Liputan6.com, Cilacap - Ada beragam kisah sulthanul awliya atau rajanya para wali, Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani. Paling banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab klasik.
Ada kisah perjalanan pencarian ilmu, spiritual, tasawuf, hingga karomah yang dianugerahkan kepada Syaikh Abdul Qadir.
Kisah wali Allah ini memiliki hikmah mendalam dan mengandung pesan yang luar biasa mengenai pentingnya mengamalkan kebaikan dalam kondisi apapun.
Advertisement
Baca Juga
Menelisik kehidupan beliau yang lekat dengan dunia tasawuf membuat hati jernih dan berakhlak mulia. Demikian halnya dengan kepribadiannya yang luhur.
Berikut adalah kisah bagaimana keberanian Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani berkata jujur yang hikmahnya mampu membuat perampok menangis dan taubat.
Simak Video Pilihan Ini:
Pesan Ibunda untuk Berkata Benar dalam Kondisi Apapun
Suatu hari Abdul Qadir yang masih belia meminta izin ibundanya untuk pergi ke kota Bagdad. Bocah ini ingin sekali mengunjungi rumah orang-orang saleh di sana dan menimba ilmu sebanyak-banyaknya dari mereka. Sang ibunda merestui.
Diberikanlah kepada Abdul Qadir empat puluh dinar sebagai bekal perjalanan. Agar aman, uang disimpan di sebuah saku yang sengaja dibuat di posisi bawah ketiak. Sang ibunda tak lupa berpesan kepada Abdul Qadir untuk senantiasa berkata benar dalam setiap keadaan.
Ia perhatikan betul pesan tersebut, lalu ia keluar dengan mengucapkan salam terakhir. “Pergilah, aku sudah menitipkan keselamatanmu pada Allah agar kamu memperoleh pemeliharaan-Nya,” pinta ibunda Abdul Qadir.
Bocah pemberani itu pun pergi bersama rombongan kafilah unta yang juga sedang menuju ke kota Bagdad. Ketika melintasi suatu tempat bernama Hamdan, tiba-tiba enam puluh orang pengendara kuda menghampiri lalu merampas seluruh harta kafilah.
Advertisement
Berkata Sebenarnya Kepada Perampok
Yang unik, tak satu pun dari perampok itu menghampiri Abdul Qadir. Hingga akhirnya salah seorang dari mereka mencoba bertanya kepadanya, “Hai orang fakir, apa yang kamu bawa?”
“Aku membawa empat puluh dinar,” jawab Abdul Qadir polos. “Di mana kamu meletakkannya?” “Aku letakkan di saku yang terjahit rapat di bawah ketiakku.”
Perampok itu tak percaya dan mengira Abdul Qadir sedang meledeknya. Ia meninggalkan bocah laki-laki itu. Selang beberapa saat, datang lagi salah satu anggota mereka yang melontarkan pertanyaan yang sama.
Abdul Qadir kembali menjawab dengan apa adanya. Lagi-lagi, perkataan jujurnya tak mendapat respons serius dan si perampok ngelonyor pergi begitu saja.
Perampok Menangis dan Bertobat
Pemimpin gerombolan perampok tersebut heran ketika dua anak buahnya menceritakan jawaban Abdul Qadir. “Panggil Abdul Qadir ke sini!” Perintahnya. “Apa yang kamu bawa?” Tanya kepala perampok itu. “Empat puluh dinar.”
“Di mana empat puluh dinar itu sekarang?” “Ada di saku yang terjahit rapat di bawah ketiakku.” Benar. Setelah kepala perampok memerintah para anak buah menggeledah ketiak Abdul Qadir, ditemukanlah uang sebanyak empat puluh dinar.
Sikap Abdul Qadir itu membuat para perampok geleng-geleng kepala. Seandainya ia berbohong, para perampok tak akan tahu apalagi penampilan Abdul Qadir saat itu amat sederhana layaknya orang miskin. “Apa yang mendorongmu mengaku dengan sebenarnya?”
“Ibuku memerintahkan untuk berkata benar. Aku tak berani durhaka kepadanya,” jawab Abdul Qadir.
Pemimpin perampok itu menangis, seperti sedang dihantam rasa penyesalan yang mendalam. “Engkau tidak berani ingkar terhadap janji ibumu, sedangkan aku sudah bertahun-tahun mengingkari janji Tuhanku.”
Dedengkot perampok itu pun menyatakan tobat di hadapan Abdul Qadir, bocah kecil yang kelak namanya harum di mata dunia sebagai Sulthanul Auliya’ Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Drama pertobatan ini lantas diikuti para anak buah si pemimpin perampok secara massal.
Penulis: Khazim Mahrur/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
Advertisement