Cerita Gus Baha Pernah jadi Santri Mbeling, Ngaji Dua Kali Ziarah Berkali-kali

KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha, ulama asal Rembang, yang secara terbuka mengaku pernah menjadi santri "mbeling" saat mondok di Pesantren Lirboyo, Kediri. Ini kisah singkatnya.

oleh Liputan6.com Diperbarui 22 Apr 2025, 08:30 WIB
Diterbitkan 22 Apr 2025, 08:30 WIB
Rais Syuriyah PBNU KH Bahauddin Nursalaim (Gus Baha) sewaktu masih muda. (Foto: Istimewa via Laduni.id)
Rais Syuriyah PBNU KH Bahauddin Nursalaim (Gus Baha) sewaktu masih muda. (Foto: Istimewa via Laduni.id)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Kisah masa muda para ulama kerap menyimpan sisi unik dan manusiawi. Tak terkecuali pengalaman KH Ahmad Bahauddin Nursalim  atau Gus Baha, ulama asal Rembang, yang secara terbuka mengaku pernah menjadi santri "mbeling" saat mondok di Pesantren Lirboyo, Kediri.

Pengakuan tersebut disampaikan langsung oleh Gus Baha dalam sebuah ceramah yang penuh canda namun sarat makna. Ia mengenang masa-masa ketika diminta untuk menemani putra Mbah Maimoen Zubair, yakni Gus Kamil, menimba ilmu di Lirboyo.

Menurut Gus Baha, permintaan itu datang langsung dari Mbah Moen. “Pokoknya anakku entah sebulan atau berapa lama harus mondok di Lirboyo,” ujar Gus Baha mengenang pesan Mbah Moen.

Gus Baha menjelaskan, ia bersedia menemani Gus Kamil karena adanya amanah dari Mbah Moen, meskipun akhirnya tak banyak mengikuti kegiatan ngaji.

Gus Baha mengatakan bahwa selama sekitar sebulan di Lirboyo, ia lebih banyak melakukan ziarah dibandingkan mengikuti pengajian. Ia sendiri menyebut dirinya sebagai santri mbeling.

“Pokoknya ziarah, ya sudah nggak pernah ngaji. Dari 17 hari, ingat saya ngaji dua kali. Tapi kalau ziarah ke Mbah Karim saya lupa jumlahnya,” tutur Gus Baha disambut tawa jamaah, dirangkum dari tayangan video di kanal YouTube @SKV_MotoVlog yang dikutip Liputan6.com, Senin (21/04/2025).

 

Simak Video Pilihan Ini:

Cara Mbah Moen Mencintai Putra Kiai

Almaghfurlah KH Maimoen Zubair (Mbah Moen)
Almaghfurlah KH Maimoen Zubair atau Mbah Moen. (Sumber foto: NU Online)... Selengkapnya

Dalam ceritanya, Gus Baha mengungkap betapa besar kecintaan Mbah Moen kepada Mbah Karim. Bahkan, untuk menunjukkan rasa hormat dan cinta tersebut, Mbah Moen sampai menyiapkan amplop berisi uang untuk para anak kiai tersebut.

“Saya masih ingat, malam-malam disuruh ngamplopi oleh Mbah Moen. Itu untuk Gus Anwar, Gus Imam, Gus Kafabi, termasuk untuk Gus Maksum. Isinya sekitar Rp25.000, kala itu” jelas Gus Baha.

Nilai amplop tersebut mungkin terkesan kecil, namun Gus Baha mengungkap bahwa dengan uang segitu, kala itu ia bisa bertahan hidup selama dua bulan. Biaya kos hanya Rp13.000 per bulan.

“Jadi saya kursnya itu pakai kos. Saya masih ingat Rp13.000 sebulan saya mondok di Sarang kala itu. Jadi kalau sekarang kursnya kira-kira Rp500.000,” ujar Gus Baha sambil tersenyum mengenang masa lalu.

Tak hanya memberi, ternyata putra Mbah Moen dan Gus Baha pun mendapat amplop dari putra kiai dari Lirboyo.

Tradisi memberi hadiah atau sangu antarkiai, menurut Gus Baha, adalah bentuk adab yang diwariskan secara turun-temurun. Kiai yang bertemu, saling menghargai dengan hadiah atau bantuan, bukan karena pamrih.

Kisah ini menunjukkan betapa nilai adab dan silaturahmi sangat dijunjung tinggi dalam dunia pesantren, bahkan melebihi hal-hal formal seperti absensi ngaji.

Bagian Hidup Gus Baha

Gus Baha dan Mbah Moen
Kolase Gus Baha dan Mbah Moen. (Istimewa dan NU Online)... Selengkapnya

Gus Baha juga menyampaikan bahwa pengalaman tersebut menjadi pelajaran berharga baginya dalam memahami dinamika santri, terutama dalam menjaga niat dan adab meski tidak aktif mengikuti kajian.

Menurutnya, Mbah Moen bukan hanya sosok ulama besar, tetapi juga memiliki cara tersendiri dalam mendidik, termasuk dengan pendekatan spiritual melalui ziarah ke makam para kiai.

“Ziarah itu juga bagian dari pelajaran,” tambahnya.

Ia juga mengenang bagaimana para ulama terdahulu seperti Mbah Ali Ma’shum mampu mencetak murid-murid luar biasa yang bahkan bisa menyusun kitab besar seperti Kamus Al-Munawwir.

Gus Baha menekankan bahwa ilmu bukan semata-mata diperoleh lewat formalitas ngaji di kelas, tapi juga melalui interaksi, ziarah, dan adab yang dijaga dengan sungguh-sungguh.

Pengalamannya menjadi santri mbeling di Lirboyo justru memperkaya cara pandangnya dalam menyampaikan ilmu dan dakwah kepada masyarakat.

Dalam setiap ceramahnya, Gus Baha memang dikenal kerap menyisipkan kisah-kisah ringan, namun mengandung hikmah mendalam dan refleksi spiritual.

Cerita ini bukan sekadar nostalgia, tetapi juga menjadi pengingat bahwa perjalanan menjadi orang alim tidak selalu lurus dan formal, ada lika-liku yang membentuk karakter dan pemahaman seseorang.

Dengan gaya santainya, Gus Baha berhasil menyampaikan bahwa belajar bisa dilakukan dengan cara yang beragam, selama niat dan tujuannya tetap untuk mencari ridha Allah.

Dan kisah tentang ziarah, sangu, dan ngaji dua kali selama 17 hari itu kini menjadi bagian dari mozaik hidup seorang ulama yang diakui luas karena keluasan ilmunya.

Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Produksi Liputan6.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya