Liputan6.com, Jakarta - Puasa Syawal adalah puasa sunnah yang dilakukan selama enam hari setelah Idul Fitri. Menurut Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI), puasa Syawal boleh dilakukan tidak berturut-turut, sesuai dengan mayoritas pandangan ulama.
Pendapat Kemenag RI ini didasarkan pada prinsip keleluasaan dalam menjalankan ibadah sunah, asalkan tetap dalam bulan Syawal dan tidak bertentangan dengan syariat Islam. Meskipun demikian, meski puasa Syawal boleh dilakukan tidak berturut-turut, sangat diutamakan untuk menunaikannya secara berurutan.
Hal tersebut sejalan dengan anjuran yang ditegaskan dalam hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa siapa pun yang berpuasa enam hari pada bulan Syawal setelah puasa Ramadhan akan mendapatkan pahala sebesar berpuasa satu tahun penuh.
Advertisement
“Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadan dan berpuasa enam hari sesudah berbuka (Idulfitri), maka puasanya sesempurna satu tahun. Siapa saja yang berbuat kebaikan, akan dilipatgandakan sepuluh kali lipat.” (HR. Ibnu Majah)
Berikut Liputan6.com ulas penjelasan lengkap tentang puasa Syawal boleh tidak berturut-turut, Rabu (17/4/2024).
Puasa Syawal Boleh Tidak Berturut-turut Menurut Kemenag RI
Puasa Syawal, yang merupakan puasa enam hari setelah Idul Fitri, seringkali menjadi topik perdebatan di kalangan umat Islam. Mayoritas ulama sepakat bahwa puasa ini tidak harus dilaksanakan secara berturut-turut. Meskipun idealnya dilakukan selama enam hari berturut-turut, puasa Syawal dapat dilakukan secara selang-seling dan tak berurut.
Hal ini sejalan dengan prinsip keleluasaan dalam menjalankan ibadah sunah, asalkan tetap dalam bulan Syawal dan tidak bertentangan dengan syariat Islam.
Menurut Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI), pendapat ulama tentang puasa Syawal yang dapat dilakukan secara tidak berurutan menjadi pembenaran bagi umat Islam yang memiliki kesulitan untuk berpuasa secara berturut-turut. Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa puasa Syawal tetap merupakan anjuran yang sangat ditekankan oleh Nabi Muhammad SAW, sebagaimana yang tercantum dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh” (HR. Muslim).
Puasa Syawal tidak hanya menjadi tradisi yang diwariskan oleh Nabi kepada umatnya, tetapi juga memiliki nilai ibadah yang sangat besar di sisi Allah SWT sebagaimana dikutip dari buku berjudul "Ternyata Shalat & Puasa Sunah Dapat Mempercepat Kesuksesan" oleh Ceceng Salamudin.
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah SAW menyatakan bahwa siapa pun yang melanjutkan puasanya dengan berpuasa enam hari pada bulan Syawal setelah puasa Ramadhan akan mendapatkan pahala sebesar berpuasa satu tahun penuh. Hal ini menunjukkan kebesaran pahala yang diberikan Allah SWT kepada hamba-Nya yang tekun dalam menjalankan ibadah puasa, termasuk puasa Syawal yang dapat dilakukan tidak berturut-turut.
Kesimpulannya, puasa Syawal boleh tidak berturut-turut sepanjang masih dalam bulan Syawal, sesuai dengan pemahaman mayoritas ulama. Hal ini memberikan kemudahan bagi umat Islam yang memiliki kesulitan dalam menjalankan puasa secara berturut-turut namun tetap dapat meraih pahala yang besar dari Allah SWT.
Advertisement
Pelaksanaan Puasa Syawal Menurut Imam 4 Mazhab
Pandangan empat Imam Mazhab tentang pelaksanaan puasa Syawal memberikan pandangan yang beragam, terutama terkait dengan kaitannya dengan puasa qadha Ramadhan.
Menurut Mazhab Hanafi
Menurut mazhab Hanafi, yang mendasarkan pandangannya pada fardu ghairu mu'ayyan, menyelesaikan qadha puasa Ramadhan lebih diutamakan sebelum memulai puasa Syawal. Hal ini disebabkan karena status qadha puasa yang tidak memiliki waktu tertentu menurut buku "Saleha Is Me #2" yang dikompilasi oleh Muslimah Talk. Bila demikian, meskipun puasa Syawal sangat dianjurkan, menyelesaikan kewajiban puasa qadha Ramadhan menjadi prioritas.
Menurut Mazhab Hambali
Di sisi lain, mazhab Al-Hanabilah atau Hambali memiliki pandangan yang lebih ketat terkait dengan pelaksanaan puasa Syawal. Mereka mengharamkan puasa Syawal sebelum menyelesaikan puasa qadha Ramadhan. Pandangan ini didasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa puasa sunnah tidak sah jika seseorang masih memiliki hutang puasa Ramadhan yang belum diselesaikan.
Namun, beberapa ulama masih mempertanyakan kekuatan hadis tersebut seperti yang dikutip dalam buku "Panduan Puasa bersama Quraish Shihab" yang diterbitkan oleh Republika.
Menurut Mazhab Maliki dan Syafii
Sementara itu, mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'yah memiliki pandangan yang lebih toleran terkait dengan pelaksanaan puasa Syawal. Meskipun masih memiliki hutang puasa Ramadhan, mereka membolehkan pelaksanaan puasa Syawal dengan catatan diiringi dengan karahah atau kurang afdal.
Keduanya lebih menekankan pentingnya membayar utang puasa Ramadhan yang merupakan kewajiban, namun tidak melarang seseorang yang ingin mendahulukan puasa Syawal. Pendapat ini mencerminkan pemahaman mereka terhadap pentingnya menjalankan kewajiban tetapi juga memberikan ruang bagi umat untuk mendapatkan keberkahan dengan melaksanakan puasa sunnah seperti puasa Syawal.
Pandangan Imam Mazhab tentang pelaksanaan puasa Syawal mencerminkan variasi pendapat dalam hal kewajiban puasa qadha Ramadhan dan anjuran puasa sunnah Syawal.
Dari Hanafi yang menekankan prioritas menyelesaikan qadha puasa, Al-Hanabilah yang mengharamkan puasa Syawal sebelumnya, hingga Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'yah yang lebih toleran dengan tetap mengingatkan pentingnya melaksanakan kewajiban sekaligus memberikan ruang bagi umat Islam untuk mendapatkan keberkahan dengan melaksanakan puasa sunnah.