Fakta Pembakaran al-Quran di Swedia hingga 2024, Mengapa Polisi Memberi Izin?

Kepolisian Swedia hanya dapat menolak izin demonstrasi atas dasar keamanan, aksi pembakaran al-Qur'an dinilai aman terkendali.

oleh Laudia Tysara diperbarui 28 Agu 2024, 12:10 WIB
Diterbitkan 28 Agu 2024, 12:10 WIB
Salwan Sabah Matti Momika, pelaku pembakaran Al-Qur'an di Swedia, Rabu (28/6/2023) lalu. (Foto: The Free Press Journal via NU Online)
Salwan Sabah Matti Momika, pelaku pembakaran Al-Qur'an di Swedia, Rabu (28/6/2023) lalu. (Foto: The Free Press Journal via NU Online)

Liputan6.com, Jakarta - Pembakaran al-Quran di Swedia kembali menjadi sorotan dunia internasional hingga tahun 2024. Aksi kontroversial ini telah mendapat izin dari kepolisian Swedia untuk dilaksanakan di Malmo menjelang Kontes Lagu Eurovision 2024.

Peristiwa ini menambah daftar panjang insiden serupa yang telah terjadi di negara Skandinavia tersebut dalam beberapa tahun terakhir, memicu kemarahan dan protes dari berbagai negara Muslim di seluruh dunia. 

Pembakaran al-Quran di Swedia dapat terjadi karena negara tersebut memiliki undang-undang yang sangat melindungi kebebasan berekspresi. Melansir dari CNN International, Professor Marten Schutlz dari Universitas Stockholm menyatakan, "Perlindungan Swedia, di bawah konstitusi Swedia, untuk kebebasan berekspresi, adalah perlindungan terkuat di dunia, bahkan lebih dari amandemen pertama di Amerika Serikat."

Kepolisian Swedia hanya dapat menolak izin demonstrasi atas dasar keamanan, bukan pertimbangan politik yang lebih luas.

Fakta yang paling mencengangkan tentang pembakaran al-Quran di Swedia adalah dampak diplomatik yang ditimbulkannya. Beberapa negara Muslim telah mengambil langkah tegas, mulai dari pemanggilan duta besar hingga seruan boikot produk Swedia.

Melansir dari International Quran News Agency (IQNA), Yaman telah mengumumkan boikot produk Swedia, sementara Iran menyerukan tindakan serupa. Bahkan Arab Saudi, sebagai patron negara Muslim di Timur Tengah, telah meminta Kopenhagen untuk segera menghentikan aksi yang memicu kebencian antar agama.

Berikut Liputan6.com ulas lengkapnya, Rabu (28/8/2024).

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Insiden Terbaru di Malmo

Protes Pembakaran Al-Quran, Ratusan Warga Turki Datangi Konsulat Swedia di Istanbul
Orang-orang meneriakkan slogan-slogan saat protes di luar konsulat Swedia di Istanbul, Turki, Minggu (22/1/2023). Pembakaran Al-Qur'an dilakukan seorang politisi bernama Rasmus Paludan. (AP/Khalil Hamra)

Pembakaran al-Quran di Swedia kembali menjadi sorotan dengan adanya izin untuk aksi demonstrasi di Malmo menjelang Kontes Lagu Eurovision 2024. Melansir dari International Quran News Agency (IQNA), polisi Swedia telah memberikan izin untuk demo yang melibatkan pembakaran Al-Qur'an di kota tersebut.

Aksi ini  berlangsung pada awal Mei 2024, bertepatan dengan persiapan acara Eurovision. Keputusan ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya ketegangan dan protes, terutama mengingat sensitivitas isu tersebut bagi komunitas Muslim.

Selain itu, pihak penyelenggara Eurovision juga mengambil langkah kontroversial dengan mengumumkan akan menyingkirkan seluruh simbol pro-Palestina, termasuk bendera Palestina, pada pertunjukan yang akan diselenggarakan. Hal ini semakin memperumit situasi dan berpotensi memicu protes lebih lanjut.

Fakta ini menunjukkan bahwa pembakaran al-Quran di Swedia bukan hanya isu domestik, tetapi juga berdampak pada event internasional yang diselenggarakan di negara tersebut.

Pelaku Utama dan Motif Mereka

Salah satu pelaku utama dalam serangkaian pembakaran al-Quran di Swedia adalah Salwan Momika, seorang imigran asal Irak. Melansir dari DW, Momika, yang berusia 37 tahun dan mengaku beragama Kristen, telah melakukan beberapa aksi pembakaran dan penodaan kitab suci Islam di Swedia.

Momika menggambarkan dirinya sebagai seorang liberal ateis dan mengklaim bahwa aksinya bertujuan untuk mengingatkan masyarakat Swedia tentang "bahaya" yang ada dalam Al-Quran. Dalam sebuah aksi di luar masjid Stockholm pada Juni 2023, Momika menyatakan melalui pengeras suara, "Saya memperingatkan rakyat Swedia tentang bahaya buku ini. Mereka membunuh orang Kristen dan mengambil harta mereka; mereka membunuh ateis karena ajaran Al-Quran."

Selain Momika, tokoh lain yang terkenal melakukan pembakaran al-Quran di Swedia adalah Rasmus Paludan, seorang politisi konservatif berkebangsaan Denmark-Swedia. Paludan telah beberapa kali melakukan aksi serupa, termasuk pada Januari 2023.

Motif di balik aksi-aksi ini beragam, mulai dari pandangan anti-Muslim hingga klaim untuk menegakkan kebebasan berekspresi. Namun, tindakan mereka telah memicu perdebatan serius tentang batas-batas kebebasan berekspresi dan penghormatan terhadap keyakinan agama.

 


Respons Pemerintah Swedia

Pemerintah Swedia telah menemukan dirinya dalam posisi yang sulit, terjepit antara komitmen terhadap kebebasan berekspresi dan tekanan internasional untuk menghentikan aksi-aksi yang dianggap menistakan agama. Melansir dari New York Times, Perdana Menteri Swedia, Ulf Kristersson, menyatakan bahwa situasi keamanan di negara tersebut berada pada tingkat paling serius sejak Perang Dunia II.

Kristersson mengatakan, "Kami berada dalam situasi kebijakan keamanan paling serius sejak Perang Dunia Kedua." Pernyataan ini mencerminkan keseriusan dampak dari pembakaran al-Quran di Swedia terhadap keamanan nasional dan hubungan internasional negara tersebut.

Pemerintah Swedia telah mengumumkan bahwa mereka sedang menganalisis situasi hukum terkait penodaan Al-Quran dan kitab suci lainnya. Mereka mencari cara untuk membatasi tindakan semacam itu tanpa melanggar prinsip-prinsip kebebasan berekspresi yang dijunjung tinggi di negara tersebut.

Namun, upaya pemerintah untuk membatasi aksi-aksi semacam ini sering kali terhambat oleh kerangka hukum yang ada. Pengadilan Swedia telah beberapa kali membatalkan upaya polisi untuk menolak izin demonstrasi yang melibatkan pembakaran al-Quran, dengan alasan bahwa tindakan tersebut dilindungi oleh hukum kebebasan berekspresi.

Dampak Diplomatik

Pembakaran al-Quran di Swedia telah menimbulkan dampak diplomatik yang signifikan. Melansir dari berbagai sumber, beberapa negara Muslim telah mengambil langkah-langkah tegas sebagai respons terhadap insiden-insiden tersebut.

Yaman, misalnya, telah mengumumkan boikot terhadap produk-produk Swedia. Menteri Perindustrian dan Perdagangan Yaman, Muhammad Sharif al-Mutahar, mengumumkan kebijakan ini sebagai bentuk protes terhadap aksi-aksi yang dianggap menista Islam.

Iran juga telah menyerukan boikot serupa. Sekretaris Dewan Tertinggi Koordinasi Ekonomi Iran, Mohsen Rezaei, mengeluarkan seruan ini pada Juli 2023, menunjukkan solidaritas dengan negara-negara Muslim lainnya dalam mengecam pembakaran al-Quran di Swedia.

Beberapa negara juga telah memanggil duta besar Swedia untuk memberikan penjelasan terkait insiden-insiden tersebut. Bahkan Arab Saudi, yang dianggap sebagai patron negara-negara Muslim di Timur Tengah, telah meminta Swedia untuk segera menghentikan aksi-aksi yang memicu kebencian antar agama.

 


Perdebatan Kebebasan Berekspresi

Aksi Bela Alquran
Umat Islam melakukan demonstrasi yang bertajuk 'Aksi Bela Alquran' di depan Kedutaan Besar (Kedubes) Swedia di Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (30/1/2023). Dalam aksinya massa memprotes aksi Politikus Swedia-Denmark Rasmus Paludan yang membakar Kitab Suci Al-Qur'an. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Pembakaran al-Quran di Swedia telah memicu perdebatan serius tentang batas-batas kebebasan berekspresi. Melansir dari CNN International, Professor Marten Schutlz dari Universitas Stockholm menyatakan, "Perlindungan Swedia, di bawah konstitusi Swedia, untuk kebebasan berekspresi, adalah perlindungan terkuat di dunia, bahkan lebih dari amandemen pertama di Amerika Serikat."

Undang-undang Swedia memang memberikan perlindungan yang sangat kuat terhadap kebebasan berekspresi. Polisi hanya dapat menolak izin demonstrasi atas dasar keamanan, bukan pertimbangan politik yang lebih luas. Hal ini membuat otoritas Swedia sulit untuk mencegah aksi-aksi seperti pembakaran al-Quran, meskipun mereka menyadari dampak negatifnya.

Namun, banyak pihak mulai mempertanyakan apakah perlindungan kebebasan berekspresi yang terlalu luas ini justru kontraproduktif. Beberapa argumen menyatakan bahwa tindakan seperti pembakaran al-Quran tidak lagi merupakan ekspresi politik yang sah, melainkan provokasi yang sengaja dilakukan untuk menyulut kebencian.

Perdebatan ini telah mendorong pemerintah Swedia untuk mempertimbangkan perubahan hukum yang dapat membatasi tindakan-tindakan yang dianggap menistakan agama, sambil tetap menjaga prinsip kebebasan berekspresi.

Reaksi Masyarakat Internasional

Pembakaran al-Quran di Swedia telah memicu reaksi keras dari masyarakat internasional, terutama dari negara-negara Muslim. Melansir dari berbagai sumber, protes dan demonstrasi telah terjadi di berbagai negara sebagai bentuk kecaman terhadap aksi-aksi tersebut.

Di Irak, ratusan demonstran menyerbu Kedutaan Besar Swedia di Baghdad pada Juli 2023, membakar sebagian gedung sebagai bentuk protes. Pemerintah Irak juga mengambil langkah diplomatik dengan mengusir Duta Besar Swedia dan menarik Duta Besar mereka dari Stockholm.

Organisasi Kerjasama Islam (OKI), yang mewakili 57 negara, telah mengadakan pertemuan khusus untuk membahas insiden pembakaran al-Quran di Swedia dan Denmark. Pertemuan ini menunjukkan betapa seriusnya isu ini dipandang oleh komunitas Muslim internasional.

Reaksi internasional ini tidak hanya terbatas pada negara-negara Muslim. Beberapa negara Barat juga telah mengekspresikan keprihatinan mereka, meskipun dengan hati-hati menyeimbangkan antara mengkritik tindakan pembakaran al-Quran dan mendukung prinsip kebebasan berekspresi.

Upaya Pencegahan dan Mitigasi

Menghadapi tekanan internasional dan kekhawatiran akan dampak jangka panjang, pemerintah Swedia dan Denmark telah mulai mempertimbangkan langkah-langkah untuk mencegah dan memitigasi insiden-insiden serupa di masa depan. Melansir dari berbagai sumber, beberapa upaya telah dilakukan atau sedang dipertimbangkan.

Swedia telah mengumumkan pada 2023 bahwa mereka sedang mempertimbangkan langkah hukum yang memungkinkan polisi menolak izin unjuk rasa atas dasar keamanan nasional. Namun, hingga saat ini, belum ada langkah praktis yang diambil oleh otoritas Swedia.

Di sisi lain, Denmark telah mengambil langkah lebih tegas. Pada Desember 2023, Denmark memberlakukan undang-undang yang mengkriminalisasi pembakaran salinan Al-Quran di tempat umum. Langkah ini menunjukkan pergeseran kebijakan yang signifikan dalam upaya menyeimbangkan kebebasan berekspresi dengan keamanan nasional dan hubungan internasional.

 

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya