Liputan6.com, Jakarta Jika menginginkan hidup enak dan mapan, Sisilia Oei pasti akan menetap di Melbourne, Australia atau tetap meneruskan bisnis marmer dan granit milik keluarga. Namun, ia memilih memulai dari nol dengan mendirikan sekolah tari Indonesian Dance Theatre yang baru berusia setahun Januari 2017 ini.
Nama Sisilia Oei sudah kesohor di kalangan penari terutama kepiawaiannya dalam menari balet. Tak pernah ada rasa malu atau canggung saat menari yang dimulai sejak usia empat tahun.
Banyuwangi menjadi saksi bocah centil itu menuai prestasi. Sampai akhirnya Sisil pindah ke Jakarta pada usia tujuh tahun. Sisil kecil berkeinginan kuat meminta sang mami untuk memasukkannya les tari. Setelah setahun mencari, Sisil dibawa ke sekolah balet dan sejak saat itu tak bisa dipisahkan.
Advertisement
Sampai-sampai orangtua Sisil geleng-geleng kepala. Ya, meski sakit, Sisil ngotot tetap datang ke sekolah balet dan menonton jalannya latihan dari pinggir kelas. Bahkan ia rela menempuh perjalanan dua jam dari rumah ke sekolah yang ada di daerah Hayam Wuruk, Jakarta Pusat dengan naik kendaraan umum.
"Walau sakit, aku enggak bakal di rumah. I never miss any moment. Bahkan dua jam bolak-balik rumah sampai tempat les naik kendaraan umum saja aku jabanin," urai Sisil saat berbincang dengan Liputan6.com.
Tari Balet Vs Tari Tradisional
"Kalau kamu cuma balet, enggak punya nilai lebih. Balet milik bule, bukan tarian kita. Mau sejago apa pun enggak bisa ngalahin karena struktur tulang sudah beda," tiru Sisil mengingat pesan guru kala itu.
Sambil menyentuh punggung kaki dan lengkungan kaki (arch), Sisil menjabarkan perbedaan antara bule dan Asia. Arch bule sangat indah karena sudah tinggi dan menonjol. Sementara Asia kempes, meski sudah dilatih tidak bisa melebihi mereka, termasuk postur tubuh.
Sang guru pun menyadarkan sebagai orang Indonesia harus memiliki jati diri. Meski cinta mati dengan balet, menguasai tari Indonesia adalah kewajiban. Akhirnya pendirian teguh Sisil pun luntur dan ia belajar tari tradisional di usia 14 tahun.
"Aku beruntung punya guru yang ngingetin kalau sebagai orang Indonesia malu banget enggak bisa nari tradisional. Sampai mau mati belajarnya, meski root balet sudah aku miliki enggak berarti belajar tarian tradisional lebih mudah. Tapi secara fundamental akan membantu karena sudah ada strukturnya," lanjut Sisil bersemangat.
Di balik keindahan gerakan dalam tarian balet atau tradisional ada 'penyiksaan' yang dirasakan para penari. Sisil pun bercerita jika bentuk tubuh langsing sepertinya mempunyai tantangan tersendiri membawakan tarian Indonesia.
"Kalau tari Bali, mataku yang kecil ini harus melotot terus. Apalagi kalau tari yang suruh ngeleluarin pantat, shape-nya, sementara aku langsing gini, hahaha.... Kalau balet kaki berdarah dan terkelupas meski sudah ter-cover dan safety. Sama-sama nangis dalam hati, tapi we cannot stop," kenangnya seraya tertawa.
Advertisement
Impian Bangun Sekolah Tari
Jika di dalam negeri penari dipandang sebelah mata, tidak dengan di luar negeri. Hal itu dirasakan sendiri oleh Sisil saat mengambil jurusan seni dan balet di Australian Ballet School dan Victoria College of the Art.
Sambil kuliah, Sisil menjadi balerina sekaligus guru balet dengan bayaran yang cukup bahkan berlebih. Namun panggilan hati untuk kembali ke Indonesia tetap kuat, meski bisa hidup mapan di Australia.
"Bayaran jadi guru tinggi, nari juga tinggi, dan saat mereka tahu aku ambil seni dan balet penghargaannya luar biasa. Keren banget istilahnya. Kalau di sini masih dipandang sebelah mata. Honor enggak seberapa. Itu yang ingin aku angkat. Visi menaikkan taraf hidup pecinta seni dengan menghargai tari," ucapnya serius.
Perjalanannya membuat sekolah tari memang tak mudah. Selama 11 tahun impiannya harus tertunda karena bercokol dengan bisnis keluarga di bidang impor marmet dan granit.
Sebenarnya Sisil tak sepenuhnya meninggalkan tari, namun rutinitas dan keterbatasan waktu membuat hidupnya selalu kurang. Hingga dua tahun belakangan tekad dan kata hatinya makin kuat untuk membuat sekolah tari.
"Bisnis bukan tujuan hidupku. Hal itu menggaung dalam hati selama dua tahun. Sampai akhirnya tahun lalu gaungan makin kuat, sebab aku percaya masing-masing kita punya lion dalam hati. Lion berontak, mecut aku, dan this is it. Aku enggak ingin mati sia-sia dan enggak bikin apa-apa untuk generasi nanti," ceritanya bersemangat.
Egois dan Ambisi
Ia sadar jika talenta menari yang diberi Tuhan bukan untuk dirinya sendiri, tetapi harus dibagi. Visi yang membuat dirinya makin berani membuat sebuah karya dari anak didik yang kelak bernaung dalam sekolah tarinya.
Jika dulu Sisil ingin nama pribadi dipakai sebagai brand sekolah tari, seiring berjalan waktu ia mempunyai pemikiran berbeda sampai akhirnya kini tercipta Indonesian Dance Theatre dengan 16 tarian yang disediakan.
Mulai dari balet, kontemporer, jazz, hip hop, sampai yang sedang tren urban choreography. Sisil pun mengajak temannya Claudia Warni untuk bersama-sama mewujudkan visi memajukan seni di indonesia.
"Orang biasanya nonton tarian durasi dua sampai tiga menit selesai. Padahal latihannya lama dan berjam-jam. Tapi masih banyak yang tidak menghargai tarian. Mungkin enggak sekarang, tapi generasi nanti harus bisa mewujudkan," lanjutnya.
Advertisement
Miris Dunia Tari di Indonesia
Belakangan banyak pertunjukan musikal dari luar negeri yang datang ke Indonesia dan masyarakat berani bayar mahal untuk menontonnya. Hal itu menjadi semangat baru bagi Sisil dan rekannya menghadapi masa depan tari di tanah air.
Sisil menjabarkan jika para penari di Indonesia menjadi sebuah komoditi. Kemudahan akses para penari tampil di televisi juga membuat mereka dihargai dengan bayaran rendah.
Padahal, menurut Sisil, menjadi penari latar bagi penyanyi terkenal atau masuk televisi di luar negeri sungguh sulit. Apalagi biasanya mereka merupakan lulusan sekolah tari atau universitas tari ternama.
"Maaf ya, di sini megal-megol dikit dan asal-asalan narinya bisa dapet duit. Meski dihargai murah. Jadi enggak perlu penari berkualitas juga bisa dapat tarian sama. Ini yang harus dibangun perlahan. Karena kelak kalau enggak punya kualitas akan ditinggalkan. Itu realitasnya," paparnya.
Belum lagi imej penari yang mendapat stigma dengan kehidupan bebas. Background tersebut ikut membuat citra semua dancer terbawa dan tercemar.
"Orang melihat hidupnya terlalu free. Penari itu jelek, free life dan free sex. Seperti bukan budaya kita dan merusak. Selain kualitas saya ingin membangun generasi lebih baik dan punya hati," mirisnya.
Indonesian Dance Theatre 1st Anniversary
Di balik banyak pekerjaan rumah dan tugas yang ia emban untuk memajukan tari di Indonesia, Sisil sedang mempersiapkan perayaan satu tahun 'bayi kecil' Indonesian Dance Theatre 1st Anniversary. Acara bertema Ragam Tari tersebut akan digelar pada 21 Januari 2017 di Concert Hall Usmar Ismail, Jakarta.
Selain tarian, Sisil akan berkolaborasi dengan pecinta seni lainnya seperti desainer dan fotografer. Ia menggandeng desainer Indonesia ternama untuk mendesain kostum yang akan dibawakan para penari.
Sementara itu berbagai persiapan akan diabadikan dalam foto yang kelak akan dipamerkan dalam exhibition. Dan jejeran manekin untuk busana yang didesain bagi para penari.
"Sebuah seni akan makin dihargai jika packaging-nya bagus dan menarik. Kami akan mengemas semuanya jadi satu kesatuan yang akan memanjakan mata dan bikin semua penasaran," janjinya.
Advertisement