Tere Liye dan Profesi Penulis yang Masih Dipandang Sebelah Mata

Tere Liye memutuskan untuk tidak lagi menerbitkan bukunya di penerbit mainstream karena merasa mendapat beban pajak yang tidak adil.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 06 Sep 2017, 16:00 WIB
Diterbitkan 06 Sep 2017, 16:00 WIB
20160908- Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin-Jakarta- Helmi Fithriansyah
Petugas menunjukkan salah satu naskah sastra tua di PDS HB Jassin, Jakarta, Kamis (8/9). PDS HB Jassin merupakan tempat pendokumentasian arsip kesusastraan nasional Indonesia yang didirikan pada 28 Juni 1976. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta Tere Liye, penulis dan sastrawan Tanah Air, baru saja memutuskan untuk tidak lagi menerbitkan buku melalui penerbitan buku mainstream. Hal ini dilakukan lantaran dirinya merasakan ketidakadilan pajak yang dibebankan kepada profesi penulis di Indonesia.

Dalam akun resmi Facebooknya, Tere Liye mengungkapkan, penulis buku di negeri ini merupakan kumpulan orang-orang yang paling dermawan kepada pemerintah. Sebab, meski rumahnya paling kecil, mobilnya sederhana, ternyata mereka membayar pajak lebih tinggi dari profesi lain yang secara karier lebih pasti.

“Saya sudah setahun terakhir menyurati banyak lembaga resmi pemerintah, termasuk Dirjen Pajak, Bekraf, meminta pertemuan, diskusi. Mengingat ini adalah nasib seluruh penulis di Indonesia. Literasi adalah hal penting dalam peradaban. Apa hasilnya? Kosong saja. Bahkan, surat-surat itu tiada yang membalas, dibiarkan begitu saja nampaknya. Atas progres yang sangat lambat tersebut, dan tiadanya kepedulian orang-orang di atas sana, maka saya Tere Liye, memutuskan menghentikan menerbitkan buku di penerbit-penerbit, Gramedia Pustaka Utama dan Penerbit Republika, per 31 Juli 2017 lalu,” tulis Tere Liye di akun Facebooknya.

Terkait dengan profesi penulis yang seolah dipandang sebelah mata di negeri ini, Maman S Mahayana, kritikus sastra yang juga guru besar sastra Universitas Indonesia kepada Liputan6.com mengatakan, kerja literasi belum mendapat kedudukan yang penting di negeri ini. Seolah-olah mereka, para sastrawan dan penulis, tidak memberikan kontribusi apa pun dalam kehidupan ini.

“Selama negeri ini berdiri, tidak pernah pemerintah memberi penghargaan yang berupa materi yang besar dibandingkan penghargaan kepada atlet atau selebritas, misalnya,” ungkap Maman. Padahal, di mata Maman, peranan seniman dan penulis umumnya tidak kalah penting dibandingkan dengan profesi lain di negeri ini.

“Jika kita kembali ke sejarah pembentukan Indonesia sebagai negara kesatuan, sastrawanlah yang mula-mula merumuskannya, sebagaimana tercantum dalam teks Sumpah Pemuda. Bukankah teks Sumpah Pemuda itu mengisyaratkan Indonesia yang dibayangkan, yaitu bangsa yang beraneka ragam. Bangsa yang mendiami wilayah tertentu, dan bangsa yang mempunyai bahasa persatuan antarwarganya yang multietnik. Yang merumuskan teks Sumpah Pemuda itu tidak lain adalah sastrawan, yaitu Muhammad Yamin,” ungkap Maman.

Simak juga video menarik berikut:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya