Liputan6.com, Washington, D.C - Ramadan 2025 ini adalah tahun kedua Vinandhika Parameswari menjalani Ramadan di Amerika Serikat (AS). Ia menceritakan bahwa durasi puasa kali ini tak jauh berbeda di Indonesia yang berlangsung sekitar 13 jam.
"Ramadan tahun ini pun masih berada di musim transisi dari musim dingin/salju menuju ke musim semi sehingga durasi berpuasanya berlangsung sekitar 12 hingga 13 jam. Pada minggu pertama Ramadan, kami mendapatkan waktu berpuasa hampir 12 jam yang kemudian bertambah satu jam lebih lama setelah daylight saving," kata mahasiswi S2 (master’s degree) di Johns Hopkins University itu dalam pernyataan yang diterima Liputan6.com, Selasa (25/3/2025).
Baca Juga
"Saya biasanya mengetahui waktu sahur dan berbuka puasa dengan mengecek website yang memberikan informasi waktu salat seperti IslamicFinder," imbuh Warga Negara Indonesia (WNI) yang karib disapa Viki.
Advertisement
Viki mengatakan bahwa menjalankan ibadah puasa Ramadan di tahun kedua di Amerika Serikat tentu memiliki nuansa yang berbeda. Tak seperti di Negeri Paman, puasa di Indonesia menurutnya hampir selalu berlangsung meriah karena ada banyak pedagang yang berjualan takjil maupun makanan sahur.
Perempuan yang mengambil program studi Komunikasi dengan konsentrasi politik itu menuturkan bahwa tidak ada persiapan khusus yang saya lakukan untuk berpuasa di tahun kedua ini, selain mungkin menyiapkan bahan makanan lebih banyak di akhir pekan supaya lebih efisien ketika memasak untuk sahur dan berbuka puasa.
"Jika sedang rindu dengan makanan khas Ramadan di Indonesia atau ingin mengonsumsi takjil tertentu seperti kolak pisang atau biji salak, bahan-bahan untuk membuatnya cukup mudah ditemui di toko Asia yang berlokasi di area Falls Church, Virginia atau toko yang menjual khusus bahan makanan Indonesia yang berlokasi di area Rockville, Maryland," papar Viki.
Biasanya, sambung perempuan kelahiran Ponorogo itu, ia berbelanja bahan makanan halal di toko-toko tersebut yang jarak tempuhnya kurang-lebih satu jam dari pusat kota Washington, D.C., menggunakan kereta Metro. "Jika sedang tidak memungkinkan untuk berbelanja secara langsung, saya terkadang juga berbelanja secara online (daring) melalui aplikasi Weee! yang menyediakan berbagai macam bahan makanan dari negara-negara Asia dengan harga terjangkau," jelasnya.
Kerap Dapat Undangan Iftar Ramadan
Setiap Ramadan tiba, Viki mengungkap bahwa dirinya kerap diundang iftar atau berbuka puasa.
"Saya sering mendapat undangan berbuka puasa dari komunitas muslim yang ada di Washington, D.C., tidak hanya dari Indonesia namun juga negara lain, seperti Pakistan. Ketika memenuhi undangan buka puasa bersama dari komunitas muslim Pakistan misalnya, saya pernah disuguhkan hidangan khas negara ini, antara lain naan (roti pipih dari tepung gandum) yang biasanya disantap dengan chicken korma (kuah berbumbu seperti kari yang kental) dan cashew, pakora (gorengan dari sayuran khas Pakistan), dan nasi biryani khas Pakistan," tutur perempuan yang tumbuh besar di Kabupaten Jember.
Sedangkan agenda buka puasa bersama dari komunitas Indonesia di Amerika Serikat, sambung Viki, salah satunya diadakan oleh Persatuan Mahasiswa Indonesia Seluruh Amerika Serikat (Permias) Washington, D.C.
Permias DC, organisasi yang beranggotakan mahasiswa Indonesia yang sedang berkuliah di area DMV (DC, Maryland, Virginia) berkolaborasi dengan Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) dari Kedutaan Besar RI di Washington, D.C. (KBRI Washington, D.C) setiap tahun menginisiasi agenda buka puasa bersama untuk mahasiswa. Selain itu, setiap bulan Ramadan tiba, komunitas muslim Indonesia yang tinggal di Amerika Serikat area DMV setiap hari menyediakan takjil dan makanan berat gratis di IMAAM Center, masjid yang didirikan oleh komunitas muslim di sana dan diresmikan secara langsung oleh Presiden Republik Indonesia ke-6, Bapak Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2014 lalu.
Advertisement
Tak Membatasi Kegiatan Selama Puasa Ramadan di AS
Pada tahun kedua menjalankan ibadah puasa Ramadan di Amerika Serikat, Viki mengaku tak membatasi kegiatannya dan berjalan seperti biasa. "Saya tetap mengambil kelas perkuliahan seperti biasa dan melakukan aktivitas rutin selayaknya bulan-bulan lainnya," ucapnya.
Meski demikian, Viki mengatakan, berpuasa di negeri orang tetap memiliki tantangan tersendiri. "Tantangannya dibandingkan dengan berpuasa di Indonesia tentu berbeda. Salah satunya tidak banyak menemui sesama muslim yang berpuasa, seperti halnya di Indonesia," ungkap perempuan yang berkarir sebagai humas pemerintah.
"Selain itu, tidak banyak orang mengetahui bahwa saat ini adalah bulan Ramadan dan selaku muslim wajib berpuasa sehari penuh dari matahari terbit hingga terbenam," imbuh dia.
Viki menuturkan bahwa menjelaskan kepada teman maupun kenalan, tidak hanya dari Amerika Serikat namun juga sesama mahasiswa internasional dari negara lain dengan penduduk yang bukan mayoritas Islam menjadi pengalaman yang unik dibandingkan dengan ketika berpuasa di Tanah Air.
"Meskipun dari sisi keanekaragaman ras dan budayanya, Amerika Serikat dan Indonesia memiliki kemiripan, tinggal dan hidup di Amerika Serikat sebagai seorang muslim mengajarkan saya banyak hal untuk lebih menghormati perbedaan dari sudut pandang minoritas," jelas perempuan yang jadi awardee program Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI) dari LPDP pada tahun 2021.
Saat bulan Ramadan, Viki mengatakan pernah diingatkan untuk berbuka puasa. "Profesor salah satu mata kuliah yang saya ambil, justru mengingatkan saya untuk berbuka puasa terlebih dahulu ketika waktunya sudah tiba, dan mengizinkan saya untuk keluar kelas supaya saya dapat minum dan makan dengan baik," ujar alumni Universitas Airlangga, Surabaya jurusan Ilmu Hubungan Internasional.
Pengalaman Muslim di AS
Selama tinggal di Amerika Serikat, Viki mengaku sebagai seorang muslim berhijab banyak orang dapat secara langsung mengidentifikasi agamanya dari identitas fisik yang ia kenakan. Ia juga sempat berpikir apakah hijab menjadi masalah di kemudian hari baginya.
"Sebelum menginjakkan kaki di Washington, D.C., saya sempat merasakan sejumlah keraguan apakah identitas hijab saya akan mendatangkan persoalan bagi saya nanti setibanya saya di Amerika Serikat dan tinggal di sana selama studi. Namun, untungnya selama hampir dua tahun menetap di Washington, D.C., dan mengunjungi sejumlah kota dan negara bagian di Amerika Serikat, seperti Boston-Massachusetts, New York City-New York, Virginia, dan Maryland, kekhawatiran tersebut terpatahkan oleh realita bahwa banyak warga setempat yang saya kenal dan temui justru sangat menghormati saya sebagai seorang muslim," papar Viki.
"Misalnya, teman, profesor, dan bahkan tetangga tempat tinggal saya dari Amerika Serikat sering menanyakan dan mengonfirmasi pada saya secara langsung apakah saya boleh mengonsumsi makanan tertentu yang mungkin tidak diperkenankan dalam Islam atau apakah saya membutuhkan waktu khusus untuk beribadah karena mereka pernah melihat saya beberapa kali meminta waktu sejenak untuk melaksanakan ibadah salat," pungkas Viki.
Advertisement
