Ekspedisi Menyingkap Mitos Kanibal di Pulau Samosir

Ada anggapan bahwa orang Batak Samosir dahulu adalah kanibal, benarkah?

oleh Firman Fernando Silaban diperbarui 10 Mar 2016, 12:30 WIB
Diterbitkan 10 Mar 2016, 12:30 WIB
Huta Sialagan
Pulau Samosir tak hanya menawarkan keramahan penduduk dan pesona Danau Toba yang memanjakan mata, tetapi juga budaya masyarakatnya yang adiluhung.

Liputan6.com, Jakarta Pulau Samosir tak hanya menawarkan keramahan penduduk dan pesona Danau Toba yang memanjakan mata, tetapi juga budaya masyarakatnya yang adiluhung. Tim Liputan6.com, Rabu (10/3/2016) mendapat kesempatan untuk mengenal dan membuktikan apakah benar suku Batak adalah komunitas kanibal? Melalui perjalanan singkat, kami mengunjungi kampung adat Sialagan atau yang dikenal dengan Huta Sialagan di Pulau Samosir.

Tarian adat Tor-tor menyambut kami saat tiba di pulau yang menjadi salah satu lokasi penyebaran suku Batak dan kerajaan marga Sialagan. Kerajaan Sialagan sudah ada sejak tahun 1.500-an. Kini di kawasan ini banyak ditemui berbagai bangunan peninggalan kerajaan yang masih berdiri, seperti deretan rumah Bolon dan makam para tetua adat dan kerajaan. Tak hanya itu, kerajaan Sialagan juga identik dengan patung Sigale-gale. Konon patung yang dipercaya memiliki ruh saat ada alunan musik taganing dan gondang Batak ini, sengaja dibuat oleh Raja Sialagan untuk memperingati anak tunggalnya yang wafat dalam perang.

Untuk menjawab rasa penasaran akan keberadaan mitos orang Batak kanibal, Opung Sialagan, salah seorang tetua adat desa tersebut mengajak kami ke suatu pelataran batu yang dahulu digunakan untuk eksekusi pemancungan orang sakti. Pada saat itu masyarakat Batak belum banyak yang menganut agama dan masih menyembah ruh orangtua. 

Huta Sialagan dahulu kerajaan Batak yang ada di Pulau Samosir.

"Sebelum agama Kristen masuk yang dibawa oleh misionaris asal Jerman, Nommensen, orang Batak masih menyembang roh orang tua mereka," ujar Opung Sialagan.

Sehingga pada masa itu, banyak orang yang mengisi raga mereka dengan kesaktian untuk perlindungan atau bahkan niat buruk. Sebagai bentuk perlindungan, setiap orang sakti yang berniat jahat pada pihak kerajaan dan berhasil ditangkap akan mendapat hukuman pancung.

Namun, sebelum itu, kesaktian mereka harus dikeluarkan dan diberikan pada raja. Dengan menggunakan belati, dan posisi orang sakti yang ditelentangkan dalam sebuah batu besar, dukun kerajaan akan memeriksa letak kesaktiannya.

Huta Sialagan merupakan salah satu destinasi wisata yang ada di Pulau Samosir, Sumatera Utara.

Setelah mendapatkannya, sang dukun akan mengoyak bagian tubuh orang tersebut untuk mengambil kesaktiannya dan memberikan pada raja. Dalam proses penyiksaan tersebut, barulah orang sakti itu dipancung.

"Setelah dipancung dengan parang dan sudah dipastikan tak ada lagi kesaktiannya, darah yang keluar beserta hatinya menjadi minuman untuk raja," kata Opung Sialagan. 

Namun, ada pemahaman yang keliru dan tersebar di masyarakat perihal perilaku tersebut. Orang Batak melakukannya karena untuk menambah kesaktian raja dan sudah menganggap orang sakti tersebut sebagai binatang.

"Pada dasarnya orang tersebut bukan dimakan, tetapi kesaktiannya diambil dengan cara meminum darahnya," ujarnya menambahkan.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya