Mahasiswa UIN Jogja Penggugat Presidential Threshold Blak-blakan soal Perjuangan hingga Uang Jajan

Kisah inspiratif tiga mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang berhasil mengubah sejarah demokrasi Indonesia. Dari perjuangan mengajukan judicial review hingga kehidupan pribadi mereka yang penuh liku.

oleh Mabruri Pudyas Salim diperbarui 11 Jan 2025, 16:05 WIB
Diterbitkan 11 Jan 2025, 16:04 WIB
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Faisal Nasirul Haq, Tsalis Khoirul Fatna, dan Rizki Maulana Syafei (dari kiri ke kanan)
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Faisal Nasirul Haq, Tsalis Khoirul Fatna, dan Rizki Maulana Syafei (dari kiri ke kanan)./Liputan6.com/Titis Widyatmoko

Liputan6.com, Jakarta Stereotipe negatif tentang gen Z yang dianggap lembek dan mudah menyerah sirna ketika kami bertemu dengan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Selasa (7/1/2025). Kami bertemu dan berbincang di salah satu ruang di Gedung Fakultas Syari’ah dan Hukum, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. 

Akhir-akhir ini, empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tengah jadi perbincangan hangat. Mereka berhasil mengubah wajah demokrasi Indonesia melalui gugatan presidential threshold yang dikabulkan Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka adalah Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, Tsalis Khoirul Fatna, dan Enika Maya Oktavia. Kami bertemu dengan tiga di antaranya. Hanya Enika Maya Oktavia yang tidak dapat bergabung karena beberapa hal.

Dalam perjalanannya, keberhasilan mereka bukan sekadar kebetulan. Selama hampir setahun, mereka berjuang mengawal permohonan judicial review yang diajukan ke MK. Tanpa pendampingan pengacara, mereka menyusun argumen hukum dengan bantuan rekan-rekan dari Komunitas Pemerhati Konstitusi (KPK), organisasi kampus yang mempertemukan mereka.

Perjalanan mereka dimulai dari keberhasilan menjuarai debat nasional yang diselenggarakan Bawaslu pada 2023. Dari kajian yang mereka lakukan untuk persiapan debat, mereka menemukan celah untuk menguji aturan presidential threshold yang selama ini dianggap "keramat" karena selalu ditolak MK. Sekarang, setelah putusan bersejarah itu, mereka membuka diri berbagi kisah tentang perjuangan mereka. Bukan hanya soal hukum dan konstitusi, tapi juga kehidupan pribadi mereka sebagai mahasiswa biasa dengan mimpi besar mengubah Indonesia.

 

Gemetar dan Bahagia: Momen Putusan MK

Momen pembacaan putusan MK pada Kamis, 2 Januari 2025, menjadi titik balik dalam hidup empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga ini. Di hari bersejarah itu, mereka berada di tempat berbeda. Faisal berada di Jawa Timur bersama keluarga besar, Tsalis bersama Enika dalam satu perangkat, sementara Rizki menonton dari kosnya bersama teman-teman.

"Waktu itu saya bersidang dari luar Jogja. Saya mendengar keputusan itu sungguh tidak menyangka. Tidak menyangka saya sampai sini, dan yang kedua sangat tidak menyangka bahwa amar putusan mengabulkan. Saya sangat terkejut dan hanya bisa bersyukur kepada Allah," cerita Faisal dengan nada bergetar, ketika ditemui Selasa (7/1/2025) lalu.

Dari kosnya di Yogyakarta, Rizki mengalami momen yang tak kalah emosional. "Ketika mendengar amar putusan dikabulkan seluruhnya, perasaan pertama saya itu campur aduk. Pertama gemetaran karena ini kan pasal keramat, pasal yang sering diuji dan selalu ditolak sama Mahkamah Konstitusi. Yang membuat saya amat bahagia karena Mahkamah Konstitusi sudah melakukan responsif judicial review, melakukan pergeseran paradigma hukumnya yang awalnya selalu menolak," ungkapnya penuh semangat.

Tsalis, yang menyaksikan sidang bersama Enika, awalnya sempat pesimis. "Di awal-awal tuh juga udah pesimis, ya Allah, mungkin nanti juga nggak dikabulkan, ditolak, karena waktu hakim membacakan pertimbangan, hakim diawal-awal itu memang seperti ada tendensi mau menolak," ceritanya kepada liputan6.com.

Tapi begitu memasuki fase-fase akhir, sudah memasuki waktu amar putusan, tiba-tiba seperti ada harapan, dan ternyata memang benar permohonan mereka dikabulkan. “Padahal saat itu ada 4 putusan yang sama terkait presidential threshold, dan kebetulan dari permohonan kita di permohonan 62 yang dikabulkan," terangnya.

Perjuangan empat mahasiswa UIN ini memang tidak mudah. Selama sebelas bulan mengawal permohonan, MK menyelenggarakan tujuh kali sidang. Dua kali mereka harus hadir secara langsung, sementara sisanya diikuti secara online karena bertepatan dengan masa Kuliah Kerja Nyata (KKN). Bahkan, untuk memperbaiki permohonan, mereka rela begadang setelah seharian melaksanakan program kerja KKN.

"Kami waktu memperbaiki permohonan itu benar-benar di tengah malam, kami tidak tidur. Siangnya masih bersama dengan teman-teman KKN melaksanakan program-program kerja, malamnya setelah kumpul-kumpul dengan warga, baru kita memperbaiki permohonan," kenang Tsalis menggambarkan dedikasi tim ini.

Keputusan ini, bagi mereka, bukan hanya kemenangan pribadi bagi mereka. Seperti yang selalu diingatkan keluarga Rizki, "Ini tuh bukan kemenangan kalian, tapi kemenangan masyarakat Indonesia." Sebuah pengingat yang terus mereka pegang dalam perjuangan mengawal demokrasi Indonesia.

 

Pertemuan di Komunitas Pemerhati Konstitusi

UIN Sunan Kalijaga
Empat mahasiswa UIN Suka Yogyakarta pemohon ke-33 pengajuan Judicial Review Presidential Threshold yang dikabulkan MK. (Kukuh Setyono)

Tak ada yang menyangka sebuah unit kegiatan mahasiswa bernama Komunitas Pemerhati Konstitusi (KPK) akan mempertemukan empat mahasiswa yang kemudian mengukir sejarah demokrasi Indonesia. Tiga dari mereka - Rizki Maulana Syafei, Tsalis Khoirul Fatna, dan Enika Maya Oktavia - adalah mahasiswa Prodi Hukum Tata Negara angkatan 2021, sementara Faisal Nasirul Haq berasal dari Prodi Ilmu Hukum di angkatan yang sama.

"Sebelum ini kita tidak kenal satu sama lain. Kami dipertemukan di komunitas pemerhati konstitusi. Seiring kami sering melakukan diskusi, mengikuti partisipasi dalam debat dan lomba-lomba debat, dan juga lomba-lomba penulisan hukum, kami menjadi saling mengenal satu sama lain, tidak hanya soal individu-individu tapi juga tentang bagaimana bereaksi ke depan," kenang Faisal.

Kebersamaan mereka semakin erat saat mengikuti debat nasional yang diselenggarakan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada 2023. Tema debat saat itu adalah ambang batas pencalonan presiden. Dari sinilah muncul ide untuk mengajukan judicial review.

"Sebetulnya kami dipertemukan di Komunitas Pemerhati Konstitusi, yang di mana pada awalnya emang kami tidak saling mengenal satu sama lain. Cuma karena habit komunitas kami itu sering mengadakan diskusi, sering mengadakan pelatihan debat, pelatihan karya tulis ilmiah, kemudian CMC (Coaching, Mentoring, Counseling), nah di situlah kami mulai mengenal satu sama lain," jelas Rizki.

Meski awalnya pesimis, mereka memutuskan untuk tidak menggunakan pengacara dalam mengajukan permohonan. Sebagai gantinya, mereka mendapat bantuan dari rekan-rekan KPK dalam menyusun dalil permohonan. Keputusan ini menjadi bukti kemandirian sekaligus tekad kuat mereka.

Di KPK, mereka tidak hanya berdiskusi soal hukum dan konstitusi. Kegiatan mereka juga dipenuhi dengan diskusi-diskusi ringan dan kreatif. "Kadang ketika kita berbicara terkait hal-hal diskusi yang terkait isu hukum, isu politik, kadang kita juga membahas tren anak muda seperti misalnya kemarin ada tren berpakaian skena. Kami mencoba di dalam diskusi itu, gimana sih skena mazhab Islam, ataupun skena mazhab salah satu ormas," cerita Rizki sambil tertawa.

Pertemuan mereka di KPK bukan hanya menghasilkan prestasi, tapi juga mengukir sejarah. Dari sebuah UKM kampus, mereka membuktikan bahwa mahasiswa bisa membawa perubahan besar untuk Indonesia, asalkan memiliki tekad kuat dan keberanian untuk melangkah.

 

Mimpi tentang Indonesia yang Lebih Demokratis

Ada 310 Perkara, Mahkamah Konstitusi Gelar Sidang Perdana PHPU Pilkada 2024
Hari ini, Rabu (8/1/2025), Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PHPU Pilkada) 2024. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Keputusan Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan judicial review mereka bukan sekadar kemenangan pribadi. Bagi empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga ini, penghapusan presidential threshold adalah langkah awal menuju Indonesia yang lebih demokratis, di mana rakyat benar-benar menjadi subjek, bukan sekadar objek demokrasi.

"Harapannya tentu nantinya bakal banyak calon presiden dan wakil presiden yang lebih beragam. Kita juga akan mengenal bahwasanya negara Indonesia itu merupakan negara majemuk dari berbagai suku, ras, agama," ungkap Rizki dengan mata berbinar.

Ia pun melanjutkan "Dengan dihapusnya presidential threshold ini tentunya bakal menjadikan sistem pemilu yang lebih inklusif, dan tidak ada lagi beberapa calon yang sudah mempunyai golden ticket gara-gara adanya ambang batas tersebut."

Tsalis menambahkan dengan semangat tentang harapannya akan munculnya kepemimpinan yang lebih representatif. "Yang kita harapkan kan memang ada banyak calon yang beragam. Kalau sekarang mungkin belum ada capres cawapres yang dari perempuan, apalagi yang sekarang juga belum ada capres cawapres yang [perhatian] dengan isu-isu seperti lingkungan, kesetaraan gender," jelasnya.

Mereka juga melihat bahwa penghapusan presidential threshold akan mendorong partai politik untuk lebih fokus pada substansi, bukan sekadar kalkulasi politik. "Nantinya partai politik tidak akan berfokus terhadap hal-hal yang administratif. Justru nanti akan menyiapkan kader-kadernya, karena dalam fungsi partai politik itu ada kaderisasi. Partai politik akan memikirkan bagaimana nanti kadernya bisa menjadi calon yang lebih punya kapabilitas, bisa menjadi aspirasi masyarakat dari berbagai elemen," papar Rizki.

Sementara Faisal menegaskan dengan singkat namun penuh makna. Keputusan MK akan membuka seluas-luasnya bagi putra putri terbaik bangsa untuk lebih aktif berpartisipasi dalam pemilihan presiden dan wakil presiden.

Kekhawatiran akan terlalu banyaknya calon presiden juga mereka jawab dengan tegas. "Justru kalaupun memang banyak itu akan bagus karena dapat merepresentasikan dari kita semua, dari suku-suku di Indonesia, kemudian dari agama-agama di Indonesia, dan juga ras-ras dari Indonesia," jelas Tsalis.

Ia menambahkan bahwa Putusan Mahkamah nomor 62 sudah memberikan rambu-rambu bagaimana DPR atau pembuat undang-undang dalam menghapuskan presidential threshold agar tidak terjadi problematika lain.

Dari ruang-ruang diskusi di kampus UIN Sunan Kalijaga, empat mahasiswa ini telah membuktikan bahwa demokrasi Indonesia masih bisa diperbaiki. Mereka membuktikan bahwa suara mahasiswa, yang merepresentasikan suara rakyat, masih punya kekuatan untuk mengubah sistem demokrasi menjadi lebih baik.

Keseharian Pejuang Konstitusi Muda

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Faisal Nasirul Haq, Tsalis Khoirul Fatna, dan Rizki Maulana Syafei (dari kiri ke kanan)
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Faisal Nasirul Haq, Tsalis Khoirul Fatna, dan Rizki Maulana Syafei (dari kiri ke kanan)./Liputan6.com/Titis Widyatmoko

Di balik prestasi gemilang mereka mengubah wajah demokrasi Indonesia, kehidupan sehari-hari tiga mahasiswa UIN Sunan Kalijaga ini tak jauh berbeda dari mahasiswa pada umumnya. Mereka masih harus membagi waktu antara kuliah, aktivitas organisasi, dan kegiatan pribadi. Yang membedakan mungkin hanya kebiasaan mereka yang selalu menyempatkan waktu untuk diskusi dan membaca.

"Kalau saya pribadi, ketika pulang kuliah itu selalu bertemu dengan teman-teman yang memiliki habit yang sama yaitu habit baca buku, kemudian diskusi di warung-warung kopi. Kalau nggak di warung kopi, ke kampus ke SC (Student Center) tempat UKM-UKM, ketemu sama anak-anak KPK di situ. Kita bedah musik, kemudian kadang kita ikut call paper, buat tulisan-tulisan," cerita Rizki tentang kesehariannya.

Minat baca mereka pun beragam. Faisal yang mengaku hobi membaca sejak kecil. “Buku favoritku selalu berbeda-beda tiap berkembang. Waktu SD atau remaja saya senang baca komik The Adventure of Tintin karena ada investigasinya. Terus berkembang, kemudian saya senang dengan buku-buku yang isinya tentang perjuangan seperti Marx."

Tsalis mengaku lebih menyukai buku fiksi, meski tuntutan kuliah mengharuskannya membaca buku-buku hukum. "Saya itu dari kecil dan sampai sekarang masih suka baca buku Toto Chan, dan sampai sekarang masih belum bosan, nggak tahu kenapa," ungkapnya sambil tersenyum.

Yang menarik, di tengah kesibukan berdiskusi tentang hukum dan konstitusi, mereka juga punya obrolan-obrolan ringan khas anak muda. "Nggak melulu soal ngomongin konstitusi atau undang-undang. Mungkin ya sesekali kita bahas tentang make up, kemudian selebgram yang lagi ngetren.

'Hijab kayak gini bahannya kayaknya bagus deh buat kamu', sekali-sekali gitu juga banyak kok," cerita Tsalis sambil tertawa.

Soal kondisi finansial, mereka juga terbuka. Faisal mendapat uang saku Rp 500 ribu per bulan, sementara Tsalis mendapat Rp 1,5 juta yang harus mencukupi semua kebutuhan dari kos hingga bensin. Yang paling mengharukan adalah kisah Rizki.

"Saya ingin menepis juga dari beberapa netizen yang menganggap kami itu ada sosok backingan. Setelah ayah saya meninggal, saya dirawat oleh keluarga dari ayah saya. Kemudian namanya ekonomi enggak selalu stabil, mengharuskan saya kerja, kuliah sambil kerja dengan membuka kedai dimsum pada waktu semester 3, 4, 5," ungkap Rizki membuka kisahnya.

Meski dengan keterbatasan finansial, semangat mereka untuk belajar dan berkontribusi tidak pernah surut. Bahkan, mereka mampu membuktikan bahwa mahasiswa dengan uang saku pas-pasan bisa membuat perubahan besar untuk Indonesia. Seperti yang dikatakan Rizki, mereka juga sering mengikuti call paper dan lomba-lomba yang bisa menghasilkan uang tambahan untuk mendukung perjuangan mereka.

Kisah keseharian mereka membuktikan bahwa untuk membuat perubahan besar, tidak perlu menunggu mapan atau kaya. Yang dibutuhkan hanyalah tekad kuat, semangat belajar, dan keberanian untuk melangkah, meski dengan kondisi finansial yang terbatas.

 

Keluarga: Antara Kebingungan dan Kebanggaan

Siapa sangka, orang tua dari para pejuang konstitusi muda ini awalnya tidak memahami apa yang diperjuangkan anak-anak mereka. Tidak ada yang berlatar belakang hukum atau politik dalam keluarga mereka. Bahkan, istilah "presidential threshold" terdengar asing di telinga keluarga.

"Untuk keluarga itu pada awal mulanya, sebelum saya jelasin ini kenapa saya dengan teman-teman masuk ke berbagai media, keluarga itu enggak tahu ini permasalahan apa sih kamu sampai segininya," cerita Rizki sambil tersenyum.

Ia melanjutkan "Keluarga tuh ya seneng ngelihat anaknya bisa ada di media, maklumlah orang tua. Kemudian ada kekhawatiran juga, 'ini kasus apa kamu?’ katanya."

Faisal mengalami hal serupa. "Ya kurang lebih sama, dari keluarga memang belum ada yang ambil hukum. Saya orang pertama yang ngambil studi hukum. Ibu saya fokus di fiqih, Ayah di bahasa Arab," jelasnya.

"jadi ketika ketika mendengar, 'Abi, Umi, saya sidang.' Yang saya ingat, 'ada perkara apa, ada kasus apa?' 'Tidak, ini bukan karena saya nakal. Saya dan teman-teman lagi memperjuangkan demokrasi.'"

Tsalis memiliki cerita yang lebih menyentuh tentang dukungan orang tuanya. "Mungkin menurut saya juga, kenapa kita bisa terkabul salah satunya karena doa orang tua. Walaupun orang tua saya tidak ada background apapun di dunia hukum, di dunia politik, bahkan presidential threshold juga tidak tahu apa itu," ungkapnya.

Ia melanjutkan "Sejak sidang pertama sampai sidang terakhir, selalu bilang 'Pak, Bu, Nana mau sidang, kalau mau doanya gini-gini.' Karena orang tua saya backgroundnya Nahdliyin, selalu kalau ada anak-anaknya yang lagi sidang, pasti langsung di-Fatihah-in."

Setelah putusan MK keluar, dukungan keluarga semakin kuat. Rizki bercerita bagaimana intensitas komunikasi dengan keluarganya meningkat. "Biasanya kan dua hari sekali atau tiga hari sekali, sekarang tiap hari di-chat 'gimana kabarnya, gimana keadaannya, sehat? Tetap jaga hati-hati, tetap rendah hati,’ katanya. Terus ini tuh ya bukan kemenangan kalian tapi kemenangan masyarakat Indonesia."

Sekarang, mereka perlahan-lahan menjelaskan kepada keluarga tentang apa yang mereka perjuangkan. "Ya intinya saya coba jelaskan pelan-pelan presidential threshold itu ibu bapak itu merupakan ambang batas, syarat menjadi calon presiden dan wakil presiden. Oh iya Ibu ngerti berarti syarat administratif ya," jelas Rizki tentang caranya membuat keluarga memahami perjuangannya.

Kisah mereka menunjukkan bahwa dukungan keluarga tidak selalu harus dalam bentuk pemahaman teknis tentang apa yang diperjuangkan. Terkadang, doa tulus dan kepercayaan orang tua sudah cukup untuk mendorong anak-anak mereka membuat perubahan besar untuk Indonesia.

 

Tokoh Inspirasi dan Nilai Perjuangan

Aktivis iklim Swedia Greta Thunberg difoto selama demonstrasi pro-Palestina di Denmark
Aktivis iklim Swedia Greta Thunberg difoto selama demonstrasi pro-Palestina di Denmark. (Dok: Emil Nicolai Helms / Ritzau Scanpix / AFP)

Di balik perjuangan konstitusional mereka, tersimpan kisah inspiratif tentang tokoh-tokoh yang mempengaruhi langkah mereka. Menariknya, setiap mahasiswa memiliki sosok inspirasi yang berbeda, mulai dari tokoh nasional hingga aktivis lingkungan internasional.

Bagi Rizki, inspirasi terbesarnya justru datang dari sosok sang ayah yang telah tiada. "Saya ditinggal ayah ketika usia masih belasan. Beliau beberapa kali pernah kuliah mengambil jurusan hukum, kemudian terhenti terputus. Saya disitu sangat kagum, dan menjadi dorongan saya harus masuk hukum, harus bisa mewujudkan cita-cita beliau yang terhenti," ungkapnya dengan nada pelan.

Selain ayahnya, Rizki juga mengagumi beberapa tokoh nasional. "Saya kagum dengan Muhammad Natsir karena dia tokoh yang hebat, kemudian tokoh agamawan. Ada juga Prof. Jimly Asshiddiqie dan Bung Hatta."

Faisal memiliki kekaguman khusus pada sosok hakim Artidjo Alkotsar. "Saya sangat mengagumi beberapa hakim yang cenderung menuangkan pandangan dan analisis tidak hanya dari segi sosiolegal tapi juga ada sisi transendennya dari segi ketuhanan," jelasnya dengan antusias.

Sementara Tsalis membawa perspektif yang berbeda dengan mengidolakan aktivis lingkungan muda asal Swedia. "Saya terinspirasi sama sosok Greta Thunberg karena ia masih muda tapi gigih mengadvokasikan isu-isu tentang lingkungan. Mungkin karena saya tidak ada background tentang hukum lingkungan, ada sedikit ketertarikan, tapi karena kita udah ada di jurusan Hukum Tata Negara jadi mungkin kita lebih punya ilmunya disitu," paparnya.

Perjuangan mereka sendiri diberi label "jihad konstitusi" oleh Dekan Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga. Bagi mereka, ini bukan sekadar istilah. "Jihad itu mempunyai makna yang sangat luas. Jihad itu bisa berbentuk perang menjaga agama Allah, kemudian dengan semangat belajar juga itu salah satu jihad," jelas Rizki. "Mungkin yang dimaksud itu untuk kami sebagai doa, agar kami tetap senantiasa tidak pernah merasa puas dalam belajar."

Ia melanjutkan "Jahadah itu yang artinya sungguh-sungguh. Di manapun atau di bidang apapun jika kita bersungguh-sungguh kemudian itu berdampak baik bagi masyarakat atau bagi sekitar itu ya bisa dinamakan dengan jihad."

Ketika ditanya bagaimana mereka ingin dikenang, jawaban mereka mencerminkan kerendahan hati sekaligus tekad yang kuat. Faisal menjawab singkat namun dalam, "Saya ingin dikenang sebagai pejuang dan juga seorang intelektual yang paripurna."

Sementara Rizki menekankan pentingnya konsistensi, "Saya ingin dikenang sebagai seorang yang konsisten, karena tidak cukup intelektual kalau tidak konsisten di jalan yang benar."

Tsalis menutup perbincangan dengan harapan sederhana namun bermakna, "Kalau dari saya mungkin nggak mau muluk-muluk, yang penting bisa bermanfaat buat sekitar. Karena di banyak tikungan saya masih belum banyak yang melek hukum, mungkin nanti kedepannya saya akan lebih menyuarakan agar teman-teman dan lingkungan sekitar lebih melek hukum dan politik."

 

Harapan untuk Generasi Muda

Di penghujung perbincangan yang berlangsung di ruang Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, ketiga mahasiswa ini berbagi harapan dan pesan untuk generasi muda Indonesia. Bagi mereka yang telah berhasil mengubah sejarah demokrasi Indonesia di usia muda, pesan-pesan ini lahir dari pengalaman nyata mereka berjuang.

"Ayo kita peduli kepada kondisi masyarakat, kondisi kebangsaan, dan kondisi kenegaraan," ajak Faisal dengan tegas. "Karena ketidakpedulian itu akan berakibat buruk pada kita dan juga generasi-generasi setelah kita." Baginya, kepedulian adalah langkah awal untuk membuat perubahan.

Rizki, yang telah membuktikan bahwa keterbatasan ekonomi bukan halangan untuk membuat perubahan besar, menekankan pentingnya semangat belajar. "Untuk teman-teman pelajar yang ada di luar sana, tetap semangat belajar apapun rintangannya pasti ada jalan. Kita ketika berdiri di atas ilmu, di atas pengetahuan itu akan selalu ada jalan keluar meskipun nanti ada rintangan dari baik finansial, keluarga, atau apapun," ujarnya penuh semangat.

Dia menambahkan, sebagai mahasiswa, mereka memiliki tanggung jawab khusus. "Ketika hukum sudah rusak, ya itu tugas kami sebagai mahasiswa. Jihad yang bisa kami definisikan itu sebuah doa untuk agar kami senantiasa berjuang memperjuangkan hak-hak konstitusional kami secara pribadi dan masyarakat secara umum."

Tsalis menutup dengan pesan yang sederhana namun mendalam, "Lakukanlah apa yang menurut kalian benar dan baik. Lakukan hal baik jangan menunggu kalian menjadi baik." Pernyataan ini merefleksikan perjalanan mereka sendiri yang tidak menunggu "sempurna" untuk mulai membuat perubahan.

Kisah mereka menjadi bukti nyata bahwa di tangan generasi muda yang berani bermimpi dan bertindak, perubahan besar untuk Indonesia bukan sekadar angan-angan.

Seperti yang mereka buktikan, dengan modal ilmu, tekad kuat, dan keberanian untuk melangkah, mahasiswa bisa menjadi agen perubahan yang nyata untuk Indonesia yang lebih baik.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya