Bolehkah Suami Istri Menunda Punya Anak, Bagaimana Hukumnya dalam Islam?

Setiap pasangan suami istri memiliki cara tersendiri dalam menjalani hubungan rumahtangganya. Termasuk perihal mengatur perencanaan keluarga dengan menunda untuk memiliki anak. Lantas, apakah hal tersebut diperbolehkan dalam islam?

oleh Putry Damayanty diperbarui 22 Jul 2024, 14:30 WIB
Diterbitkan 22 Jul 2024, 14:30 WIB
Ilustrasi pasangan muslim, Islami, gombalan
Ilustrasi pasangan muslim, Islami, gombalan. (Photo created by wirestock on www.freepik.com)

Liputan6.com, Jakarta - Memiliki anak setelah menikah tentunya menjadi suatu harapan bagi setiap pasangan. Namun, beberapa pasangan suami istri memilih untuk menunda memiliki anak.

Terdapat banyak faktor yang menjadi bahan pertimbangan. Bisa dipengaruhi oleh faktor ekonomi, kondisi kesehatan, karir atau pekerjaan dan penyebab lainnya.

Keinginan menunda punya anak ini tentunya memiliki tujuan tertentu. Hal ini bisa jadi berkaitan dengan program Keluarga Berencana (KB).

Lalu bagaimana hukumnya dalam Islam jika suami istri ingin menunda untuk memiliki anak? Berikut ulasannya mengutip dari laman dream.co.id.

 

Saksikan Video Pilihan ini:

Hukum Menunda Punya Anak

Ilustrasi pasangan muslim, suami istri
Ilustrasi pasangan muslim, suami istri. (Photo Copyright by Freepik)

Secara umum, para ulama sependapat bahwa hukum menunda kehamilan tidak dilarang sepanjang cara dan tujuannya adalah pengaturan kehamilan (tandhiim an-nasl) dan bukan pembatasan keturunan (tachdiid an-nasl).

Hal ini didasarkan pada makna firman Allah SWT dalam surah An-Nisa’ ayat 9: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka..”.

Juga hadis shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda (yang maknanya): “Sungguh lebih baik bagimu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan daripada meninggalkan mereka menjadi beban tanggungan orang banyak” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Dalam masalah penundaan kehamilan atau Keluarga Berenca (KB) adalah masalah mu’amalah sosial (interaksi kemasyrakatan) dan bukan masalah masalah ibadah ritual.

Hal-hal yang berkaitan dengan mu’amalah sosial berada di bawah payung kaidah fiqhiyyah yang amat populer, yaitu al-ashlu fil asy-yaa’ al ibaachah, chattaa yadullu ‘alattahriim (pada dasarnya segala sesuatu itu hukumnya boleh kalau tidak ada dalil yang melarangnya).

Hukum Asalnya Makruh

pasangan muslim
ilustrasi pasangan muslim/copyright by mentatdgt (Shutterstock)

Sebaliknya hal-hal yang terkait ibadah ritual, maka payung kaidahnya adalah: al-ashlu fil ‘ibadaat al-buthlan, chatta yadullad dalilu ‘alal amri (pada dasarnya segala bentuk peribadatan itu dilarang kalau tidak ada dalil yang memerintahkannya). 

Kemudian asas istinbath (penggalian dan penetapan) hukum yang terkaut hal-hal mu’amalah sosial itu adalah maslahah (kemashlahatan/ kebaikan) bagi kehidupan manusia. Jadi asal dalam pertimbangan nalar normal hal tersebut mengandung mashlahah maka dapat ditetapkan hukumnya, minimal mubah (boleh). 

Dalam hal ini hukum dapat bergerak menjadi mustahab (kebaikan yang tidak ada rujukan dalil tekstualnya), sunnah (kebaikan yang ada rujukan hadisnya) atau bahkan wajib, atau sebaliknya bergerak turun menjadi makruh (tidak disukai) atau haram.

Terkait dengan hukum menunda punya anak (baik dengan cara minum pil anti hamil atau menyiasati persetubuhan) demi karir pasangan suami istri yang belum punya anak, hukum asalnya adalah makruh (tidak disukai).

Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan dari Anas RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Nikahilah wanita yang kalian cintai dan punya keturunan (tidak mandul), karena saya di hari kiamat nanti akan banggakan jumlah kalian yang banyak” (HR. Ahmad yang diakui sebagai hadis shahih oleh Ibnu Hibban).

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya