Jelaskan Perbedaan Antara Imam dan Makmum, Simak Penjelasannya

Imam memiliki tanggung jawab sebagai pemimpin dalam pelaksanaan ibadah berjamaah, sedangkan makmum mengikuti imam dalam pelaksanaan ibadah berjamaah.

oleh Silvia Estefina Subitmele diperbarui 28 Jun 2023, 13:50 WIB
Diterbitkan 28 Jun 2023, 13:50 WIB
Ilustrasi muslim salat, duha
Ilustrasi muslim salat, duha. (Foto oleh Alena Darmel: https://www.pexels.com/id-id/foto/pria-orang-dalam-ruangan-muslim-8164381/)

Liputan6.com, Jakarta Jelaskan perbedaan antara imam dan makmum? Imam dan makmum adalah dua istilah yang digunakan dalam konteks keagamaan, terutama dalam agama Islam. Imam adalah orang yang memimpin salat atau ibadah berjamaah, serta bertindak sebagai pemimpin dalam pelaksanaan ibadah dan memberikan arahan kepada jamaah.

Jelaskan perbedaan antara imam dan makmum? Perlu dipahami, bahwa tugas utama imam adalah memimpin seluruh proses ibadah, termasuk mengatur gerakan, bacaan, dan rukun-rukun salat. Imam ditempatkan di barisan terdepan, dan seluruh jamaah mengikuti gerakannya. Dalam beberapa konteks, seperti dalam salat Jumat, imam juga memberikan khutbah (ceramah) kepada jamaah setelah salat.

Jelaskan perbedaan antara imam dan makmum? Setelah mengetahui tugas imam, maka makmum adalah individu yang mengikuti imam dalam salat atau ibadah berjamaah. Makmum berada di barisan belakang imam, dan mengikuti gerakan dan bacaan imam dengan seksama.

Peran makmum adalah untuk mendengarkan arahan imam, mengikuti gerakan-gerakan salat, dan merespons bacaan-bacaan yang dibacakan oleh imam. Berikut ini perbedaan antara imam dan makmum yang Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Rabu (28/6/2023). 

Dalil Perbedaan Niat Imam dan Makmum

[Fimela] salat
ilustrasi salat | pexels.com/@baybiyik

1. Imam Salat Sunnah, Makmum Salat Wajib

Pendapat Imam Asy-Syafi’i dan para ulama madzhab Syafi’iyyah, salah satu riwayat Imam Ahmad, dan juga pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah, dan juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahumullah. 

Di antara dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

كَانَ مُعَاذٌ، يُصَلِّي مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ يَأْتِي فَيَؤُمُّ قَوْمَهُ، فَصَلَّى لَيْلَةً مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْعِشَاءَ ثُمَّ أَتَى قَوْمَهُ فَأَمَّهُمْ

“Mu’adz salat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dia pulang, lalu mengimami kaumnya. Dia melakukan salat isya’ pada malam tersebut bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian mendatangi kaumnya, lalu mengimami mereka.” (HR. Bukhari no. 668 dan Muslim no. 465)

Dalam hadits di atas, sahabat Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu salat isya’ bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau pulang menuju kampungnya dan menjadi imam salat isya’ di kampungnya. Karena sudah salat isya’ bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, status salat sahabat Mu’adz ketika menjadi imam adalah salat sunnah. Sedangkan kaumnya niat salat isya’.

2. Imam salat Wajib, Makmum salat Sunnah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

صَلِّ الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا، فَإِنْ أَدْرَكَتْكَ الصَّلَاةُ مَعَهُمْ فَصَلِّ، وَلَا تَقُلْ إِنِّي قَدْ صَلَّيْتُ فَلَا أُصَلِّي

“Tunaikanlah salat tepat pada waktunya. Jika kamu mendapati salat bersama mereka, maka salatlah (bersama mereka). Janganlah kamu katakan, “Maaf, aku telah melakukan salat, maka aku tak akan salat lagi.” (HR. Muslim no. 648)

An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

“Dalam hadits ini (terdapat dalil bahwa) tidak mengapa mengulang salat shubuh, ashar, dan maghrib sebagaimana salat-salat lainnya. Hal ini karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menambahkan keterangan ketika memerintahkan mengulang salat dan tidak membedakan antara salat yang satu dengan salat yang lainnya. Inilah pendapat yang shahih dalam madzhab kami (madzhab Asy-Syafi’i).” (Syarh Shahih Muslim, 5: 154)

Hal ini juga dikuatkan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Yazid bin Aswad radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

“Aku pernah berhaji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu aku salat subuh bersamanya di masjid Al-Khaif. Ketika beliau selesai melakasanakan salat subuh dan berpaling, tiba-tiba ada dua orang laki-laki dari kaum lain yang tidak ikut salat berjamaah bersama beliau. Maka beliau pun bersabda,

عَلَيَّ بِهِمَا

“Bawalah dua orang itu kemari!” 

Maka mereka pun dibawa ke hadapan Nabi dalam kondisi urat mereka bergetar. Beliau bersabda, 

مَا مَنَعَكُمَا أَنْ تُصَلِّيَا مَعَنَا

“Apa yang menghalangi kalian untuk salat bersama kami?” 

Mereka menjawab, “Wahai Rasulullah, kami telah salat (subuh) di tempat kami.” 

Beliau bersabda, 

فَلَا تَفْعَلَا، إِذَا صَلَّيْتُمَا فِي رِحَالِكُمَا ثُمَّ أَتَيْتُمَا مَسْجِدَ جَمَاعَةٍ فَصَلِّيَا مَعَهُمْ، فَإِنَّهَا لَكُمَا نَافِلَةٌ

“Janganlah kalian lakukan. Jika kalian telah melaksanakannya di tempat kalian, lalu kalian datang ke masjid yang melaksanakan salat berjamaah, maka salatlah bersama mereka, karena hal itu akan menjadi pahala sunnah bagi kalian berdua.” (HR. Abu Dawud no. 575, Tirmidzi no. 219, dan lain-lain, hadits shahih)

 

 

 

Posisi Salat Berjamaah Antara Imam dan Makmum

ilustrasi salat
ilustrasi salat (sumber: freepik)

Penentuan posisi salat berjamaah ini berkaitan dengan aturan dan adab, yang harus ditepati umat muslim saat beribadah. Aturan teknis ibadah menduduki posisi penting di mata Nabi. Beliau pula yang langsung melaksanakan dan mencontohkannya. Terdapat pemahaman yang salah jika ada orang yang dengan seenaknya sendiri, menjalankan agama dalam tatanan teknis seperti penentuan posisi salat berjamaah.

Urusan teknis ibadah tidak bisa dikelabui dengan kalimat "yang penting hatinya". Hal penting dalam ibadah ini mencakup aturan posisi sholat berjamaah antara imam dan makmum. Berdasarkan informasi yang dilansir dari muslim.nu.or.id, penjelasan mengenai hal tersebut terdapat dalam sebuah hadis riwayat Ibnu Abbas radliyallahu anhuma. Sepupu Nabi ini mengisahkan:

"Saya pernah menginap di rumah bibi saya Maimunah. Rasulullah SAW berdiri melaksanakan salat. Saya berdiri di sebelah kiri beliau. Kemudian Nabi mengubah posisiku ke arah sisi kanan beliau."

Menurut Imam Nawawi, sunnahnya memang di kanan imam, tapi tidak sejajar dan agak mundur sedikit:

"Sunnahnya makmum yang hanya satu saja itu berdiri di samping kanan imam. Baik makmumnya laki-laki dewasa atau anak kecil. Para pengikut mazhab Syafi'i mengatakan, disunnahkan bagi makmum untuk mundur sedikit saja dari posisi berdirinya imam (tidak sejajar)."

Namun jika makmum datang terlambat sedangkan ia malah berdiri di samping kiri atau di belakang imam, posisi salat berjamaah baginya disunnahkan untuk pindah ke posisi kanan imam walaupun sudah dalam keadaan salat. Meski begitu, makmum tetap harus menjaga dari gerakan-gerakan yang dapat membatalkan sholat. Namun, saat makmum tidak memindahkan sendiri posisinya, imam disunnahkan untuk memindahkan posisi makmumnya. Hal ini sesuai hadisnya Ibnu Abbas.

"Apabila makmum bersikukuh di samping kiri atau di belakang imam, hukumnya makruh tapi salatnya tetap sah menurut kesepakatan ulama." (Imam Nawawi, Al-Majmu', [Darul Fikr], juz 4, halaman 291)

 

Syarat Menjadi Imam Sholat Berjamaah

Ilustrasi muslim, salat
Ilustrasi muslim, salat. (Photo by Bimbingan Islam on Unsplash)

1. Beragama Islam

Syarat menjadi imam salat berjamaah yang paling utama tentunya beragama Islam. Hal ini dijelaskan Imam Syafi'I dalam kitab al-Muhtaaj yang berbunyi:

"Jika diketahui dengan jelas bahwa seorang imam itu kafir atau dari jenis perempuan, maka wajib untuk mengulang salatnya."

2. Berakal Sehat

Syarat menjadi imam selanjutnya yaitu harus berakal sehat. Hal ini berarti imam salat tidak gila, mabuk, ataupun memiliki gangguan kejiwaan.

3. Baligh

Syarat menjadi imam berikutnya adalah baligh. Baligh artinya seseorang yang sudah dewasa. Maka dari itu, seorang anak kecil belum bisa menjadi imam salat.

4. Laki-laki

Syarat menjadi imam salat jemaah diutamakan seorang laki-laki. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW, yang artinya:

Janganlah seorang wanita menjadi imam buat laki-laki.” (HR. Ibnu Majah)

Sementara itu,  perempuan diperbolehkan menjadi imam hanya untuk jemaah perempuan lainnya. Bila mengimami makmum laki- laki, hukumnya tidak boleh.

5. Suci dari Hadas

Hendaknya seorang imam memastikan tidak terkena hadas besar ataupun hadas kecil saat melaksanakan salat berjamaah. Syarat menjadi imam satu ini penting juga untuk diperhatikan.

6. Memahami Bacaan Salat

Syarat menjadi imam salat berjamaah berikutnya adalah memahami bacaan salat. Bacaan salat, bacaan Al-Quran, dan rukun salat amat penting dipahami oleh imam agar menyempurnakan pahala ibadah salat berjamaah.

Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW yang berbunyi:

"Yang (berhak) menjadi imam (suatu) kaum, ialah yang paling pandai membaca Kitabullah. Jika mereka dalam bacaan sama, maka yang lebih mengetahui tentang sunnah. Jika mereka dalam sunnah sama, maka yang lebih dahulu hijrah. Jika mereka dalam hijrah sama, maka yang lebih dahulu masuk Islam (dalam riwayat lain: umur). Dan janganlah seseorang menjadi imam terhadap yang lain di tempat kekuasaannya (dalam riwayat lain: di rumahnya). Dan janganlah duduk di tempat duduknya, kecuali seizinnya."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya