Liputan6.com, Jakarta - Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ikhlas memilik arti bersih hati, tulus hati. Ikhlas merupakan sebuah kata dalam bahasa Arab yang dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sebagai "ikhlas" atau "ikhlas hati".
Secara harfiah, kata ini berasal dari akar kata yang berarti "murni" atau "tulus". Dalam konteks agama, terutama dalam Islam, konsep ikhlas sangat penting dan sering disebut dalam berbagai ayat Al-Qur'an.
Ikhlas dalam konteks agama Islam merujuk pada tindakan atau niat yang dilakukan semata-mata untuk menyenangkan Allah SWT tanpa ada motif atau kepentingan pribadi.
Advertisement
Ikhlas melibatkan kejujuran dan ketulusan hati dalam melakukan perbuatan, ibadah, atau amal perbuatan. Orang yang ikhlas bertindak tanpa mengharapkan pujian atau penghargaan dari orang lain, melainkan semata-mata mencari ridha Allah.
Konsep ikhlas juga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, di mana seseorang melakukan tindakan baik atau membantu orang lain dengan tulus dan tanpa motif tersembunyi.
Ikhlas mencerminkan integritas dan ketulusan dalam setiap perbuatan, serta keyakinan bahwa Allah adalah tujuan utama dari setiap tindakan yang dilakukan.
Dengan memiliki sikap ikhlas, seseorang diharapkan dapat mencapai kedamaian batin dan mendapatkan keberkahan dalam setiap aspek kehidupannya.
Baca Juga
Soal ikhlas, pendakwah idola garangan dan garanganwati, Gus Iqdam menjelaskannya dengan gamblang.
Simak Video Pilihan Ini:
Ikhlas, Menebar Kebaikan Apapun Caciannya, Tak Ada yang Mampu Menghambat Kesuksesan
Bagi Gus Iqdam ikhlas itu bagaimana?
Mengutip tayangan TikTok akun @Manut Pusat, dengan mengejawantahkan ikhlas maka apapun cacian yang dialami tak akan menghambat kesuksesan.
"Ternyata ketika kita mampu ikhlas, menebar kebaikan dengan ikhlas apapun cacian yang datang kepada diri kita, maka tidak ada yang mampu menghambat kesuksesan dalam diri kita," ujar Gus Iqdm.
Dengan ikhlas itu, lanjutnya, semuanya akan ditata oleh Allah SWT. "Gak enek sing wani ndebat, panggah ditata karo Gusti Allah," ujar Gus Iqdam, yang dijuluki bose garangan.
Advertisement
Berikut Firman Allah Tentang Ikhlas
Sementara mengutip muslim.or.id, untuk mengetahui kekuatan ikhlas, Allah berfirman,
وَمَاۤ أُمِرُوۤا۟ إِلَّا لِیَعۡبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخۡلِصِینَ لَهُ ٱلدِّینَ حُنَفَاۤءَ وَیُقِیمُوا۟ ٱلصَّلَوٰةَ وَیُؤۡتُوا۟ ٱلزَّكَوٰةَۚ وَذَ ٰلِكَ دِینُ ٱلۡقَیِّمَةِ
“Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan amal (ketaatan) kepada-Nya dalam menjalani agama yang lurus, mendirikan salat, menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Allah juga berfirman,
إِنَّاۤ أَنزَلۡنَاۤ إِلَیۡكَ ٱلۡكِتَـٰبَ بِٱلۡحَقِّ فَٱعۡبُدِ ٱللَّهَ مُخۡلِصࣰا لَّهُ ٱلدِّینَ
“Sesungguhnya Kami menurunkan kepadamu Al-Kitab dengan benar. Maka, sembahlah Allah dengan mengikhlaskan agama kepada-Nya.” (QS. Az-Zumar: 2)
Allah pun berfirman memerintahkan kepada Nabi-Nya,
قُلۡ إِنِّیۤ أُمِرۡتُ أَنۡ أَعۡبُدَ ٱللَّهَ مُخۡلِصࣰا لَّهُ ٱلدِّینَ
“Katakanlah, ‘Sesungguhnya Aku diperintahkan untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama kepada-Nya semata.’” (QS. Az-Zumar: 11)
Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَِى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung pada niat. Maka, barangsiapa yang berhijrah dalam rangka memenuhi seruan Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya benar-benar akan mendapatkan balasan berhijrah menuju Allah dan rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan dunia atau wanita yang hendak dinikahinya, maka hijrahnya itu hanya akan memperoleh apa yang dia niatkan saja.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hati-Hati Bagi yang Mengaku Ikhlas
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang pertama kali akan diadili pada hari kiamat kelak adalah seorang yang berperang untuk mencari mati syahid di jalan Allah. Kemudian dia dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang telah diberikan kepadanya (di dunia) , maka dia pun mengakuinya. Allah bertanya, ‘Apa yang sudah kamu kerjakan dengan nikmat-nikmat itu?’ Dia menjawab, ‘Aku telah berperang di jalan-Mu hingga aku mati syahid.’ Allah menjawab, ‘Kamu dusta! Sebenarnya kamu berperang karena ingin mendapatkan pujian sebagai seorang yang pemberani, dan hal itu telah kamu dapatkan. Lantas Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup dan dia pun dilemparkan ke dalam neraka.
Berikutnya, seorang lelaki yang telah diberikan kelapangan rezeki dan dikaruniai beragam harta benda. Dia juga dihadirkan, dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang telah diberikan kepadanya. Dia pun mengakuinya. Allah pun bertanya kepadanya, ‘Apa yang sudah kamu kerjakan dengannya?’ Dia menjawab, ‘Tidak ada satu jalan pun yang harus kusedekahkan hartaku, kecuali telah aku infakkan harta itu di jalan-Mu, ikhlas karena-Mu.’ Maka, Allah menjawab, ‘Kamu dusta! Sebenarnya kamu lakukan hal itu agar kamu dijuluki sebagai orang yang dermawan. Dan pujian itu telah kamu dapatkan.’ Lantas Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup dan dia pun dilemparkan ke dalam neraka.
Berikutnya, seorang lelaki yang mempelajari ilmu (agama) dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur’an. Dia pun dihadirkan dan ditunjukkan kepadanya nikmat-nikmat yang telah diberikan kepadanya. Dia pun mengakui itu semua. Allah bertanya, ‘Apa yang sudah kamu perbuat dengan itu semua?’ Maka dia menjawab, ‘Aku menuntut ilmu, mengajarkannya, dan membaca Al-Qur’an di jalan-Mu.’ Allah menjawab, ‘Kamu dusta! Sesungguhnya kamu menuntut ilmu agar disebut sebagai orang alim, kamu membaca Al-Qur’an agar disebut sebagai qari’.’ Lantas Allah memerintahkan malaikat untuk menyeretnya dalam keadaan tertelungkup dan dia pun dilemparkan ke dalam neraka.” (HR. Muslim)
Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhu mengatakan, “Ada tiga buah tanda orang yang suka riya’ (beramal tidak ikhlas): [1] apabila sendirian, maka dia menjadi pemalas, [2] dan hanya bersemangat apabila berada bersama orang-orang, [3] dia akan meningkatkan amalnya jika dipuji dan akan mengurangi amalnya jika dicela orang karena melakukannya.” (Al-Kabaa’ir, hal. 156)
Dzun Nun Al-Mishri mengatakan, “Tidaklah aku melihat ada sesuatu yang lebih dapat membangkitkan keikhlasan daripada khalwah (menyendiri).” (Risalah Qusyairiyah, 1: 50. Asy-Syamilah)
Syaikh As-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah, sesungguhnya mengikhlaskan amal karena Allah merupakan pondasi agama, ruh tauhid, dan ibadah. Hakikat ikhlas itu adalah hamba beribadah hanya bermaksud untuk mendapatkan pahala melihat wajah-Nya, menginginkan balasan, dan keutamaan dari-Nya.” (Al-Qaul As-Sadid, hal. 107).
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
Advertisement