Liputan6.com, Jakarta - Jumat terakhir Ramadhan bukan hanya sekadar penanda berakhirnya bulan suci ini, tetapi juga menjadi kesempatan bagi kita untuk memperbanyak ibadah dan memohon ampunan kepada Allah.
Saat inilah banyak orang berlomba-lomba untuk menyempurnakan ibadah mereka dengan harapan mendapatkan keberkahan dan pahala yang berlimpah.
Pada hari Jumat terakhir Ramadhan, ada sebagian masyarakat yang memiliki kebiasaan melaksanakan sholat kafarat atau yang dikenal dengan sholat al-bara’ah.
Advertisement
Baca Juga
Tujuan pelaksaan ibadah ini adalah sebagai pengganti atas sholat fardhu yang sebelumnya ditinggalkan atau tidak sah. Namun, bagi kalangan umat Muslim lainnya banyak yang ragu atau bahkan tidak mengetahui tentang sholat ini.
Lantas, bagaimanakah hukum melaksanakan sholat kafarat pada Jumat akhir bulan Ramadan? Berikut ulasannya mengutip dari laman NU Online.
Saksikan Video Pilihan ini:
Pendapat yang Membolehkan
Pandangan yang membolehkan di antaranya karena pertimbangan sebagi berikut:
Pertama, bertendensi pada pendapat al-Qadli Husain yang membolehkan mengqadha sholat fardlu yang diragukan ditinggalkan. Pendapat tersebut sebagaimana keterangan berikuti ini:
“Cabangan permasalahan: al-Qadli Husain berkata, bila seseorang mengqadha sholat fardlu yang ditinggalkan secara ragu, maka yang diharapkan dari Allah sholat tersebut dapat mengganti kecacatan dalam sholat fardlu atau paling tidak dianggap sebagai sholat sunah. Saya mendengar bahwa sebagian ashabnya Bani Ashim berkata, bahwa ia mengqadha seluruh sholat seumur hidupnya satu kali dan memulai mengqadhanya untuk kedua kalinya. Al-Ghuzzi mengatakan, ini adalah faidah yang agung, yang jarang sekali dikutip oleh ulama.” (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal, juz.2, halaman 27)
Dalam redaksi yang lain disampaikan:
“Keraguan dalam ibadah badan atau harta, boleh menggantungkan niat qadhanya, bila betul ada tanggungan maka statusnya wajib, bila tidak, maka berstatus sunah.” (Syekh Fadl bin Abdurrahman al-Tarimi al-Hadlrami, Kasyf al-Khafa’ wa al-Khilaf fi Hukmi Sholat al-Bara’ah min al-Ikhtilaf, halaman 4)
Kedua, tidak ada orang yang meyakini keabsahan sholat yang baru saja ia kerjakan, terlebih sholat yang dulu-dulu.
Ketiga, larangan sholat kafarat dikarenakan ada kekhawatiran sholat tersebut cukup untuk mengganti sholat yang ditinggalkan selama setahun, ketika kekhawatiran tersebut hilang, maka hukum haram hilang.
Keempat, mengikuti amaliyyah para pembesar ulama dan para wali Allah yang ahli makrifat billah, di antaranya Sayyidi Syekh Fakr al-Wujud Abu Bakr bin Salim, Habib Ahmad bin Hasan al-Athas, al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi dan banyak lainnya. Sholat tersebut rutin dilakukan dan diimbau oleh para pembesar ulama di Yaman. Bahkan di masjid Zabid Yaman sholat kafarat ini rutin dilakukan secara berjamaah.
Mengikuti amaliyyah para wali dan ulama ‘ârifin (ahli ma'rifat) tanpa diketahui dalil istinbathnya dari hadits Nabi, sudah cukup untuk menjadi hujjah membolehkan sholat kafarat ini.
Advertisement
Pendapat yang Mengharamkan
Pandangan yang mengharamkan setidaknya karena berbagai pertimbangan berikut:
Pertama, tidak ada tuntunan yang jelas dari hadits Nabi atau kitab-kitab syari’ah, sehingga melakukannya tergolong isyra’u ma lam yusyra’ (mensyariatkan ibadah yang tidak disyari’atkan) atau ta’athi bi ‘ibadatin fasidah (melakukan ibadah yang rusak).
Kedua, pengkhususan sholat kafarat pada akhir Jumat bulan Ramadhan tidak memiliki dasar yang jelas dalam syari’at.
Ketiga, terdapat keterangan sharih dari pakar fikih otoritatif mazhab Syafi’i, Syekh Ibnu Hajar al-Haitami sebagai berikut:
“Yang lebih buruk dari itu adalah tradisi di sebagian daerah berupa sholat 5 waktu di jumat ini (jumat akhir Ramadhan) selepas menjalankan sholat jumat, mereka meyakini sholat tersebut dapat melebur dosa sholat-sholat yang ditinggalkan selama setahun atau bahkan semasa hidup, yang demikian ini adalah haram atau bahkan kufur karena beberapa sisi pandang yang tidak samar.” (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz.2, halaman 457)
Mengomentari statemen di atas, Syekh al-Syarwani mengatakan:
“Ucapan Syekh Ibnu Hajar, yang demikian ini adalah haram atau bahkan kufur karena beberapa sisi pandang yang tidak samar, di antaranya adalah dapat menggugurkan kewajiban mengqadha sholat, hal ini menyalahi seluruh mazhab-mazhab.” (Syekh Abdul Hamid al-Syarwani, Hasyiyah al-Syarwani ‘ala al-Tuhfah, juz.2, halaman 457)
Keempat, hadis tentang sholat kafarat tidak dapat dibuat dalil, karena tidak memiliki sanad yang jelas.
Ikhtilaf Ulama Mengenai Hukum Sholat Kafarat
Kesimpulan ikhtilaf mengenai hukum sholat kafarat terangkum dalam statemen Mufti Syekh Salim bin Said Bukair al-Hadlrami yang dikutip Kasyf al-Khafa’ sebagai berikut:
“Bagaimana pendapat anda tentang sholat lima waktu yang dilakukan di ahir Jumat Ramadhan, boleh atau tidak? Apakah ada salah seorang ulama yang membolehkannya dan mengamalkannya selain Syekh Abu Bakr bin Salim dan anak-anaknya?.
Jawaban, segala puji bagi Allah, sholat fardlu lima waktu di akhir Jumat bulan Ramadhan merupakan sholat untuk mengqadha sholat fardlu yang tidak diyakini ditinggalkan, sholat ini disebut dengan sholat bara’ah, ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya. Segolongan ulama seperti Syekh Ibnu Hajar, Syekh Bamakhramah dan lainnya mengharamkan. Dan mayoritas ulama Yaman membolehkannya, sholat ini dilakukan di masjid Jami’ Zabid seperti yang dikatakan imam al-Nasyiri, beliau mengatakan, tidak meninggalkan sholat ini kecuali segelintir orang. Sholat bara’ah ini adalah amaliyyah para tokoh ilmu dan imam-imam fatwa, sholat ini dilakukan oleh para imam yang wira’i, yang menonjol dalam ilmu zhahir dan batin, seperti al-Fakhr Syekh Abu Bakr bin Salim, al-‘Allamah Ahmad bin Zain al-Habsyi, Habib Umar bin Zain bin Smith, Habib Ahmad bin Muhammad al-Mihdlar dan ulama Hadlramaut yang lain.”
“Mereka-mereka ini melakukan sholat bara’ah di daerah-daerahnya dan memerintahkan orang untuk melakukannya, kebolehan sholat ini juga diamini oleh Habib Abdurrahman bin Abdullah Bilfaqih yang dijuluki oleh Habib Abdullah al-Haddad dengan “orang sangat alim di dunia.” Cukuplah imam ini dan imam-imam lain yang disebutkan sebelumnya dari para imam agama dan ulama yang wira’i, dijadikan sebagai hujjah kebolehan sholat bara’ah, bila tida bisa, lantas siapa lagi ulama yang bisa dijadikan hujjah?
“Al-Qadli Husain dan al-Ghuzzi membolehkan sholat qadha beserta keraguan seperti dalam Hasyiyah al-Jamal dan al-Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya’, ini adalah dalil dan hujjah terkuat dari apa yang dikatakan dan diamalkan imam-imam yang tersebut di atas. Bahkan, andai saja yang membolehkan dan melakukan sholat ini hanya Syekh Abu Bakr bin Salim, maka sudah cukup, sesungguhnya beliau tergolong pembesar ulama dan imam-imam agama.” (Syekh Fadl bin Abdurrahman al-Tarimi al-Hadlrami, Kasyf al-Khafa’ wa al-Khilaf fi hukmi sholat al-Bara’ah min al-Ikhtilaf, halaman 37)
Demikian penjelasan mengenai ikhtilaf ulama tentang sholat kafarat atau sholat bara’ah, semoga bisa saling menghargai atas perbedaan tersebut, karena keduanya sama-sama memiliki argumen yang dapat dipertanggungjawabkan. Yang perlu ditegaskan adalah, keyakinan bahwa sholat kafarat diyakini sebagai pengganti sholat fardlu yang ditinggalkan selama satu tahun, sama sekali tidak dibenarkan, sebab kewajiban bagi orang yang meninggalkan sholat, baik sengaja atau lupa, adalah mengqadhanya satu persatu, ulama tidak ikhtilaf dalam hal ini. Sholat kafarat dimaksudkan sebagai langkah antisipasi (ihtiyath) saja. Wallahu a‘lam.
Advertisement
