Liputan6.com, Cilacap - Tanggal 17 Agustus merupakan momen yang paling bersejarah bagi bangsa Indonesia, termasuk pada 2024 ini. Pasalnya, pada hari itu Bung Karno membacakan teks proklamasi kemerdekaan bagi negeri ini.
Momen paling bersejarah ini setiap tahun diperingati dan dirayakan oleh bangsa Indonesia.
Beragam kegiatan seperti perlombaan, pengibaran bendera merah putih menghiasi rumah-rumah penduduk memeriahkan HUT Kemerdekaan. Pada 17 Agustus pagi, sebagian masyarakat Indonesia juga melaksanakan upacara bendera untuk untuk mengenang detik-detik proklamasi kemerdekaan dan jasa para pahlawan kita yang telah gugur.
Advertisement
Baca Juga
Namun, di balik pelaksanaan upacara bendera ada yang berpendapat bahwa kegiatan tersebut sebagai salah satu bentuk bid’ah. Pendapat lain mengatakan upacara peringatan 17 Agustus hanya sebatas adat saja.
Pertanyaannya ialah bagaimana hukum yang sebenarnya upacara 17 Agustus untuk merayakan kemerdekaan dalam Islam?
Untuk menjawab hal ini, penulis mengutip pendapat Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah.
Simak Video Pilihan Ini:
Perayaan Kemerdekaan Merupakan Muamalah
Menukil bincangsyariah.com, sebelumnya, kita perlu membahas tentang ibadah. Ibadah terbagi menjadi dua macam, yaitu ibadah umum dan ibadah khusus (mahdhah). Ibadah umum adalah segala amalan yang diizinkan oleh Allah Swt. Sedangkan ibadah khusus adalah jenis ibadah yang telah ditetapkan oleh Allah Swt. secara rinci, baik tata cara, bahkan formatnya.
Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah meyakini bahwa bid‘ah bisa terjadi pada dua bidang, yaitu akidah dan juga ibadah khusus. Semua hal yang berhubungan dengan akidah dan ibadah khusus harus berdasarkan kepada dalil yang maqbul. Ini didasarkan pada beberapa dalil, baik dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw, di antaranya adalah Q.S. Ali Imran Ayat 31 dan sebuah hadits dari Al-Bukhari.
“Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs Ali ‘Imran [3]: 31).
“Dari ‘Aisyah r.a., ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda: Barangsiapa yang mengada-adakan dalam perkara agama kami yang tidak ada perintahnya, maka perkara tersebut tertolak. (H.R. Al-Bukhari)
Nah, dalam persoalan ibadah khusus, ada kaidah fikih yang menyebutkan bahwa pertama, hukum asal ibadah adalah haram sampai ada dalil yang memerintahkannya. Sementara dalam hal muamalah, istilah bid‘ah sama sekali tidak berlaku. Muamalah berarti segala hal atau perkara yang berhubungan dengan urusan duniawi.
Dalam hal ini, merayakan hari ulang tahun kemerdekaan bisa dikategorikan ke dalam bidang muamalah. Maka pada dasarnya, perayaan tersebut diperbolehkan, dengan syarat dalam media yang digunakan untuk merayakan tidak melanggar aturan agama dan norma sosial. Sebagaimana Hadits Nabi Saw. sebagai berikut:
“Dari Anas (diriwayatkan), ia berkata: Pada masa Rasulullah Saw. baru hijrah ke Madinah, warga Madinah memiliki dua hari raya yang biasanya di hari itu mereka bersenang-senang. Rasulullah Saw. kemudian bertanya: Perayaan apakah yang dirayakan dalam dua hari ini? Warga Madinah menjawab: Pada dua hari raya ini, dahulu di masa Jahiliyyah kami biasa merayakannya dengan bersenang-senang. Maka Rasulullah bersabda: Sungguh Allah telah mengganti hari raya kalian dengan yang lebih baik, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri. (H.R. Abu Dawud)
Dalam memahami hadits tersebut, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah berpendapat bahwa larangan Nabi Muhammad Saw. untuk membuat perayaan hari raya pada hari tertentu berlaku pada perayaan-perayaan yang terkait dan atau diyakini sebagai ibadah.
Jika perayaan yang dilakukan tidak terkait dengan ibadah, maka Majelis Trajih dan Tajdid Muhamamdiyah memandang itu sebagai bagian dari muamalah. Maka dari itu, hukum asalnya adalah boleh, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
Advertisement
Hukum Melaksanakan Upacara Kemerdekaan
Kaidah fikih menyebutkan: Pertama, hukum asal dalam permasalahan muamalah adalah mubah atau boleh, tidak dilarang kecuali yang segala hal yang diharamkan oleh Allah Swt..
Kedua, hukum asal segala sesuatu adalah mubah atau boleh sampai ada dalil yang menunjukkan ketidakbolehannya. Ketiga, segala perkara bergantung pada niatnya.
Perayaan kemerdekaan Indonesia masuk ke dalam kategori yang ketiga yakni sebagai salah satu bentuk refleksi atas perjuangan para pahlawan. Maka, perayaan kemerdekaan dan upacara bendera bukan merupakan bentuk penyembahan (li al-ta‘abbud), tapi merupakan wujud penghormatan (li al-ihtiram) kepada jasa para pahlawan yang telah berkorban demi kemerdekaan Indonesia.
Sampai di sini, kita bisa menyimpulkan bahwa hormat kepada bendera bukan termasuk sesuatu yang dilarang dalam agama. Meski begitu, hal yang perlu diperhatikan tentang upacara bendera dan perayaan kemerdekaan adalah jangan sampai perayaan HUT RI yang dilakukan terjerumus pada perilaku israf atau berlebih-lebihan dan mubazir.
Sebab, perilaku berlebih-lebihan justru akan menodai makna kemerdekaan itu sendiri. Dalam Al-Qur’an, Allah Swt. telah melarang perilaku-perilaku tersebut:
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah Swt, tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Qs Al-A’raf [7]: 31).
“Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (Qs Al-Isra’ [17]: 27).
Demikian pembahasan tentang hukum merayakan kemerdekaan atau HUT RI yang pernah dipaparkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah dalam majalah Suara Muhammadiyah dalam edisi 16 tahun 2018. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.
Penulis: Khazim Mahrur / Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul