Terbiasa Bertahan di Segala Situasi, Millennial Rentan Alami Burnout

Mentalitas "terus bertahan" ini menjadi bagian dari identitas millennial, seolah-olah menunjukkan bahwa kekuatan seseorang diukur dari seberapa lama mereka mampu bertahan dan mengatasi tekanan hidup tanpa mengeluh.

oleh Fitriyani Puspa Samodra diperbarui 02 Jan 2025, 20:00 WIB
Diterbitkan 02 Jan 2025, 20:00 WIB
Ilustrasi burnout
Ilustrasi burnout. (Photo by Anna Tarazevich from Pexels)

Liputan6.com, Jakarta Generasi milenial seringkali dipandang sebagai kelompok yang memiliki ketangguhan luar biasa. Sejak kecil, mereka dibesarkan dengan ajaran untuk tidak mudah menyerah meskipun menghadapi tantangan besar. Baik itu dalam menyelesaikan tugas sekolah yang berat, mengejar karir yang penuh persaingan, atau bahkan dalam menjalani hubungan pribadi yang rumit, mereka diajarkan untuk selalu bangkit dan melanjutkan perjalanan meskipun menghadapi kesulitan. 

Mentalitas "terus bertahan" ini menjadi bagian dari identitas mereka, seolah-olah menunjukkan bahwa kekuatan seseorang diukur dari seberapa lama mereka mampu bertahan dan mengatasi tekanan hidup tanpa mengeluh. Namun, tanpa disadari, ajaran tentang ketangguhan yang selalu menuntut mereka untuk terus bergerak dan tidak menyerah ini bisa menjadi pedang bermata dua. 

Di satu sisi, milenial berhasil mengatasi berbagai tantangan hidup dengan kekuatan mental yang besar, tetapi di sisi lain, mereka juga seringkali terjebak dalam siklus kelelahan yang tak berujung. Mentalitas "terus bertahan" yang seharusnya menginspirasi justru membuat mereka cenderung mengabaikan kebutuhan untuk beristirahat atau memberi waktu bagi diri mereka sendiri. Berikut ulasan lebih lanjut tentang kebiasaan milenial bertahan di segala situasi yang jadi alasan banyak milenial alami burnout, dirangkum Liputan6.com dari laman yourtango.com, Kamis (2/1/2024).

Pelajaran Ketangguhan yang Justru Jadi Beban

Burnout saat bekerja.
Ilustrasi burnout saat kerja. (Foto:Unsplash)

Saat kecil, banyak milenial yang memiliki kenangan tentang bagaimana mereka harus melanjutkan aktivitas meskipun merasa sakit atau lelah. Contohnya, ketika jatuh dari sepeda, meskipun luka cukup parah, mereka tetap dipaksa untuk melanjutkan perjalanan. Pelajaran ini diajarkan oleh orang tua mereka agar mereka menjadi pribadi yang tangguh dan tidak mudah menyerah.

Namun, pelajaran ketangguhan ini justru seringkali menambah beban bagi generasi milenial. Mereka tumbuh dalam ketidakpastian ekonomi, misalnya dengan adanya krisis ekonomi pada awal 90-an yang dirasakan oleh orang tua mereka, dan krisis keuangan global 2008 yang datang saat mereka baru saja menyelesaikan pendidikan. Ditambah dengan beban utang pendidikan yang harus dibayar setelah kuliah, situasi semakin sulit. Mereka diajarkan untuk bekerja keras, tidak mengeluh, dan terus maju, tetapi tanpa dukungan yang memadai.

Banyak milenial yang kemudian terjebak dalam rutinitas bekerja keras tanpa memberikan ruang bagi diri mereka untuk beristirahat atau pulih. Mereka sering bekerja dua pekerjaan untuk membayar utang pendidikan atau menjalankan usaha sampingan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sayangnya, mentalitas "terus bertahan" ini tidak memberi kesempatan bagi mereka untuk berhenti sejenak dan merawat kesehatan fisik maupun mental.

Terjebak pada Ketidak Seimbangan Hidup

burnout capek depresi kesehatan mental
ilustrasi perempuan lelah bekerja/Photo by Karolina Kaboompics/Pexels

Tanpa adanya keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, tanpa waktu istirahat yang cukup, dan tanpa dukungan finansial yang stabil, ketangguhan malah menjadi sumber kelelahan. Banyak milenial merasa bahwa mereka harus terus menghadapi stres dan tekanan tanpa mengakui bahwa mereka sudah berada di titik kelelahan.

Masalahnya, mereka tidak pernah diajarkan bagaimana cara untuk melambatkan ritme hidup atau menetapkan batasan. Padahal, ketangguhan sejati bukan hanya soal kemampuan untuk bertahan, tetapi juga tentang mengetahui kapan harus berhenti. Ketangguhan juga harus disertai dengan dukungan, baik itu waktu untuk istirahat, pemulihan, dan menjaga kesehatan mental.

Saat ini, milenial berada di persimpangan jalan. Mereka bisa terus berjalan di jalan yang sama, terus mengorbankan diri demi ketangguhan, atau mereka bisa mulai mendefinisikan ulang arti dari kekuatan itu. Mereka perlu menyadari bahwa istirahat bukanlah tanda kegagalan, melainkan bagian penting dari proses menjaga kesehatan.

Milenial berhak untuk memberi batasan pada diri mereka. Mereka perlu menjadwalkan waktu istirahat setiap minggu, bahkan jika hanya setengah jam, untuk merawat diri mereka sendiri. Ketangguhan sejati bukanlah tentang seberapa lama mereka bisa bertahan, tetapi tentang kebijaksanaan untuk tahu kapan mereka harus berhenti dan merawat diri.

Dengan menghargai keseimbangan hidup yang juga memberi ruang untuk istirahat, milenial bisa menjaga kesehatan fisik dan mental mereka. Burnout bukanlah tanda dari keberhasilan, dan ketangguhan bukan berarti harus terus menderita. Ketangguhan yang sejati datang dari kemampuan untuk menjaga diri dan tahu kapan waktunya untuk berhenti.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya