Liputan6.com, Jakarta Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki keunikan yang membedakannya dari provinsi lain di Indonesia. Salah satu keistimewaan yang paling mencolok adalah sistem penetapan gubernur dan wakil gubernurnya yang tidak melalui pemilihan kepala daerah (Pilkada) seperti daerah lain. Hal ini sering memunculkan pertanyaan: mengapa Yogya tidak ada Pilkada gubernur?
Status istimewa yang melekat pada DIY bukan sekadar pemberian, melainkan hasil dari proses sejarah yang panjang dan peran penting Yogyakarta dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Keistimewaan ini diatur secara resmi melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Advertisement
Berbeda dengan daerah lain yang melaksanakan Pilkada, jabatan Gubernur DIY secara otomatis dijabat oleh Sultan Hamengku Buwono yang bertahta, sementara posisi Wakil Gubernur dipegang oleh Adipati Paku Alam yang bertahta. Sistem ini merupakan bentuk penghormatan terhadap sejarah dan peran Kesultanan Yogyakarta serta Kadipaten Pakualaman dalam pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Advertisement
Untuk memahami hal ini lebih dalam, simak penjelasan selengkapnya berikut ini sebagaimana telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Kamis (28/11/2024).
Sejarah Keistimewaan DIY
Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki akar sejarah yang dalam dan tidak terpisahkan dari perjuangan kemerdekaan Indonesia. Status istimewa yang melekat pada DIY merupakan hasil dari rangkaian peristiwa bersejarah dan peran vital Yogyakarta dalam mempertahankan serta mengisi kemerdekaan Republik Indonesia yang baru lahir. Keistimewaan DIY inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa Yogya tidak ada Pilkada Gubernur.
Momen krusial dalam sejarah keistimewaan DIY terjadi segera setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 5 September 1945, Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paku Alam VIII mengeluarkan maklumat bersejarah yang menyatakan bergabungnya Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maklumat ini kemudian dikukuhkan dengan Piagam Kedudukan Presiden Republik Indonesia pada tanggal 6 September 1945, yang secara resmi menetapkan status Yogyakarta sebagai daerah istimewa dalam NKRI.
Keputusan bergabung dengan NKRI ini memberikan dampak yang sangat signifikan bagi Indonesia yang baru merdeka. Yogyakarta tidak hanya menyumbangkan wilayah dan penduduk yang nyata bagi negara yang baru lahir, tetapi juga menjadi benteng terakhir perjuangan kemerdekaan. Saat Jakarta jatuh ke tangan Belanda, Yogyakarta dengan gagah berani menjadi ibukota Republik Indonesia dan pusat pemerintahan dari tahun 1946 hingga 1949.
Peran Yogyakarta tidak berhenti pada masa revolusi fisik saja. Di bawah kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII, Yogyakarta menjadi contoh bagaimana nilai-nilai tradisional dapat berjalan selaras dengan modernitas. Kedua pemimpin ini berhasil mentransformasikan sistem monarki tradisional menjadi bagian integral dari sistem pemerintahan modern Indonesia, sambil tetap mempertahankan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal yang berharga.
Komitmen Kasultanan dan Kadipaten dalam mempertahankan NKRI terus berlanjut hingga saat ini. Melalui berbagai tantangan dan perubahan zaman, Yogyakarta tetap menjadi pilar penting dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Sultan Hamengku Buwono X dan Adipati Paku Alam X, sebagai penerus tahta, tetap berpegang pada komitmen para pendahulu mereka untuk mengabdi kepada bangsa dan negara melalui pelestarian nilai-nilai keistimewaan DIY.
Sejarah keistimewaan DIY ini menjadi fondasi kuat yang mendasari mengapa Yogyakarta memiliki sistem pemerintahan yang berbeda dari daerah lain di Indonesia, termasuk dalam hal penetapan gubernur dan wakil gubernurnya. Pengakuan dan penghormatan terhadap sejarah ini kemudian dikukuhkan secara legal melalui UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY, yang menjamin kelestarian sistem yang telah terbukti mampu menjaga stabilitas dan kemajuan daerah istimewa ini.
Advertisement
Dasar Hukum Keistimewaan DIY
Keistimewaan DIY tidak hanya didasarkan pada sejarah dan tradisi, tetapi juga memiliki landasan hukum yang kuat dalam sistem perundang-undangan Indonesia. Pengaturan tentang keistimewaan ini telah mengalami evolusi sejak masa kemerdekaan hingga akhirnya mencapai bentuk yang komprehensif dalam peraturan yang berlaku saat ini. Fondasi hukum ini menjadi penting untuk memastikan keberlanjutan dan kepastian hukum status istimewa Yogyakarta dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dasar konstitusional keistimewaan DIY terletak pada Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 yang secara eksplisit menyatakan pengakuan dan penghormatan negara terhadap daerah-daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Pengakuan konstitusional ini kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai produk hukum yang lebih operasional, dimulai dengan UU No. 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Perkembangan signifikan dalam pengaturan keistimewaan DIY terjadi dengan disahkannya UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Undang-undang ini menjadi tonggak penting karena mengatur secara komprehensif lima kewenangan istimewa DIY yang meliputi tata cara pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, kelembagaan pemerintah daerah, kebudayaan, pertanahan, dan tata ruang. Pengaturan ini jauh lebih lengkap dibandingkan undang-undang sebelumnya yang lebih berfokus pada aspek administratif.
Dalam hal tata cara pengisian jabatan, undang-undang ini secara tegas mengatur bahwa Gubernur DIY adalah Sultan Hamengku Buwono yang bertakhta dan Wakil Gubernur adalah Adipati Paku Alam yang bertakhta. Ketentuan ini menegaskan keunikan sistem pemerintahan DIY yang memadukan unsur tradisional dengan modern. Proses penetapan pun diatur secara detail, mulai dari persyaratan, mekanisme penetapan oleh DPRD, hingga pengesahan oleh Presiden.
Aspek kelembagaan mendapat perhatian khusus dalam undang-undang ini, memungkinkan DIY membentuk dan mengembangkan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan dan kekhasan daerah. Sementara itu, kewenangan di bidang kebudayaan memberikan landasan kuat bagi DIY untuk melestarikan dan mengembangkan warisan budayanya yang kaya.
Pengaturan tentang pertanahan menjadi salah satu poin penting, terutama terkait status dan pengelolaan tanah Kasultanan (Sultanaat Grond) dan tanah Kadipaten (Pakualaman Grond). Undang-undang ini memberikan pengakuan formal terhadap eksistensi tanah-tanah tersebut sekaligus mengatur pemanfaatannya untuk kepentingan publik. Dalam hal tata ruang, DIY diberi kewenangan untuk mengatur penataan ruang dengan memperhatikan nilai-nilai budaya dan kelestarian kawasan bersejarah.
Sebagai implementasi UU No. 13 Tahun 2012, DIY memiliki kewenangan untuk menerbitkan Peraturan Daerah Istimewa (Perdais) yang mengatur lebih detail tentang pelaksanaan kewenangan istimewa. Perdais menjadi instrumen hukum yang memungkinkan DIY mengatur urusan keistimewaannya secara lebih operasional dan sesuai dengan kondisi lokal.
Kerangka hukum yang komprehensif ini tidak hanya menjamin kelestarian keistimewaan DIY tetapi juga memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini memungkinkan DIY untuk terus berkembang dengan tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional yang menjadi jati dirinya, sambil beradaptasi dengan tuntutan modernitas dan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Pengaturan yang jelas ini juga menjadi jawaban atas pertanyaan mengapa Yogya tidak ada Pilkada gubernur, karena sudah diatur secara khusus dalam undang-undang yang memiliki legitimasi kuat dalam sistem hukum Indonesia.
Alasan Yogya Tidak Mengadakan Pilkada Gubernur
Ketiadaan Pilkada gubernur di Yogyakarta sering menimbulkan pertanyaan di kalangan masyarakat, terutama mengingat Indonesia adalah negara demokratis yang mengedepankan pemilihan langsung dalam memilih pemimpinnya. Namun, sistem penetapan gubernur di DIY memiliki landasan historis, yuridis, dan filosofis yang kuat, yang membedakannya dari provinsi lain di Indonesia.
Alasan pertama mengapa Yogya tidak mengadakan Pilkada gubernur adalah sebagai bentuk pengakuan atas hak asal-usul. Sistem penetapan ini merupakan penghormatan negara terhadap peran historis Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman dalam pembentukan NKRI. Ketika Indonesia baru merdeka, kedua institusi ini memberikan dukungan penuh dengan menyatakan bergabung ke dalam NKRI melalui Maklumat 5 September 1945. Keputusan ini memberikan legitimasi nyata bagi Indonesia yang baru merdeka, dengan menyediakan wilayah dan penduduk yang jelas.
Pelestarian nilai budaya menjadi alasan kedua yang mendasari sistem ini. Yogyakarta memiliki warisan budaya yang kaya dan nilai-nilai luhur yang telah mengakar dalam masyarakat. Sultan dan Adipati Paku Alam tidak hanya berperan sebagai pemimpin administratif, tetapi juga sebagai pemangku adat dan penjaga budaya. Sistem penetapan gubernur ini memungkinkan kesinambungan kepemimpinan yang menjamin terpeliharanya nilai-nilai budaya tersebut sambil tetap menjalankan fungsi pemerintahan modern.
Efektivitas pemerintahan merupakan alasan ketiga yang memperkuat sistem ini. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa model kepemimpinan di DIY telah terbukti efektif dalam menjaga stabilitas sosial dan memajukan kesejahteraan masyarakat. Sultan dan Adipati Paku Alam, dengan peran gandanya sebagai pemimpin adat dan kepala pemerintahan, mampu menjembatani aspek tradisional dan modern dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Sistem ini juga mendukung efisiensi anggaran dan menghindari potensi konflik politik yang sering muncul dalam Pilkada. Tanpa perlu mengeluarkan dana besar untuk penyelenggaraan Pilkada, DIY dapat mengalokasikan anggarannya untuk program-program pembangunan yang lebih bermanfaat bagi masyarakat. Selain itu, stabilitas politik yang tercipta memungkinkan pemerintah daerah untuk lebih fokus pada pelayanan publik dan pembangunan daerah.
Yang tidak kalah penting, sistem ini telah mendapat legitimasi hukum yang kuat melalui UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY. Undang-undang ini menjadi payung hukum yang memastikan bahwa sistem penetapan gubernur di DIY sejalan dengan prinsip negara hukum dan demokrasi dalam konteks NKRI. Meskipun tidak melalui pemilihan langsung, proses penetapan tetap melibatkan unsur demokratis melalui peran DPRD DIY dan pengesahan oleh Presiden.
Keputusan untuk tidak mengadakan Pilkada gubernur di DIY merupakan bentuk kebijakan yang bijaksana dalam konteks keberagaman Indonesia. Ini menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia dapat berjalan selaras dengan nilai-nilai lokal dan kekhasan daerah, tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik. Model ini bahkan bisa menjadi contoh bagaimana tradisi dan modernitas dapat berjalan beriringan dalam sistem pemerintahan Indonesia yang beragam.
Advertisement
Implikasi dan Tantangan
Status keistimewaan DIY dengan sistem penetapan gubernurnya membawa berbagai implikasi dan tantangan dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan modern. Meski sistem ini telah terbukti efektif dalam menjaga stabilitas dan kemajuan daerah, tetap ada aspek-aspek yang perlu terus dievaluasi dan disesuaikan dengan perkembangan zaman.
Dalam aspek demokrasi, sistem penetapan gubernur di DIY sering mengundang diskusi tentang prinsip-prinsip demokrasi modern. Meskipun tidak melalui pemilihan langsung, sistem ini tetap memiliki elemen demokratis melalui pengawasan DPRD dan mekanisme pertanggungjawaban kepada rakyat. Sultan dan Adipati Paku Alam yang menjabat sebagai gubernur dan wakil gubernur tetap harus menjalankan pemerintahan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance, termasuk transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik.
Tantangan modernisasi juga menjadi aspek yang perlu diperhatikan. Yogyakarta terus berkembang sebagai kota pendidikan, budaya, dan pariwisata yang modern. Pemerintah DIY dituntut untuk dapat menyeimbangkan pelestarian nilai-nilai tradisional dengan kebutuhan pembangunan modern. Hal ini mencakup pengembangan infrastruktur, penataan kota, dan peningkatan pelayanan publik yang harus sejalan dengan nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi.
Aspek sosial-ekonomi membawa tantangan tersendiri. Kesenjangan ekonomi dan tekanan urbanisasi perlu ditangani dengan kebijakan yang tepat. Pemerintah DIY harus mampu menciptakan kebijakan yang memastikan kesejahteraan merata bagi seluruh lapisan masyarakat, sambil tetap menjaga kelestarian lingkungan dan warisan budaya.
Dalam konteks birokrasi, terdapat tantangan untuk mengintegrasikan sistem administrasi tradisional dengan tuntutan birokrasi modern. Struktur pemerintahan DIY harus mampu mengakomodasi unsur-unsur keistimewaan sambil tetap menjalankan fungsi pelayanan publik yang efisien dan profesional. Ini termasuk pengembangan sumber daya manusia yang memahami baik nilai-nilai tradisional maupun kompetensi modern.
Tantangan lain muncul dalam hal regenerasi kepemimpinan. Sistem suksesi yang bergantung pada garis keturunan membutuhkan persiapan yang matang untuk memastikan calon pemimpin memiliki kapasitas yang memadai dalam menjalankan pemerintahan modern. Hal ini mencakup pendidikan, pengalaman, dan pemahaman yang mendalam tentang tata kelola pemerintahan kontemporer.
Keberadaan media sosial dan teknologi informasi juga membawa tantangan baru. Pemerintah DIY harus mampu beradaptasi dengan era digital, termasuk dalam hal transparansi, komunikasi publik, dan pelayanan berbasis teknologi. Ini harus dilakukan tanpa mengorbankan nilai-nilai tradisional yang menjadi ciri khas DIY.
Di tengah berbagai tantangan tersebut, sistem keistimewaan DIY tetap menunjukkan ketahanannya. Keberhasilan dalam mengelola berbagai tantangan ini akan sangat bergantung pada kemampuan adaptasi dan inovasi dalam menyelaraskan nilai-nilai tradisional dengan tuntutan modernitas. Yang terpenting, sistem ini harus terus berkembang untuk memastikan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah, sambil tetap mempertahankan identitas kulturalnya yang unik.
Pada akhirnya, keberhasilan DIY dalam menghadapi berbagai tantangan ini akan menjadi model penting bagaimana nilai-nilai tradisional dapat dipertahankan dan bahkan memperkuat tata kelola pemerintahan modern. Pengalaman DIY dapat menjadi pembelajaran berharga bagi daerah lain dalam mengelola keragaman dan kekhasan daerah dalam bingkai NKRI.
Keistimewaan DIY dengan sistem penetapan gubernurnya merupakan contoh bagaimana nilai-nilai tradisional dapat berjalan selaras dengan sistem pemerintahan modern dalam bingkai NKRI. Hal ini membuktikan bahwa keberagaman dalam sistem pemerintahan dapat memperkaya dan memperkuat persatuan Indonesia.