Kata Buya Yahya soal Wayang yang Jadi Sarana Dakwah Walisongo, Halal atau Haram?

Buya Yahya katakan, begini alasan para wali menggunakan wayang sebagai media dakwah.

oleh Liputan6.com diperbarui 14 Jun 2024, 04:30 WIB
Diterbitkan 14 Jun 2024, 04:30 WIB
buya yahya
Buya Yahya (TikTok)

Liputan6.com, Jakarta - Diskusi tentang hukum dan kedudukan wayang dalam Islam menjadi perbincangan hangat beberapa waktu lalu, terutama setelah munculnya sebuah video yang menggugat kehalalan wayang dan bahkan mengusulkan untuk memusnahkannya.

Sebelumnya, Buya Yahya, seorang pendakwah yang dikenal menyejukkan ini memberikan penjelasannya mengenai status halal atau haram wayang.

Dalam sebuah video di kanal YouTube Al Bahjah TV berjudul ‘Hukum Wayang dalam Islam, Buya Yahya Menjawab’, ia mengungkapkan bahwa wayang dahulu digunakan oleh para wali sebagai media dakwah.

Menurut Buya Yahya, wayang merupakan bagian dari warisan budaya seni yang telah ada sebelum kedatangan Islam di Indonesia.

“Wayang itu adalah budaya, seni. Sebelum adanya Islam, sudah ada wayang. Lalu para ulama dari walisongo ini ingin bagaimana membawa wayang ini pada sebagai sarana untuk berdakwah,” jelas Buya Yahya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Simak Video Pilihan Ini:


Wali Paham Halal Haram

Wayang Kulit.
Ilustrasi wayang kulit. (Foto: Shutterstock)

Para ulama, khususnya para walisongo, melihat potensi wayang sebagai alat untuk menyampaikan pesan dakwah kepada masyarakat.

Meskipun wayang bukan suatu keharusan, namun karena popularitasnya yang tinggi di kalangan masyarakat, wayang dipilih sebagai media dakwah yang efektif oleh para ulama pada masa itu.

“Tujuannya adalah berdakwah, seandainya tanpa wayang bisa ya ndak ada masalah. Cuma karena wayang adalah seni yang saat itu betul-betul masyarakat yang lagi disenangi, dan sampe hari ini pun masih banyak penggemarnya. Yang kita bicarakan adalah bagaimana para ulama pada saat itu melihat wayang,” sambung Buya Yahya

Yang menjadi perhatian utama para ulama adalah bentuk dari patung itu sendiri, yang tidak boleh menyerupai suatu wujud atau jasad manusia atau hewan, yang dianggap haram dalam Islam.

Oleh karena itu, wayang yang digunakan adalah wayang kulit, yang memiliki bentuk pipih dan tidak menyerupai patung yang dilarang.

“Mereka juga ngerti bahwasanya patung adalah haram. Jadi karena itu (wayang) mereka penyet menjadi tipis, bukan bentuk berjasad. Makanya hendaknya kalau emang harus wayang, yang harus wayang kulit ini,” tegas Buya Yahya.

Upaya para ulama pada masa itu adalah untuk mengemas cerita dalam pewayangan sehingga tidak menimbulkan kesan syirik.


Pendekatan Bijaksana

Ilustrasi wayang kulit, Jawa
Ilustrasi wayang kulit, Jawa. (Photo by Lighten Up on Unsplash)

Dengan menggunakan wayang kulit, para ulama pada masa itu berhasil menghilangkan unsur-unsur kesyirikan dari cerita pewayangan dan menyampaikan pesan dakwah secara efektif kepada masyarakat.

Ini menunjukkan betapa pentingnya pendekatan yang bijaksana dalam memahami dan memanfaatkan warisan budaya dalam konteks Islam.

Pendekatan yang bijaksana terhadap warisan budaya seperti wayang menegaskan bahwa Islam tidaklah mengharamkan semua bentuk seni dan budaya yang ada sebelumnya.

Sebaliknya, Islam mengajarkan untuk menggunakan dan menghormati warisan budaya tersebut dengan cara yang sesuai dengan ajaran agama.

Dalam konteks wayang, penggunaannya sebagai media dakwah merupakan bukti kreativitas dan kebijaksanaan para ulama dalam menyampaikan pesan Islam kepada masyarakat.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya