mamaos adalah seperangkat waditra (instrumen) pengiring. Ada beberapa waditra yang digunakan, diantaranya suling atau rebab, kacapi rincik, dan kacapi indung. Dalam penyajiannya, kacapi indung dan suling dimainkan pada semua wanda, sedangkan kacapi rincik hanya dimainkan pada wanda panambih. Begitu juga dengan rebab, hanya dimainkan pada wanda rarancagan dan panambih, itu pun hanya digunakan pada laras salendro saja. Agar dapat dikatakan sebagai penyajian mamaos, maka seluruh komponen tersebut (kacapi indung, kacapi rincik, suling atau rebab, dan sekar), harus lengkap semuanya. Terkecuali untuk penyajian instrumentalia Cianjuran, karena hanya menggunakan kacapi indung, kacapi rincik, dan suling, tanpa menggunakan sekar.
Advertisement