Liputan6.com, Jakarta - Bermasalah dengan jerawat tak berkesudahan meski sudah mencoba berbagai obat dan perawatan? Bisa jadi penyebab utamanya bukan semata hormon, tapi kurangnya mencintai diri sendiri.
Dewi Leona Kaw, founder Skin Dewi, berbagi pengalaman soal jerawat akut yang dialaminya setahun lalu. Sebagai pemilik label kecantikan lokal premium, problem ini menjelma jadi masalah besar. Ia sampai nyaris menutup diri dari lingkungan lantaran persoalan itu.
"Masa yang jual produk kecantikan, jerawatannya penuh di seluruh wajah?" ujarnya dalam bincang-bincang bersama media di Jakarta, Rabu sore, 6 November 2019.
Advertisement
Baca Juga
Ia nyaris putus asa. Saat satu jerawat hampir sembuh, tiba-tiba muncul lagi di tempat lain. Terus begitu hingga nyaris setahun penuh. Padahal, ia mengaku kulitnya tak pernah bermasalah dengan jerawat selama berpuluh-puluh tahun hidup.
"Saya baru sadari di akhir tahun. Masalah yang dialami kulit itu adalah cara kulit berbicara pada kita. Jadi, saya mikir, kulit mau sampein apa sih?" katanya.
Setelah didalami, ia mengaku pangkal masalah terletak pada self-love alias kemampuan mencintai diri sendiri. Sebagai ibu, ia selalu mengutamakan kepentingan anak. Sebagai istri, ia mendahulukan dulu kebutuhan suami. Sementara sebagai pengusaha, ia selalu mengutamakan kepentingan klien.
"Dari kecil, aku di-training untuk selalu utamain orang lain dulu. Kalau tidak, akan dianggap hanya mementingkan diri sendiri," tuturnya.
Terbiasa dengan didikan tersebut, ia berusaha keras berubah. Ia mencari cara agar bisa menyeimbangkan antara kebutuhan diri sendiri dan kebutuhan orang-orang yang terkait dengannya.
Solusinya berujung pada me time dan berkata tidak untuk hal-hal dinilai memberatkan. Niat itu tak lantas berjalan mulus, lantaran ada perasaan bersalah yang menghantui.
"Bicaranya sih gampang, love self more, tapi nyatanya susah tanpa feeling guilty. Apalagi, bagi kita yang memang suka pleasing orang lain," katanya.
Psikolog klinis Felicia Maukar menerangkan, jerawat akut jadi manifestasi bawah sadar seseorang yang sedang mencari perhatian dari orang lain. Maka itu, masalah tersebut tak pernah tuntas karena secara tak sadar dipertahankan agar tetap ada.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Bukan Egois
Dewi berulang kali meyakinkan diri bahwa menyediakan waktu untuk diri sendiri bukan tindakan yang salah. Ia juga mengubah pola pikir selalu menyenangkan orang lain untuk mendapatkan cinta dan kasih sayang dari mereka adalah tidak tepat.
"No matter how much orang yang love kita, kita selalu akan merasa kurang. Yang benar adalah kita harus cintai diri sendiri dulu, baru bisa mencintai orang lain," tuturnya.
Ia lalu mengisi waktu sendirinya dengan berbagai aktivitas yang disukai, termasuk merawat diri. Seiring waktu, masalah jerawat yang dihadapi mereda dengan sendirinya.
Sementara, Felicia menegaskan, mencintai diri sendiri berbeda dengan egois. Perbedaannya terletak pada tujuan dari tindakan itu. Bila egois hanya mementingkan diri sendiri, mencintai diri sendiri bertujuan agar bisa memberikan sesuatu pada orang lain.
Kemampuan tersebut, sambungnya, bisa dilatih lewat pendekatan holistik meliputi tubuh, emosi, dan pola pikir. Untuk tubuh bisa dilakukan dengan berolah tubuh, mengatur pola makan, hingga merawat wajah.
Dari aspek emosi, Anda dirangsang untuk mengenali perasaan dan cara mengatasi masalah yang dirasakan. "Goal-nya berhubungan dengan ketenangan emosi jadi kebanyakan aktivitasnya untuk rileksasi. Misal, lewat yoga class, art class, atau rekreasional," jelasnya.
Terakhir, soal pola pikir. Keterampilan untuk membuat prioritas tugas dan menikmati masa kini haruslah dikuasai agar pikiran lebih tenang. "Orang stres itu seringnya sudah pikir hal-hal yang buruk sebelum terjadi. Padahal, pikiran kita itu akan menarik bagaimana semesta bekerja pada kita," ujarnya.
Advertisement