Setahun Genosida di Palestina: Israel Perlihatkan Kekejaman Terburuk dari yang Paling Buruk

"Perempuan hamil yang mengungsi meninggal diam-diam di tenda-tenda mereka, tidak dapat mengakses perawatan yang mereka butuhkan untuk melahirkan dengan selamat."

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 07 Okt 2024, 22:30 WIB
Diterbitkan 07 Okt 2024, 22:30 WIB
Luka dan Duka dalam 100 Hari Perang Hamas-Israel
Warga Palestina memeriksa puing-puing bangunan yang hancur setelah serangan udara Israel di kota Khan Younis, Jalur Gaza selatan, Kamis, 26 Oktober 2023. (AP Photo/Mohammed Dahman)

Liputan6.com, Jakarta - Bagi mereka yang berhasil selamat dari serangan Israel di Jalur Gaza, setahun terakhir penuh dengan kengerian: anak-anak Palestina terbunuh, terluka, dan berlumuran darah.

Untuk membantu dokter, perawat, paramedis, dan tenaga kesehatan lain di Gaza guna menangani korban pengeboman dan serangan darat Israel, puluhan tenaga medis asing datang ke wilayah tersebut, menyaksikan kehancuran serbuan Israel secara langsung.

Salah satu dokter itu adalah Dr. John Kahler, seorang dokter anak dengan pengalaman lebih dari 25 tahun di zona krisis.

Sebelum tiba di Gaza, Kahler berpikir telah melihat kekejaman terburuk di dunia, tetapi penugasannya yang berulang kali ke Gaza bersama kelompok bantuan kemanusiaan MedGlobal menghancurkan keyakinan itu.

"Saya sudah berada di banyak tempat buruk, termasuk Haiti setelah gempa bumi, Yaman selama wabah kolera, Aleppo saat pengepungan, dan saya pikir saya cukup siap untuk Gaza. Ternyata, saya salah besar. Saya pikir saya sudah melihat yang terburuk, sampai saya pergi dan melihat langsung Gaza," kata Kahler kepada Anadolu, dikutip Antara.

 

 

Simak Video Pilihan Ini:

Adegan 'Surealis'

Kahler, yang merupakan salah satu pendiri MedGlobal, pertama kali mengunjungi Gaza pada 2019 untuk membantu mengembangkan bangsal anak di Rumah Sakit Nasser di Kota Khan Younis, wilayah selatan Gaza.

Saat ia kembali pada Januari 2024, ia disambut pemandangan mimpi buruk: 1,2 juta pengungsi berdesakan di Rafah, sebuah kota kecil di perbatasan Mesir, tanpa akses air atau listrik.

"Saat malam, berkendara di kegelapan melewati anak-anak dan wanita yang mengisi setiap inci ruang terasa seperti adegan yang surealis. Itu seperti dalam film pasca-apokaliptik."

Saat Kahler kembali ke Gaza pada bulan Maret 2024, populasi Rafah telah meningkat menjadi 1,6 juta, dengan sekitar 56.000 orang per kilometer persegi.

Dia mengatakan bahwa kehancuran begitu parah sehingga ia hampir tidak bisa lagi mengenali tempat-tempat yang pernah dikunjunginya.

"Dulu ada jalan yang bagus di sepanjang pantai. Sekarang hancur total. Ketika kami sampai di rumah sakit, saya bertanya kepada pengemudi yang membawa saya, kapan kami akan melewati area universitas, dan dia berkata, 'Anda sudah melewatinya.' Universitas yang dulu ada di sana sudah rata dengan tanah. Semua empat universitas hancur total."

Selama berada di Rafah, Kahler dan tiga koleganya dari MedGlobal membuka klinik darurat, melayani hingga 700 pasien per hari di tengah serangan bom yang ditembakkan terus-menerus.

 

Tangisan di Malam Hari

Di pusat kesehatan primer, ada ruangan khusus di mana Kahler dan timnya harus membersihkan luka pasien, terutama anak-anak, tanpa anestesi.

"Jadi, ada tangisan dan jeritan yang terdengar dari pukul delapan pagi hingga pukul lima sore, dan saya masih mendengar tangisan itu di malam hari. Saya terbangun mendengar anak-anak itu menangis, menjerit," katanya.

Banyak anak yang dirawat Kahler di Rafah menderita hepatitis A, penyakit menular yang dapat menyebabkan demam, muntah, dan, yang paling berbahaya, diare.

"Hampir 100 persen mengalami diare, yang merupakan penyebab utama kematian di kalangan anak-anak kecil," tambahnya.

Bagi Kahler, runtuhnya sistem sanitasi dan layanan kesehatan di Gaza semakin diperjelas dengan terdeteksinya virus polio baru-baru ini di wilayah tersebut, yang memerlukan kampanye vaksinasi yang dipimpin oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

"Walaupun populasi Gaza relatif baik dalam hal imunisasi polio, wabah penyakit seperti campak atau kolera dapat menyebabkan kematian massal, seperti yang kami saksikan di Haiti," katanya seraya memperingatkan.

Kahler menunjukkan bahwa kehancuran sistem kesehatan, ditambah dengan perkiraan bahwa 90 persen penduduk Gaza telah mengungsi, "telah menyebabkan kematian yang tidak terdeteksi."

"Perempuan hamil yang mengungsi meninggal diam-diam di tenda-tenda mereka, tidak dapat mengakses perawatan yang mereka butuhkan untuk melahirkan dengan selamat."

"Orang-orang dengan penyakit yang dapat diobati meninggal karena tidak ada obat, tidak ada tempat tidur rumah sakit, tidak ada dokter yang dapat membantu mereka."

Saat Kahler dan timnya mencoba kembali ke Gaza untuk ketiga kalinya pada bulan Mei 2024, mereka ditolak masuk karena tentara Israel telah bergerak ke Rafah.

 

Kehancuran Generasi

Kahler menyerukan gencatan senjata permanen, tetapi ia juga mencatat bahwa itu hanya akan menjadi awal dari proses pemulihan yang panjang dan bisa memakan waktu berpuluh-puluh tahun.

Menurutnya, kehancuran yang disaksikannya di Gaza bukan hanya bersifat fisik tetapi juga sistemik, menargetkan "jaringan kehidupan di Gaza: layanan kesehatan, infrastruktur, dan, yang paling tragis, anak-anak."

"Tidak ada jumlah perawatan yang dapat berkelanjutan untuk anak-anak ini dengan jeda singkat. Diperlukan gencatan senjata permanen untuk mulai menangani situasi anak-anak dan keluarga mereka. Mereka hanya bisa memulai pemulihan hidup mereka dengan gencatan senjata permanen," tuturnya.

Kahler menjelaskan bahwa gencatan senjata permanen akan memungkinkan pembukaan koridor kemanusiaan dan dengan demikian memulai upaya pembangunan kembali.

Sejak Israel memulai perang genosida di Gaza, sekitar 96 persen dari 2 juta penduduknya berada di ambang kelaparan, katanya.

"Saya melihat orang tua tidak bisa memberi makan anak-anak mereka, meskipun mereka bisa, kerusakan akibat malnutrisi sudah terjadi."

"Ini bukan hanya soal kekurangan kalori," katanya, menjelaskan bahwa perang telah menghancurkan masa depan seluruh generasi. Menurut Kahler, anak-anak yang kelaparan sejak lahir "akan membawa bekas luka trauma ini seumur hidup, baik secara fisik maupun mental."

"Kita bisa menyelesaikan masalah malnutrisi dalam enam bulan, tetapi ada masalah sistemik yang lebih besar yang harus diatasi, dan saat ini, tidak ada yang membicarakan apa yang akan terjadi setelahnya."

Dia percaya bahwa skala sebenarnya dari tragedi Palestina hanya akan terlihat "di hari setelahnya."

"Sistem kesehatan Gaza yang runtuh, anak-anak yang kelaparan, dan trauma mendalam yang ditimbulkan pada seluruh generasi adalah bagian dari bencana yang sedang berlangsung," tambahnya.

 

Israel Harus 'Berhenti Membunuh'

Dokter anak itu mendesak Israel untuk "berhenti membunuh" dan "membebaskan para tawanan dari penjara di Israel."

Sejak Israel melancarkan perang brutal di Gaza pada 7 Oktober, lebih dari 41.000 warga Palestina telah tewas di Gaza, sebagian besar di antaranya wanita dan anak-anak, dan lebih dari 95.900 lainnya terluka, menurut otoritas kesehatan setempat.

Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, sejak Oktober tahun lalu, pasukan Israel telah membunuh lebih dari 1.000 tenaga kesehatan di Gaza.

Selain mereka yang tewas, ratusan pekerja medis tetap dipenjara, di mana mereka menghadapi penyiksaan dan perlakuan buruk, menurut kelompok hak asasi manusia.

Hampir satu tahun setelah perang Israel, sebagian besar wilayah Gaza masih hancur akibat serangan udara Israel, serta blokade yang melumpuhkan pasokan makanan, listrik, air bersih, dan obat-obatan.

Israel dituduh melakukan genosida di Pengadilan Internasional (ICJ), yang dalam keputusan terbarunya memerintahkan Tel Aviv untuk segera menghentikan operasi di kota Rafah, tempat lebih dari satu juta warga Palestina berlindung dari perang sebelum kota itu diserbu pada 6 Mei 2024.

Sumber: Anadolu

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya