Liputan6.com, Jakarta - I’tikaf merupakan salah satu ibadah yang sangat dianjurkan dalam Islam, terutama selama bulan Ramadhan. I’tikaf dilakukan dengan cara berdiam di masjid untuk tujuan beribadah, memperbanyak doa, merenung serta mendekatkan diri kepada Allah.
I'tikaf boleh dilakukan oleh siapa pun baik bagi laki-laki maupun perempuan. Namun, bagi seorang wanita yang telah menikah tentu memiliki berbagai pertimbangan yang harus dilihat dari sudut pandang syariat, sosial, maupun hubungan suami istri.
Advertisement
Advertisement
Baca Juga
Meskipun i'tikaf sangat dianjurkan, mungkin ada situasi di mana suami dapat memberikan izin atau bahkan meminta istrinya untuk menunda pelaksanaan i’tikaf jika memang ada kebutuhan penting dalam rumahtangga yang harus diperhatikan.
Lantas, apakah izin suami merupakan hal yang wajib dipenuhi bagi seorang istri yang hendak melakukan iktikaf di masjid? Berikut penjelasannya mengutip dari laman NU Online.
Saksikan Vidoe Pilihan ini:
Izin Suami terhadap Ibadah I'tikaf Perempuan
Perempuan memiliki hak untuk menjalankan ibadah i'tikaf. Hal ini didasarkan pada hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim melalui Sayyidatina Aisyah RA sebagai berikut:
وَعَنْهَا: - أَنَّ اَلنَّبِيَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يَعْتَكِفُ اَلْعَشْرَ اَلْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ, حَتَّى تَوَفَّاهُ اَللَّهُ, ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ - مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ
Artinya: “Dari Aisyah RA, Nabi Muhammad SAW beri'tikaf pada sepuluh terakhir bulan Ramadhan. Aktivitas itu dilakukan hingga beliau wafat. Kemudian para istrinya mengikuti itikaf pada waktu tersebut sepeninggal Rasulullah SAW,” (HR. Bukhari dan Muslim).
Adapun perihal izin suami dalam kaitannya dengan kesahihan i'tikaf, ulama berbeda pendapat. Ulama dari Mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali menyatakan bahwa izin suami menjadi syarat i'tikaf istrinya. Dengan demikian, ibadah i'tikaf perempuan tanpa izin suaminya tidak sah. Adapun pendapat Mazhab Maliki menyatakan bahwa i'tikaf seorang perempuan tanpa izin suaminya tetap sah karena izin suami bukan bagian dari syarat ibadah i'tikaf itu sendiri.
إذن الزوج لزوجته: شرط عند الحنفية والشافعية والحنابلة، فلا يصح اعتكاف المرأة بغير إذن زوجها، ولو كان اعتكافها منذوراً. ورأى المالكية أن اعتكاف المرأة بغير إذن زوجها صحيح مع الإثم
Artinya: “Izin suami atas istrinya menjadi syarat (i'tikaf) menurut mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Hanbali. I'tikaf perempuan tidak sah tanpa izin suaminya meski itu adalah i'tikaf nazar. Sedangkan mazhab Maliki berpendapat bahwa i'tikaf seorang permepuan tanpa izin suaminya tetap sah meski dosa,” (Lihat Syekh Wahbah Az-Zuhayli, Al-Fiqhul Islami wa Adillatuh, [Beirut, Darul Fikr: 1985 M/1405 H], cetakan kedua, juz II, halaman 706).
Advertisement
Hak Suami Menghentikan I'tikaf Istri
Adapun perihal penghentian i'tikaf oleh suami, para ulama berbeda pendapat. Mayoritas ulama berpendapat bahwa seorang suami boleh meminta istrinya untuk menghentikan ibadah i'tikafnya meski telah izin sebelumnya.
Imam Malik mengatakan bahwa seorang suami tidak berhak untuk meminta istrinya menghentikan ibadah i'tikaf ketika istrinya telah meminta izin sebelumnya sebagaimana dikutip dari pernyataan Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki berikut ini.
والجمهور على جواز منع زوجها لها من الاعتكاف بعد الإذن وقال مالك ليس له المنع بعد الإذن
Artinya: “Mayoritas ulama membolehkan seorang menahan istrinya untuk i'tikaf meski sudah izin sebelumnya. Sementara Imam Malik berpendapat bahwa seorang suami tidak berhak menahan istrinya untuk i'tikaf setelah istrinya mengajukan izin sebelumnya,” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman An-Nuri dan Syekh Alawi Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam, [Beirut, Darul Fikr: 1996 M/1416 H], cetakan pertama, juz II, halaman 340).
Bagi pasangan suami dan istri disarankan untuk membicarakan baik-baik perihal ibadah i'tikaf yang direncanakan oleh istrinya. Keduanya juga perlu mempertimbangkan prioritas rumah tangganya di 10 akhir Ramadhan. Pasalnya, ibadah i'tikaf tidak memungkinkan seseorang untuk keluar dari masjid.
