Liputan6.com, Jakarta - Dalam salah satu pengajian yang dihadiri pendakwah kondang asal Blitar Muhammad Iqdam Kholid atau Gus Iqdam, suasana berubah menjadi penuh keheranan ketika seorang peserta memperkenalkan dirinya sebagai penganut Kapitayan, sebuah kepercayaan kuno yang berasal dari tradisi Kejawen.​
Pria tersebut, bernama Prayogo Priyono atau akrab disapa Mas Yugo, berasal dari Talun, Blitar. Dalam dialognya dengan Gus Iqdam, Mas Yugo menjelaskan bahwa ia menganut kepercayaan Kejawen dan menjalankan ibadah secara pribadi di rumahnya.
Advertisement
Ia juga menyebutkan bahwa keluarganya, termasuk istri dan anaknya, menganut kepercayaan yang berbeda dengan dirinya.​
Advertisement
Dikutip dari kanal Youtube @Dekengane_pusat.1922, Selasa (22/04/2025), kehadiran Mas Yugo dalam pengajian tersebut menarik perhatian karena menunjukkan adanya keterbukaan dan keragaman keyakinan di tengah masyarakat.
Pengasuh Majelis Ta'lim Sabilu Taubah Gus Iqdam menyambut baik kehadiran Mas Yugo dan mengapresiasi semangatnya untuk mencari ilmu dan kebenaran.​
Ternyata, Mas Yugo ini rutin mengikuti pengajian Gus Iqdam, bahkan sampai Kediri, Trenggalek, Sidoarjo, Ponorogo, dan sejumlah kota lainnya di mana Gus Iqdam memberikan ceramah.
Baca Juga
Â
Simak Video Pilihan Ini:
Penjelasan KH Said Agil Siradj
Tak hanya sekedar ikut pengajian, Mas Yogo juga ikut mencari nafkah dalam setiap pengajiannya sebagai pedagang asongan.
Kehadiran Mas Yugo dalam pengajian Gus Iqdam menjadi contoh nyata dari semangat kebhinekaan dan toleransi yang harus terus dijaga di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun berbeda keyakinan, masyarakat dapat hidup berdampingan dan saling menghormati.​
Gus Iqdam sendiri menyatakan bahwa pengajiannya terbuka untuk siapa saja yang ingin mencari ilmu dan kebenaran, tanpa memandang latar belakang agama atau kepercayaan.
Beliau berharap bahwa melalui pengajian ini, masyarakat dapat saling belajar dan memperkuat persatuan.​
Terpisah, dikutip dari kanal YouTube @hasyiyahtv KH Said Aqil Siradj, mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), memberikan penjelasan mengenai Kapitayan.
Dalam sebuah kesempatan, ia menyampaikan bahwa sebelum masuknya agama Hindu dan Buddha ke Nusantara, masyarakat Jawa telah mengenal konsep ketuhanan yang disebut Kapitayan.
"Kepercayaan ini mengajarkan tentang keberadaan Tuhan Yang Maha Esa, yang disebut sebagai Sang Hyang Widi, yang tidak dapat digambarkan atau disamakan dengan apapun," katanya.​
Advertisement
Datang sebelum Agama Lain Masuk
KH Said Aqil menjelaskan bahwa Kapitayan merupakan bentuk awal dari tauhid yang telah ada di Nusantara sebelum kedatangan agama-agama besar lainnya. Meskipun tidak memiliki kitab suci atau nabi, Kapitayan mengajarkan tentang keberadaan Tuhan yang satu dan tidak berwujud.​
Ia juga menambahkan bahwa dalam Kapitayan, terdapat konsep sembilan penjaga penjuru yang dikenal sebagai Sang Hyang Bayu, Sang Hyang Siwa, dan lainnya. Konsep ini menunjukkan adanya struktur spiritual dalam kepercayaan tersebut.​
KH Said Aqil menekankan pentingnya memahami dan menghargai keberagaman keyakinan yang ada di Indonesia. Beliau mengajak umat Islam untuk bersikap terbuka dan toleran terhadap perbedaan, serta menjadikan Islam sebagai agama yang rahmatan lil 'alamin.​
Dalam konteks ini, penting bagi masyarakat untuk terus mempelajari sejarah dan akar budaya bangsa, termasuk kepercayaan-kepercayaan lokal seperti Kapitayan. Dengan memahami sejarah, kita dapat lebih menghargai keberagaman dan memperkuat identitas nasional.​
KH Said Aqil juga mengingatkan bahwa Islam di Indonesia telah berkembang dengan mengakomodasi budaya lokal, sehingga menjadi Islam yang khas dan damai. Beliau mengajak umat Islam untuk terus menjaga nilai-nilai toleransi dan kebhinekaan dalam kehidupan sehari-hari.​
Kisah Mas Yugo dan pengajian Gus Iqdam menjadi pengingat bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan keberagaman budaya dan keyakinan. Dengan saling menghormati dan memahami, kita dapat membangun masyarakat yang harmonis dan damai.​
Sebagai penutup, KH Said Aqil menegaskan bahwa keberagaman adalah kekayaan yang harus dijaga dan dirawat bersama. Beliau berharap bahwa masyarakat Indonesia dapat terus hidup rukun dan saling menghormati dalam perbedaan.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
