Jangan Cinta karena Kekayaan atau Kecantikan, Konsekuensinya Seperti ini Ungkap Gus Baha

Jangan sampai alasan materialis jadi dasar cinta, Gus Baha: Nanti akan bermasalah

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Agu 2024, 10:30 WIB
Diterbitkan 07 Agu 2024, 10:30 WIB
Gus Baha 1
KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha. (SS TikTok)

Liputan6.com, Jakarta - Jangan sampai alasan-alasan yang bersifat materialistis menjadi dasar kita mencintai seseorang, seperti mencintai istri karena kecantikannya atau mencintai suami karena penghasilannya yang besar.

Suatu saat, jika hal-hal tersebut berubah, hubungan kita bisa bermasalah. Agama mengajarkan kita untuk ikhlas, mencintai dengan tulus tanpa terikat pada hal-hal duniawi yang sifatnya sementara.

Dengan ikhlas, cinta kita akan lebih kuat dan tahan lama, terlepas dari perubahan materi yang mungkin terjadi.

KH Ahmad Bahauddin Nursalim, yang lebih dikenal dengan Gus Baha, dalam sebuah tayangan YouTube di kanal @AlGhifari27, memberikan nasihat penting tentang cinta dalam pernikahan.

"Jangan sampai alasan-alasan yang bersifat materialistis itu yang menjadikan kita mencintai istri karena cantik, mencintai suami karena penghasilannya besar," ujarnya.

Gus Baha menekankan bahwa cinta yang didasarkan pada faktor materialistis seperti kecantikan atau kekayaan tidak akan bertahan lama.

"Suatu saat kalau itu berubah, kita akan masalah," tegasnya. Menurutnya, perubahan fisik atau kondisi ekonomi dapat menjadi sumber konflik jika cinta tidak dilandasi keikhlasan.

 

Simak Video Pilihan Ini:

Cinta Dasarnya Ini

Ilustrasi pasangan cinta, bahagia
Ilustrasi pasangan cinta, bahagia. (Photo by Khoa Pham on Unsplash)

"Di sini agama menyarankan ikhlas, ikhlas, ikhlas," lanjut Gus Baha. Ia menekankan bahwa keikhlasan adalah kunci utama dalam mencintai pasangan. Cinta yang tulus tanpa syarat akan lebih kuat dan bertahan lama.

Gus Baha juga mengingatkan bahwa ikhlas dalam mencintai pasangan adalah bentuk ibadah. "Cinta yang ikhlas itu juga ibadah," ujarnya.

Dengan mencintai pasangan secara ikhlas, seseorang tidak hanya menjaga keutuhan rumah tangga tetapi juga mendekatkan diri kepada Allah.

Ia menjelaskan bahwa cinta yang ikhlas berarti mencintai pasangan apa adanya, tanpa terpengaruh oleh perubahan yang mungkin terjadi.

"Kalau kita ikhlas, kita akan tetap mencintai pasangan kita meskipun ada perubahan," jelasnya. Ini adalah bentuk cinta yang tulus dan mendalam.

Menurut Gus Baha, pernikahan yang didasarkan pada keikhlasan akan lebih kuat dalam menghadapi berbagai cobaan. "Kalau ikhlas, rumah tangga kita akan lebih kuat menghadapi cobaan," katanya.

Cinta dalam Perspektif Islam

pasangan cinta
Ilustrasi pasangan cinta bahagia/copyright freepik.com

Mengutip Nu Online, Islam sebagai agama paripurna juga membahas topik cinta. Islam mengatur tentang cara bercinta dan siapa yang layak dicinta, sering disebut sebagai "agama cinta." Banyak manusia menemukan jati diri dan bakat terpendam melalui cinta. Namun, tidak sedikit juga yang kehilangan akal sehat dan melakukan kejahatan atas nama cinta.

Hujjatul Islâm Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali dalam kitab Ihyâ’ Ulûmiddîn menjelaskan satu bab khusus tentang cinta (mahabbah). Mulai dari dalil-dalil cinta, hakikat, sebab, dan siapa yang berhak mendapatkan cinta.

Dalam Al-Qur’an, banyak ayat yang berbicara tentang cinta. Hadist Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam juga menekankan bahwa keimanan yang paling sempurna adalah iman yang dilandasi cinta. Allah berfirman dalam Al-Baqarah: 165,

"وَالَّذِينَ آمَنُواْ أَشَدُّ حُبًّا لِلهِ

Artinya, "Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah."

Rasulullah shallallâhu 'alaihi wasallam juga bersabda,

"يَا رَسُولَ اللهِ، مَا الإيْمَانُ؟ قَالَ: أَنْ يَكُوْنَ اللهُ وَرَسُوْلهُ أَحَبَّ إِلَيْكَ مِمَّا سِوَاهُمَا." (رواه أحمد)

Artinya, "Wahai Rasulullah! Apakah yang dimaksud iman? Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wasallam menjawab: “Yaitu apabila Allah dan Rasul-Nya lebih kamu cintai daripada selain keduanya.” (HR. Ahmad)

Dengan cinta, seseorang menjadi istimewa di sisi Pencipta. Tanpa cinta, ia tidak lebih sekadar hamba tanpa nilai lebih di sisi Tuhan. Imam Al-Ghazali menulis kalam hikmah dari Syekh Sari As-Saqathi bahwa di hari kiamat, umat akan dipanggil sesuai nama nabi mereka, kecuali para pecinta Allah yang dipanggil sebagai "kekasih Allah," yang membuat hati mereka tercerai berai karena bahagia.

"تُدْعَى الْأُمَمُ يَوْمَ القِيَامَةِ بِأَنْبِيَائِهَا عَلَيْهِمُ السَّلاَمُ. فَيُقَالُ: يَا أُمَّةَ مُوسَى وَيَا أُمَّةَ عِيسَى وَيَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ غَيْرِ الْمُحِبِّيْنَ لِلهِ تَعَالَى. فَإِنَّهُم يُنَادُوْنَ: يَا أَوْلِيَاءَ اللهِ هَلُمُّوا إِلَى اللهِ سُبْحَانَهُ فَتَكَادُ قُلُوبُهُمْ تَنْخَلِعُ فَرْحًا."

Artinya, "Kelak di hari kiamat, semua umat akan dipanggil menghadap Allah sesuai dengan nama nabinya. Maka dikatakan: ‘Wahai umat Musa, wahai umat Isa, wahai umat Muhammad’, kecuali para pecinta Allah, maka mereka akan dipanggil: ‘Wahai kekasih Allah, kemarilah menghadap Allah subhânahu wa ta’âla’. Maka seketika hati mereka hampir terceraiberai karena bahagia (sebab panggilan itu).” (Abu Hamid Al-Ghazali, Ihyâ’ Ulûmiddîn, [Bairut, Dârul Ma’rifah, 2010], juz IV, halaman 295).

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya