Liputan6.com, Jakarta Nasab adalah kerabat atau keturunan. Nasab berasal dari bahasa Arab al-nasb yang artinya menghubungkan kekerabatan, keturunan atau menyebutkan keturunan. Bila al-nasb dibentuk menjadi kalimat tanaasub artinya ikatan, hubungan, kesamaan, atau kesetaraan.
Sementara, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, nasab adalah keturunan terutama keturunan dari pihak bapak. Namun bukan hanya keturunan, ternyata nasab juga bisa digunakan untuk hubungan darah horizontal seperti paman, bibi, saudara sekandung, dan lain sebagainya.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Istilah nasab memiliki peranan penting terutama jika menyangkut beberapa hal. Kata nasab sendiri biasanya digunakan untuk mengurus hak waris, perwalian, dan lain sebagainya yang menyangkut hukum dalam islam.
Untuk lebih rinci, berikut ini ulasan mengenai definisi nasab menurut para ahli beserta sistem penentu dan hukumnya dalam Islam yang telah dirangkum oleh Liputan6.com dari berbagai sumber, Rabu (12/1/2022).
Definisi Nasab Menurut Para Ulama
Terdapat sejumlah ulama yang berpendapat mengenai definisi nasab, antara lain:
Ibnu Aby Taghlib
Menyatakan nasab adalah "al-ittishal baina insanain bi al-isytirak fi wiladatin qariibatin au ba 'idatin" artinya hubungan keterikatan antara dua orang dengan persamaan dalam kelahiran, dekat maupun jauh.
Wahbah al- Zuhaili
Mendefinisikan nasab adalah suatu sandaran yang kokoh untuk meletakkan suatu hubungan kekeluargaan berdasarkan kesatuan darah atau pertimbangan bahwa yang satu adalah bagian dari yang lain. Misalnya seorang anak adalah bagian dari ayahnya, dan seorang ayah bagian dari kakeknya. Dengan demikian orang-orang yang serumpun nasab adalah orang-orang yang satu pertalian darah.
Ibnu Athiyah
Menyatakan bahwa nasab adalah "an yajma'a insan ma'a akhar fi abin au ummin qaraba dzalik am ba' uda" artinya seorang manusia berkumpul bersama yang lain dalam hubungan kebapaan atau keibuan, baik hubungan itu dekat maupun jauh.
Advertisement
Sistem Penentuan Nasab
Ada beberapa cara dalam menentukan nasab. Berikut sistem penentuan nasab adalah:
1. Sistem Bilateral atau Parental
Sistem yang pertama adalah sistem bilateral atau parental. Maksunya adalah keturunan yang menganggap keturunan berasal dari hubungan kekerabatan kedua pihak orang tua baik ayah maupun ibu.
2. Sistem Patrilineal
Sistem partilineal adalah sistem yang menyebutkan bahwa keturunan didapat dari hubungan kekeluargaan melalui pihak ayah atau laki-laki saja. Dalam sistem ini keturunan hanya dianggap atau dilihat dari kerabat atau keluarga ayahnya saja.
3. Sistem Matrilineal
Sistem matrilineal yaitu sistem keturunan yang memperhitungkan hubungan kekeluargaan melalui pihak ibu atau perempuan saja.
4. Sistem Bilineal
Sistem bilineal atau yang dikenal dengan dubbel-unilateral, yaitu sistem yang memperhatikan hubungan kekerabatan atau kekeluargaan melalui pihak ayah atau laki-laki saja untuk beberapa hal dan demikian juga dengan keturunan pihak perempuan yang hanya berlaku untujk beberapa hal tertentu.
Berdasarkan sistem tersebut, menurut pendapat ulama, agama Islam yang mengacu pada Alquran dan Sunnah menganut sistem bilateral atau parental. Sedangkan Ulama Fiqih berpendapat bahwa nasab dalam agama Islam cenderung menganut sistem patrilineal.
Hukum Nasab dalam Agama Islam
Nasab dalam hukum Islam memiliki kualitas yang sangat penting, karena dengan adanya nasab secara filosofi antara anggota keluarga besar memiliki keterkaitan dan keterikatan yang sangat kuat dan menjadi pondasi utama untuk terbentuknya suatu kelompok manusia yang kokoh, setiap anggota kelompok terikat dan terkait dengan anggota yang lainnya.
Hukum Islam melarang seorang ayah mengingkari nasab anak-anaknya, demikian pula seorang ibu diharamkan menghubungkan nasab anak bukan pada ayah yang sebenarnya. Demikian pula hukum Islam mengharamkan menghubungkan nasab anak kepada ayah angkatnya. Hal ini berdasarkan hadits:
“Perempuan mana pun yang menasabkan seorang anak kepada kaum yang bukan dari kaum tersebut, maka ia tidak mendapat apa-apa (rahmat) dari sisi Allah. Dan Dia tidak akan memasukkan perempuan itu ke dalam surga-Nya."
"Begitu pula laki-laki mana pun yang mengingkari anaknya, sedangkan dia melihat kepadanya, maka Allah akan menghalangi diri darinya dan Dia justru akan membuka aibnya di hadapan seluruh makhluk, baik generasi awal maupun generasi akhir,” (HR Abu Dawud).
Advertisement
Hak Waris
Seperti yang sudah disebutkan di atas, ketika membicarakan nasab, maka biasanya juga akan membahas mengenai hak waris dan juga perwalian. Dalam Islam mengatur, jika pihak istri meninggal dan tidak memiliki anak dalam pernikahan, maka suami mendapat bagian setengah dari harta warisnya.
Sementara itu, jika sang istri yang meninggal dan memiliki anak, maka suami juga mendapat seperempat dari harta warisnya. Apabila suami meninggal dan tidak memiliki anak, maka istri mendapat bagian seperempat dari harta waris.
Sementara itu, bila suami yang meninggal dan memiliki anak, maka si istri mendapat seperdelapan dari harta waris Pembagian hak waris ini diketahui berdasarkan ayat:
“Bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah dibayar utangnya."
"Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu,” (Surat An-Nisa’ ayat 12).