Liputan6.com, Jakarta - Kematian adalah kepastian yang akan dialami setiap manusia. Namun, tidak semua orang memiliki cara pandang yang benar dalam menyikapi kematian.
Sebagian orang takut menghadapi kematian, sementara yang lain menganggapnya sebagai akhir dari segalanya. Dalam Islam, kematian bukan sekadar peristiwa fisik, tetapi juga memiliki makna spiritual yang mendalam.
Advertisement
Gus Baha mengungkapkan bahwa Rasulullah memiliki doa luar biasa terkait kehidupan dan kematian yang mencerminkan sikap bijaksana dalam menghadapinya.
Advertisement
"Doa Rasulullah yang luar biasa, ‘Ya Allah, jadikan kehidupan ini sebagai penambahan saya untuk berbuat baik. Wal mauta rohatan min kulli syarrin. Kalau saya Engkau takdir mati, ya anggap mawon ini mati dengan berakhirnya semua potensi keburukan saya,’" ujar Gus Baha dalam video yang dikutip dari kanal YouTube @gondelanulama.
Menurut Gus Baha, kehidupan dan kematian adalah dua hal yang harus dipahami dengan bijak. Tidak hanya sekadar takut mati atau ingin hidup lama, tetapi memahami makna keduanya.
Manusia memiliki dua potensi dalam hidupnya, yaitu potensi untuk berbuat baik dan potensi untuk melakukan keburukan.
Selama seseorang masih hidup, selalu ada kemungkinan ia bisa berbuat kebaikan atau justru jatuh dalam keburukan.
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
Potensi Manusia Itu Ada Dua, Berikut Penjelasan Gus Baha
"Orang itu kan potensinya dua, buruk betul atau potensi buruk. Mungkin sekarang kita nggak korupsi, tapi siapa tahu suatu saat kita korupsi. Mungkin sekarang kita nggak salah, tapi suatu saat bisa saja melakukan kesalahan," jelasnya.
Oleh karena itu, kematian bukan hanya sesuatu yang menakutkan, tetapi juga bisa menjadi bentuk rahmat. Sebab, kematian mengakhiri segala potensi keburukan seseorang.
Gus Baha menuturkan bahwa dalam tradisi para ulama, termasuk di kalangan Nahdlatul Ulama (NU), ada kebiasaan mendoakan kebaikan bagi orang yang telah meninggal, bahkan jika orang itu dikenal dengan kehidupan yang buruk.
Ketika seorang bajingan atau orang yang banyak berbuat salah meninggal, para ulama tetap memberikan kesaksian yang baik.
"Makanya saya berkali-kali cerita kalau ngaji, kalau orang-orang alim NU itu kalau ada bajingan mati tetap disaksikan ‘niki sae nggih’," tutur Gus Baha.
Banyak orang yang enggan mengakui kebaikan seseorang yang semasa hidupnya sering berbuat kesalahan. Namun, para ulama tetap mengajarkan untuk menyaksikan kebaikan.
Hal ini bukan berarti menutup keburukan, tetapi lebih kepada memahami bahwa setelah seseorang meninggal, tidak ada lagi potensi baginya untuk berbuat jahat.
Advertisement
Meninggal Berarti Baik, Sudah Tak Bisa Berbuat Buruk Lagi
"Padahal di hati kiainya sudah ndak bisa garong lagi, ndak bajingan lagi. Ya baiklah. Jadi, sehingga orang-orang saleh itu melihat hidup itu ya biasa saja, melihat mati itu biasa," lanjutnya.
Hidup dipandang sebagai sarana untuk terus menambah kebaikan, sementara mati dipandang sebagai akhir dari segala keburukan atau potensi keburukan.
Islam mengajarkan bagaimana seseorang seharusnya menghadapi kehidupan dengan penuh kesadaran, dan bagaimana menerima kematian dengan sikap yang benar.
Doa Rasulullah tersebut menjadi pengingat bahwa selama hidup, seseorang harus terus berusaha menambah amal baik.
Di sisi lain, seseorang tidak perlu terlalu takut pada kematian karena kematian bisa menjadi jalan untuk terlepas dari segala bentuk keburukan.
Pentingnya doa ini adalah agar seseorang selalu memiliki niat yang lurus dalam menjalani hidup dan menerima kematian dengan ikhlas.
Dalam tradisi Islam, seseorang selalu diajarkan untuk mendoakan orang yang sudah meninggal, tanpa perlu mengungkit-ungkit kesalahan mereka di masa lalu.
Karena setelah meninggal, seseorang tidak lagi memiliki kesempatan untuk memperbaiki diri, sehingga yang masih hidup sebaiknya memberikan doa dan kesaksian yang baik.
Dengan memahami doa ini, seseorang bisa lebih bijak dalam menjalani kehidupan dan lebih tenang dalam menghadapi kematian.
Islam menempatkan hidup dan mati sebagai dua sisi yang saling melengkapi, bukan sesuatu yang perlu ditakuti secara berlebihan.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
